Ciuman Pertama Aruna

II-114. Pembelaan



II-114. Pembelaan

0"Agar saya bisa membaca pernyataan pembelaan yang saya buat secara langsung di hadapan istri dan keluarganya, mumpung hari ini mereka hadir" monolog Hendra mengakibatkan pak Isman tersekat dari niat menyudahi sesi mediator.      

"Ku mohon.," Baru pertama ini aku dengar kalimat permohonan enteng Mahendra suarakan, hal pertama yang detik ini juga ingin aku lakukan adalah meminta pelukan pria bermata biru.      

"Baiklah., akan aku sampaikan pada hakim pimpinan sidang. Kita jeda dulu, istirahatlah sebelum sesi berikutnya, setelah ini Anda berdua kembali ke ruang sidang," Demikian ungkapan Hakim mediator sebelum menghilang di balik pintu dan menyisakan kami berdua.      

.      

.      

Ruangan itu menyisakan dua orang terdiam membisu hanya ada mereka berdua, tampaknya enggan beranjak. Tepat ketika salah satu menggerakkan tubuhnya untuk bangkit si perempuan memegangi lengan sang pria. "Aku sudah berjanji pada diriku, tak akan lagi berjalan kepadamu," dia yang resah menghela nafas. "Datanglah kepadaku, berhentilah menyiksa diri, aku akan menunggumu sampai semua ini usai," Hendra menarik sikunya.      

Di sisi lain si gadis penyimpan seribu tanda tanya atas apa yang harus dirinya lakukan kian larut dalam penghayatan atas beban persidangan yang tak sanggup dia tanggung lagi.      

Anehnya, mata biru kembali kepada Aruna, Hendra berbalik lagi setelah berdiri sejenak di depan pintu. Sang suami mendekat, memegangi jemari Istrinya, memutar kursi dan menyamakan tinggi dengan gadis yang duduk mungil pada kursi.      

"Kali ini aku berjanji aku tidak akan mengecewakanmu. Ketika kamu memilih kembali padaku, kupastikan akan kuberikan banyak waktuku untukmu. Aku akan sering mengajakmu bicara, agar aku tahu apa yang kamu inginkan," Entah sejak kapan sang pria meletakkan salah satu lututnya di lantai.      

"Aku boleh kuliah? Boleh tetap bekerja dengan teman-teman di Surat Ajaib?" ucapan lirih Aruna memunculkan gambaran sang kakek yang terbaring di rumah sakit. Bersama dengan hal tersebut Hendra mencoba menemukan cara terbaik untuk menjawab pertanyaan istrinya. Dia terdiam dan matanya mengembara, sebuah tanda bahwa pria ini sedang menyusun neuron-neuron di dalam otaknya.      

"Aku pria yang di bebani banyak tanggung jawab sejak lahir, kau tahu itu kan?" Jawaban tersebut sudah dapat di duga akan menghasilkan wajah tertunduk lesu sang perempuan. "Walau pun kenyataannya seperti itu, aku akan mencoba hal mustahil ini (Kesepakatan yang di sarankan Andos)" dahi Aruna mengerut bingung.      

"Kita coba untuk tinggal bersama, berdua saja. Diam-diam, siapa pun tak perlu tahu, baik keluargamu atau keluargaku, dua bulan saja Aruna.." Hendra menatap lamat-lamat mata yang warnanya tak lagi coklat. Iris mata Aruna perpaduan coklat dan semburat merah karena bekas menangis.      

"Apa yang seperti itu baik?" Si polos mencari pemahaman.      

"Terlalu banyak salah paham yang terjadi di antara kita, keyakinan tidak bisa datang sendiri. Kita harus membangunnya kembali, setelah itu terserah kamu. Apakah itu baik atau buruk" _sehingga kau tak lagi bertanya-tanya apa itu pernikahan?, apa itu istri?_ Sebagian Kalimat Hendra, dia simpan untuk dirinya sendiri.      

"Dua bulan? Kenapa dia bulan? Ada apa dengan dua bulan?" tanya Aruna.      

"Dulu aku meminta padamu dua tahun., Sekarang aku yakin dengan kesempatan dua bula.." Suara Hendra berakhir dorongan. Anantha mendorong kasar tubuh Mahendra hingga terjatuh.      

"Enyah kau dari adikku! Dasar tak tahu diri! Beraninya kamu mendekati adikku lagi!" Perilaku dan kata-kata kasar Anantha membuat gadis yang berstatus istri berusaha bangkit meraih suaminya yang sengaja menjauh. Sayangnya gadis ini di tarik kasar sang kakak, dia di jauhkan sejauh yang Anantha bisa.      

Menyisakan seorang lelaki yang berdiri sendirian di tengah-tengah ruang mediator.      

"Bersabarlah, tujuan anda semakin dekat. Kendalikan diri anda.," tangan mengepal mata biru merenggang mendengarkan tutur Andos. Cucu Wiryo mulai belajar hal baru tentang mendengarkan saran orang lain.      

"Oh iya., ada berita baik., kakek Anda sudah siuman,"      

"Bagaimana pengusutan tim Raka dan yang lain?"      

"Maaf, belum ada temuan berarti, akan tetapi salah satu mobil di duga sengaja menabrakkan diri ke badan truk yang melaju di depan rombongan mobil tetua."      

.      

.      

Kuasa hukum Mahendra kembali mengendalikan situasi, seorang lawyer dengan jam terbang tinggi memang pandai bermain kata. Menukik ke sana kemari layaknya pembalap yang sudah mengusai setiap celah sirkuit.      

Pengacara dengan gelang jam mewah pada pergelangan tangan kirinya, sedang berjalan menuju meja pimpinan sidang. Dia menyerahkan berkas pembelaan untuk kliennya, sesaat kemudian terdengar kata tanya dari sang hakim: "Apakah berkas pembelaan ini benar berasal dari Anda?" matanya mengarah pada Mahendra. Sang hakim yang duduk di tengah sedang bertanya pada tergugat.      

"Iya, saya sendiri yang membuatnya," Demikian Hendra menjawab. Dan sang hakim mengangguk lalu bertanya kembali. "Apakah berkas ini akan anda baca sendiri atau cukup diwakilkan pada kami?"      

"Saya akan membacanya sendiri," Ungkapan pria ini menimbulkan detak di hati banyak orang, kecuali Aruna. Gadis ini ingin tahu apa jawaban Hendra atas tiap-tiap gugatan yang dilayangkan oleh kakaknya. Walau pun gugatan itu jelas-jelas atas nama Aruna, sayangnya isi gugatan adalah isi otak sang kakak bukan pikiran pribadinya.      

Lembaran kertas sudah berada di tangan Mahendra, dia membolak-balik berapa kali. Tampak jelas pria ini mencoba memantapkan hati, memeriksa sejenak bukan untuk menghitung kelengkapan halaman melainkan memantapkan dari.      

"Saya menulis ini sendiri, (jeda melirik sang istri) bukan bagian dari negosiasi dengan kuasa hukum saya. Saya tahu dia sangat ahli dan beberapa kali berharap diperkenankan memberi bantuan, Pak Yuga hanya membantu saya untuk melengkapi bukti." Dia yang berbicara mulai menimbulkan resah di hati lawannya. Siapa lawan seorang yang tergugat? Tentu saja penggugat. Bukan tentang resah akan kalah dalam persidangan, si penggugat resah dirinya tidak sanggup mendengar bait–bait tulisan yang akan di bacakan si tergugat.      

_Ini isi hati Hendra. Apakah aku sanggup mendengarnya?_ gadis sendu yang kian hari kian sulit memahami situasi. Memegangi dadanya kala mendengar kalimat pertama.      

"Aku tahu ini sidang perceraian, jalan terakhir menuju perpisahan. Aku berharap dengan membaca pembelaanku di hadapan yang mulia dan di hadapan keluarga istriku. Kami bisa saling meluluhkan hati," kalimat ini meluncur bersama hembusan nafas yang sejenak tersekat lalu buru-buru di ambil lagi oksigen di udara.      

"Pembelaan dari dasar perceraian nomor 1, salah satu pihak berbuat perselingkuhan dengan ditemukannya tindakan yang tak layak di lakukan seorang suami." Hendra mulai membaca.      

"Malam itu saya mengakui, saya minum-minum di bar, dan berakhir mencium Tania. Saya menyesal, saya tahu hal semacam itu tidak layak di lakukan seorang suami kepada perempuan lain. Sayangnya hanya segelintir orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku menuju bar karena aku di tolak istriku, aku mencintainya. Sangat mencintainya hingga begitu hancur ketika di malam... ... ...      

.      

.      

__________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

1. Lempar Power Stone terbaik ^^      

2. Gift, beri aku banyak Semangat!      

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.