Ciuman Pertama Aruna

II-138. Tumpang Tindih



II-138. Tumpang Tindih

0Hela nafas panjang mengiringi caranya membuka buku kecil untuk kedua kali. Baru beberapa kata, dering telepon meronta-ronta. Otomatis mata biru berbinar, dia melompat mengais ponselnya.      

Sayang sekali yang tertulis pada layar handphone bukan nama gadis yang dia tunggu-tunggu.      

[Tuan, kakek mencari anda. Beliau menginginkan perawatan dipindahkan ke rumah induk]      

[Apakah dia masih marah padaku?] Sungguh aneh mendengarkan kalimat ini meluncur dari mulut Hendra. Sejak kapan dia peduli dengan kemarahan kakeknya.      

[Anda sudah tahu jawabannya, untuk itu Anda diminta datang] demikian Andos melengkapi percakapan singkat penuh makna.      

Tak lama, Hery datang mengetuk pintu. Ajudan itu tampaknya juga mendapat perintah yang sama. Membawa Mahendra menemui sang kakek yang bisa jadi akan melumatnya penuh emosi.      

Kemarahan kakek tidak jauh-jauh dari terbukanya tabir kehidupan sang kakek untuk perempuan Djoyodiningrat. Dan Hendra sudah siap dengan segala argumennya.      

***     

Laki-laki yang kini berjalan menyusuri lorong resto ala Jepang. Mendadak terhenti, dia membalik tubuhnya, berdiri tegak menatap Aruna yang masih bicara sambil membuntuti langkahnya.      

"Kau tidak takut padaku??" suaranya rendah mendesah.     

"Apa yang paling ditakuti orang pada umumnya? Kehilangan harta? Aku tidak punya apa-apa. Hancurnya nama baik? Toh, semua orang sudah tahu, dan sudah lelah menghujatku sebagai calon janda." Aruna tak menghentikan langkahnya, dia sudah melewati Rey yang masih memasang posenya, enggan beranjak.      

Pada akhirnya Rey lah yang menyusul langkah Aruna, ketika Gadis itu mengucapkan susunan kata yang mampu menggertak rasa di dada: "Apakah ini tentang kehilangan nyawa? Jangan salah, gadis sepertiku pernah putus asa dan berniat mengakhiri hidup."     

_Kecuali terkurung, aku sangat takut dengan hal tersebut_ kalimat lain dia simpan di dalam hati.     

Dada Rey berkecamuk mendengar pengakuan ini "Ah' setahuku kau-lah yang pernah membuat orang lain ingin mengakhiri hidupnya," Rey mengejar langkah Aruna.      

"Kau tahu dari mana? Jangan sok tahu?"      

"Ya, anggap saja aku mengenal seseorang yang pernah dekat denganmu,"      

"Kalau memang dugaanmu benar, bukan berarti aku berada pada kondisi baik-baik saja. Hal yang sama barang tentu bisa menimpaku," monolog Aruna sederhana akan tetapi mampu mencerminkan rasa percaya dirinya. Bahwa dia tidak memiliki ketakutan. Dia gadis bebas tanpa batas.      

"Sekarang urusanku denganmu adalah.. aku menolong kakakku dan kau mendapatkan sahammu, benar -kan?" Aruna memaparkan.      

"Satu lagi, kamu kubebaskan dari lingkaran setan Oliver dan Nakula," ini suara Rey melengkapi.      

"Serta lingkaran setanmu," Aruna menambahkan begitu saja.      

***     

Tetua Wiryo tak lagi bisa berjalan menggunakan kedua kakinya, dia duduk di atas kursi roda dan meminta Mahendra mendorongnya. Para dokter perlu memikirkan ulang dalam menjalankan operasi lanjutan, bukan sekedar karena usia tetua Wiryo sudah cukup tua. Melainkan, karena tulang-tulangnya belum tentu bisa melekat kembali ketika melihat posisi patahan demi patahan.      

Pemandangan yang tergolong hampir mustahil, akan tetapi melegakan bagi yang memandang. Mahendra sukarela membantu menjalankan kursi roda sang kakek.     

Semua orang pada lingkaran Djoyodiningrat hafal betul bagaimana dua manusia yang cenderung mirip ini terdeteksi selalu bersih tegang. Entah kapan kalimat perdamaian mulai di luncurkan, sampai-sampai pemandangan menyilaukan ini terjadi terlalu asing.      

Pada langkahnya mendorong tetua, lelaki yang hampir menyentuh usia 70 tahun bertutur kata: "Aku sangat marah padamu. Hampir 40 tahun kusimpan kehidupanku dari istri dan anakku. Hanya karena aku tertidur, kau, yang belum genap tiga puluh tahun berani-beraninya membuka tabir yang kututupi rapat-rapat," suara, kata, dan dehem tetua konsisten penuh tekanan dan beraura mencekam.      

Mencekam bagi para ajudan yang turut serta mengiringi langkah mereka, tapi tak lagi berlaku bagi Mahendra.     

Cucu tunggal telah memprediksi segalanya, bukan hanya argumentasi yang sudah terpatri di otaknya. Ekspresi wajah, pertanyaan sekaligus kemungkinan-kemungkinan tanggapan tetua sudah terbayang-bayang di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit ini.      

"Apa anda marah?" ini ungkapan tanya tak tahu diri Mahendra.      

"Kau bukan anak kecil yang harus aku teriaki!" tetua minta para ajudannya menyingkirkan sejenak, "Apa alasanmu?" pertanyaan yang sesuai dengan prediksi Mahendra.      

"Aku tidak ingin kehilangan hangatnya nenek, ibu, istri termasuk putriku kelak."      

"Ternyata pola pikirmu sebatas itu saja," kalimat penghinaan tetua Wiryo.     

"Aku tidak mau menggadaikan kepercayaan, cinta dan harapan mereka hanya demi rasa tenang palsu,"      

"Apakah kamu berpikir mereka akan menemukan ketenangan setelah melihat bahwa ayah, suami dan putra mereka memiliki rahasia pahit?"      

"Aku mengerti para perempuan mudah khawatir, tapi mereka tak selemah yang anda pikir. Mungkin saja mereka akan syok sementara, selanjutnya ku yakin mereka akan meneguhkan dukungan untuk anda dan untuk saya,"     

"Itu mustahil,"      

"Mustahil karena anda belum pernah mencobanya,"     

"Bagaimana bisa mereka mau menerima tangan kotor yang pernah menghilangkan nafas orang lain? Aku tidak yakin para perempuan akan kuat menerima ini," Wiryo menertawakan cucunya sendiri.      

"Apakah Anda penjahat? Kalau anda merasa demikian, pantas saja Anda berusaha keras menyembunyikan keadaan Anda yang sesungguhnya. Tapi aku tidak, aku tidak merasa diriku seorang penjahat, pembunuhan terjadi karena kita di serang, dan terpaksa menyerang. Kita mengurung seseorang karena mereka keterlaluan. aku dan mereka berbeda," terdengar sekilas hela nafas berat.      

"kau yang mengajarkan cara bertahan tak masuk akal, dan kau sendiri yang menyabda dirimu sama jahatnya dengan mereka?!" Hendra kembali mendorong kursi roda tetua. Kalimat 'anda' berubah jadi 'kau'. Tampaknya Hendra marah mengetahui sudut pandang kakeknya terhadap dirinya sendiri.      

"walaupun Anda dan saya memiliki darah yang sama (darah keluar Djoyodiningrat), bukan berarti tradisi yang Anda bangun harus saya jalani. Maaf, saya punya jalan saya sendiri," Wiryo terdiam, sampai lelaki tua ini memasuki mobil, menuju rumah induk. Wiryo tak banyak bicara. Dia menyadari sesuatu: cucunya sudah siap menggantikan dirinya menjadi seorang presdir.      

Satu tahun lalu mengharapkan Mahendra menerima jabatan ini, atau sekedar mendorongnya menghayati bahwa dialah pewaris tunggal keluarga Djoyodiningrat, Ialah sesuatu yang hampir mustahil tergapai. sekarang ada rasa syukur di balik perdebatan, cucunya begitu bertanggung jawab. Walaupun prinsip mereka berbeda.      

"Aku ingin beristirahat," tiba-tiba tetua melempar kalimat penuh makna kala mobil masih menyusuri jalanan setapak menuju rumah induk Djoyodiningrat.      

Mahendra menyadari maknanya, Ini bukan istirahat terkait tidur terlelap atau bersantai:  "beri aku waktu sampai istriku kembali kepadaku kakek,"      

"Hem.. aku pegang kata-katamu,"     

***     

Dua orang manusia dengan ikatan tumpang tindih.  Antara dimanfaatkan serta memanfaatkan akan tetapi 'tertawan perasaan'.      

Telah membuat sebuah kesepakatan panjang. Rey, memberitahu dia akan berhasil mendapatkan saham jika Aruna berkenan hadir bersamanya pada acara pertunangan Gibran. Orang penting pada lingkaran kehidupannya.      

Sebelum sampai di sana, pada sebuah acara yang akan berlangsung satu bulan lagi, Aruna perlu  tampil bersama Rey. Mengukuhkan bahwa Rey telah meraih tanda-tanda kemenangan sejak awal.      

Tujuannya, andai sewaktu-waktu Nakula dan Oliver hadir dalam kehidupan Aruna. Gadis ini bisa menolaknya dengan dalih dia di miliki Rey.     

Misi yang aneh untuk di bayangkan apalagi di jalani. Namun, Aruna biasa saja. Gadis ini sudah pernah menikah berlatar belakang perjanjian. Kondisi yang melilitnya saat ini mampu ditanggapi dengan tegar hati.      

Yang tak ingin Aruna lihat adalah hal buruk terjadi pada Anantha, kakaknya. Seperti ancaman Rey yang tertulis lengkap pada lembaran-lembaran berkas beramplop coklat.      

Tentang apakah itu?      

Hanya dua orang ini yang tahu.     

.     

.      

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.