Ciuman Pertama Aruna

II-150. Tulus



II-150. Tulus

0"aku pernah membaca buku, bahwa tubuh ini juga belenggu. Kamu mau mendengar cerita yang aku baca?" Damar menatapnya. Gadis yang terlalu silau untuk dilihat, bukan karena cantiknya, baju-baju yang dia gunakan juga terkesan biasa saja.     

Damar sempat tersekat dalam lamunan padahal Aruna sudah mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Pemuda ini hanya sedang menafsirkan, pesona apa yang di bawa Aruna sampai-sampai dia pernah ikut-ikutan jadi pria yang tersandera oleh harapan.      

Sebuah harapan yang demikian tinggi hingga sempat tak bisa makan dan terpejam karena marah dengan keadaan. Marah sebab dia tak bisa meraih keinginannya padahal sudah berjuang mati-matian mendapatkan, berupaya keras sepenuh hati dan tenaga.      

"Damar! Kamu bilang mau cerita," gelisah gadis ini tidak suka di amati.      

Oh' Damar tiba-tiba menemukan kata kunci yang bisa menjadi latarbelakang dirinya menyukai Aruna. Gadis ini 'sederhana', bukan sederhana dalam artian hidup pas-pasan. Sederhana Aruna bermakna kiasan, tentang tidak berlebihan dalam bersikap dan berpenampilan.      

Aruna gadis yang berperilaku standar yang kini mulai langka untuk di temukan. Bisa jadi pada tahun 80-an atau 90-an gadis-gadis macam Aruna berkeliaran di mana-mana, sayangnya sejak era digital datang merebak semuanya serba pencicilan. Bahkan yang mengaku gadis baik-baik pun suka sekali memasang foto duck face 'ulala' atau menjulurkan lidahnya 'uncha-uncha'.      

Isi dunia makin runyam, tumpang tindih tidak karu-karuan. Anehnya orang-orang kian digiring ke arah yang seragam. Sedangkan Aruna, dia ber-kebalikan. Suka menampilkan sikap biasa-biasa saja. Santai, bersahabat, dan satu lagi yang kini kelewat mahal, 'tulus'.      

Tulus mengusung bekal dari rumah untuk sarapan pemuda yang hidup dalam pelarian, tulus mengingatkan jadwal perkuliahan, bahkan tulus memarahi dengan hujan celoteh mendengungkan telinga ketika Damar suka malas menjalani rutinitas normalnya.      

Aruna gadis biasa yang bermodal penampilan apa adanya, akan tetapi punya daya pikat luar biasa. Damar tersenyum menemukan latarbelakang rasa sukanya. Lebih lebar lagi senyumnya kali ini karena latar belakang yang tertemukan punya indikasi mutakhir bahwa dia mulai memudarkan jerat-an rasa sukanya pada Aruna.      

Cinta membingungkan bukan? Semakin kamu tahu alasannya semakin kamu sadar perasaanmu kian pudar.      

Barisan gigi pria ini makin kelihatan sebab di tarik oleh senyuman.      

"Pluk," dan si sederhana mengusung pukulan sederhananya. "Katanya mau cerita malah senyam senyum sendiri kayak orang gila,"     

"Sepertinya karena langit mulai gelap," Damar bangkit menuju pegangan kursi Aruna. "kemungkinan ini tanda-tanda aku kena sambet  -nih," Dia memutar kursi roda itu dengan kesulitan, sebab butiran pasir memendam roda kursi yang menopang Aruna. Beberapa kali pria ini memaju mundurkan lingkaran kokoh berporos.      

"Apa aku perlu berdiri?"      

"Enggak pa-pa aku coba lagi," Dan pria ini menariknya ke belakang sekeras dia bisa.      

"Argh.." gadis ini berteriak karena hampir jatuh. Dan Damar tertawa cekikikan sebab menangkap kepanikan Aruna, sebelum roda tersebut terdorong lagi.      

"Lihat!" katanya kembali mendorong perlahan roda kursi Aruna. "kamu terbelenggu oleh tubuhmu,"      

"Ah' aku enggak ngerti maksudmu, sungguh?" jelas Aruna.      

"Kau berteriak ketakutan tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena kakimu sakit, lemah dan lain hal," Damar menjelaskan maksudnya, perlahan mulai bercerita.      

"Aku pernah membaca sebuah novel karya sastrawan perempuan, sebagai tugas kampus," roda itu bergerak lambat.      

"Di dalamnya menceritakan seorang laki-laki kecil yang di tambuhkan dengan baik seperti kebanyakan anak dari keluarga menengah ke atas. Ibunya seorang dokter ayahnya seorang pengacara. Tidak ada yang janggal, lelaki kecil itu bahkan sudah di ajarkan bermain piano sejak kecil dan dia perlahan mulai ahli. Kau tahu Aruna dia hidup dari keluarga yang baik dengan adik perempuan yang cantik nan menggemaskan. Coba cari kejanggalannya?" tantang Damar.      

"Em.. tidak ada apa pun," jawab gadis ini setelah menangkap dengan sesama penjelasan Damar.     

"Tepat sekali tidak ada,"     

Damar aneh, begitu batin Aruna.      

"Tidak ada sampai dia tanpa sengaja mendengarkan musik asing yang jauh berbeda dari pianonya. Piano yang harus dia pelajari dengan disiplin tinggi sejak kecil," Mendengar ungkapan Damar gadis di kursi roda mendongak ke atas mencari cara menatap pemuda yang sedang bertutur untuknya.      

"kelihatannya kamu penasaran," kalimat Damar berbuah anggukan serta sebuah kata tanya.      

"Musik apa itu?"      

"Kau pasti tidak akan percaya," Damar bikin penasaran.      

"Suatu malam ada sebuah hajatan besar di kampung sebelah sampai suara musiknya memasuki perumahan elite tempat anak itu tinggal. Karena di buru rasa penasaran lelaki kecil itu menyusuri suara musik dan makin takjub ketika sampai di sana. Suara musik yang dia dengar membuat dirinya ingin bergoyang. Dan dia bergoyang membebaskan diri malam itu, mengikuti orang-orang yang dia lihat,"      

Mangkinkah itu dangdut? Aruna membatin.      

"Dia tiba-tiba merasa amat sangat bebas serta bahagia, hingga waktu terus bergerak, tanpa di sadari orang tuanya yang mencari-cari datang lalu menyeretnya penuh kemarahan dan di marahi ampun-ampunan. Orang tuanya mengatakan musik itu bukan kelasnya dan segala macam larangan lainnya berderet berjejer di sana,"      

"kau tahu apa yang terjadi ketika seseorang di kekang dengan amat?" Ini kalimat tanya Damar.      

"Naluri kita menuntun kita ingin terbebas lepas,"      

"Tepat sama sepertimu," pernyataan Damar seolah menghakimi Aruna. Karena gadis ini tiba-tiba merasa hal yang sama benar-benar terjadi pada dirinya.      

"Si lelaki kecil kian penasaran, sembunyi-sembunyi meminjam radio pembantu rumah tangga lalu di dengarkan di kamar sambil bergoyang-goyang, tiap orang tuanya tak ada itulah kelakuannya."      

"Apa dia ketahuan lagi?"      

"Tentu. Dan dia kena marah lagi serta geraknya untuk menikmati kesukaannya kian di persempit."     

"Kasihan ya.. Damar,"      

"Hehe.." Damar terkekeh, "kekangan itu menjalar ke mana-mana, sampai dia bukan lagi suka musiknya. Dia ingin jadi biduannya, lambat laun kekagumannya bergeser pada sosok tubuh yang tidak dia punya. Sedangkan dari sisi kenyataan dia adalah laki-laki,"      

"Damar aku tidak mengerti,"      

" Dengarkan dulu," pangkas Damar, "Lelaki kecil ini beranjak dewasa. Lalu dia juga di paksa masuk sekolah yang isinya laki-laki semua. Parahnya dia yang mulai menggeser daya tariknya ke mana-mana mendapatkan bullying hebat oleh sekelompok laki-laki kakak kelasnya, hingga patah tulang dan remuk redam, sedangkan ayahnya yang hobi mengekangnya tak bisa berbuat apa-apa,"      

"Kenapa?"      

"Karena yang bully anak pejabat,"      

"Terus bagaimana doang dia?" Aruna kembali bertanya.      

"Dia di paksa menerima keadaan, dan kian membenci sosok sejenis tubuhnya,"      

Deg     

Hati Aruna berdetak, seolah menemukan titik temu cerita Damar.      

"Dia benci berada di tubuhnya sendiri?" simpul Aruna.      

"Iya, dia terbelenggu tubuhnya sendiri," Damar mengiyakan. "Harusnya ceritanya masih panjang. Singkatnya semakin dia besar dan lelaki kecil itu kian punya kuasa untuk menentukan pilihan, dia menunjukkan segala tumpukan kemerdekaan yang idam-idamkan. Lelaki kecil yang dulunya begitu lihai memainkan piano, kini lihai bergulat dengan dirinya sendiri dan bergulat dengan lingkungan di sekitarnya. Si terkekang membebaskan diri sebagai trans gender,"      

"Kau tahu Aruna, aku sebagai pembaca cerita itu ikut tersiksa. Kecilnya di kekang sedemikian rupa, di bully, di anggap aneh dan segala hal yang sejujurnya tak dia mengerti salahnya di mana? Kenapa dia di perlakukan seperti itu? Hem," Damar tersenyum sejenak melirik Aruna yang menghayati ceritanya. "kala lelaki kecil itu  remaja, dia tidak tahu gemulai di tubuh lelaki membuatnya di anggap aneh, dan lambat laun dirinya benar-benar menyatakan diri berubah menjadi wadah yang sesuai sosok di dalam. Dia menjadi perempuan."     

"sangat menyiksa dan tersiksa," Aruna membuat garis bawah cerita Damar.       

Dua sahabat itu sudah sampai di tangga teras. Dan Damar menawarkan punggungnya. Pada gerakan menelangkupkan diri ke punggung sang pemuda, Aruna berujar, "Aku pernah separah lelaki kecil yang kau ceritakan,"      

"Benarkah?"      

"Aku pernah ingin menjadi burung,"      

"Ah apa maksudmu?"      

"Sungguh. Pada satu titik aku sangat benci terkurung di dalam kastil yang mirip sangkar besar itu, lalu aku merasa menemukan cara agar aku bisa menjelma menjadi burung yang  terbang bebas ke mana-mana."      

"Apa yang kau lakukan?" Damar merasa celoteh Aruna sama anehnya.      

"Aku mencoba membebaskan diriku," gadis itu di dudukan di sofa depan televisi ruang tengah. "aku tahu burung benci Air, kemudian kulepasi alas kakiku dan berniat meleburkan diriku di dalam Danau yang punya air banyak,"       

"Aku tak paham yang kau katakan?? Biar apa?" Damar mengurai kebingungannya.      

"Haha.." gadis itu malah tertawa.      

"Biar aku ... ...      

.      

.      

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.