Ciuman Pertama Aruna

II. 113. Mediasi Mediator



II. 113. Mediasi Mediator

0"Tergugat dan penggugat apakah sudah ada kesepakatan terkait hakim mediator?" tanya jaksa kepada dua pasang suami istri diambang krisis. Hubungan yang rumit serasa bergerak menuju akhir, walau kisah pernyataan cinta baru dimulai.     

"Sejak awal keputusan klien kami tetap sama, kami menginginkan mediator dari luar. Pak jaksa yang terhormat mohon di pertimbangkan Dr. Diana, SpKJ menjadi mediator," pengacara Hendra berjalan menuju meja hakim jaksa.      

"Dokter Diana seorang psikiater, mungkin Anda sendiri sudah tidak asing dengan nama beliau. Saya mengajukan Dr. Diana karena kami tahu sang dokter turut serta mengamati perkembangan pernikahan klien kami," Suara pengacara Hendra terdengar dinamis dengan intonasi tajam pada tiap akhir kalimatnya.      

"Berarti Anda dan klien Anda mengiyakan poin gugatan nomor 5 (pihak tergugat mengalami penyakit tertentu yang menghambat kehidupan berumah tangga)?" suara kuasa hukum yang di bawa keluarga Aruna dengan ekspresi senang. Sedangkan pengacara Hendra hanya tersenyum, pengacara Hendra terlihat tidak asing dia beberapa kali menangani kasus perceraian kalangan borjuis. Berkas yang di bawa terlihat lebih banyak.      

"Sebentar satu-satu, Anda belum boleh bicara sebelum minta ijin pada kami dan kami persilahkan, harap di ingat aturan protokoler persidangan," tampaknya senyum yang di suguhkan kuasa hukum Hendra memiliki arti, salah satunya cara menunjukkan daya saingnya kepada pengacara keluarga Aruna yang tidak elegan. Rasa menang yang tadi terlihat berubah menjadi rasa malu.      

Akhirnya kedua belah pihak larut dalam perdebatan hanya untuk membahas siapa yang paling tepat sebagai mediator. Sampai pada suatu titik ketika kuasa hukum Hendra sedang berbicara, Mata biru mengangkat tangannya menghentikan pembelaan yang di suarakan pengacaranya sendiri.      

Sontak pengacaranya melirik klien mereka, terlihat bingung. Bagaimana bisa Mahendra sendiri yang menghentikan pembelaan yang sedang dia ucapkan.      

Cukup mengejutkan ketika sang tergugat berkata: "saya terima mediator yang disiapkan hakim," dia mengabulkan permintaan kuasa hukum yang disiapkan Anantha.      

Dan benar majelis hakim menunjuk salah satu hakim lain menjadi mediator. Kemudian 2 pasang suami istri ini dibawa menuju ruangan khusus mediasi.       

.     

Hendra masih belum melirikku sama sekali, ketika hakim mediator mulai menyuarakan kalimat-kalimat mediasi yang benar-benar menyayatiku.      

Status kami sekarang adalah tergugat dan penggugat. Aku baru tahu bahwa kami tidak lagi di panggil suami dan istri.      

Kondisi ini sangat memilukan rasa-rasanya ada sekelompok orang pembawa parang melibas dan memorak-porandakan etalase berisikan keramik rapuh. Lalu etalase itu hancur mumur lebur menjadi kepingan-kepingan kecil tak beraturan. Itulah hatiku sekarang, remuk berserakan.      

"Bapak dan Ibu, silakan duduk!" Sesaat setelah Hakim mediator yang bertugas membaca surat permohonan perceraian yang ternyata buatan kuasa hukum kakakku.      

Lebar demi lembar yang di baca pak Isman sang mediator membuatku tersentak. Gugatan kakakku sampai kepada sindrom yang di derita Hendra. Sungguh keterlaluan, ingin rasanya aku berlari pada kakak lalu aku robek surat itu di hadapannya.      

Ada apa dengan kak Anantha, kenapa dia begini? Aku tahu kakak ku melihat hubunganku dan Mahendra sekedar menggunakan isi kepalanya. Dia pasti membenci Hendra dan keluarga Djoyodiningrat dengan sangat karena sudah merampas adiknya dan merampasku termasuk menjadikanku alat untuk menyembuhkan Hendra.      

Sayangnya kakak sama sekali tidak mengerti bagaimana perasaan seorang istri, walau aku masih muda aku adalah istri yang perlahan mencintai suamiku dan ingin mempertahankan rumah tanggaku.      

Hendra pasti sangat marah karena aku masih membela kakakku dalam keadaan seperti ini. Sekarang pun dia hanya mendiamkanku.      

Kini pak Isman bertanya, "Bu Aruna, apakah ibu sudah yakin dengan surat permohonan ini?" Dia bertanya sampai tiga kali karena lidahku kelu dan tubuhku mulai bergetar.      

"Lanjutkan saja pak," Demikian Hendra meyakinkan pak Isman, suara rendahnya menjelma bak lagu melo dan siap mengantarku dalam keadaan paling pilu.     

"Kalau Bapak, apakah Bapak Mahendra sudah membaca surat ini?" Pak Isman bertanya pada Hendra     

"Sudah, Saya tahu istri saya mengajukan cerai. Walau saya sangat keberatan saya harus menghadapi ini, kan," ujar Hendra. Suaranya datar, tampaknya dia lebih siap dariku.      

 "Aku membaca berkas kalian, dan anda berdua, Em.. baru merayakan ulang tahun pernikahan pertama?. Apakah kalian sempat merayakannya?" Pak Isman menatap kami bergantian. Aku mengangguk, akan tetapi Hendra hanya diam.      

Aku terus mengamatinya dan kusadari pria ini menjerat erat pegangan kursi. Caranya mengikat jari-jarinya pada pegangan kursi mirip dengan caranya berpegangan pada teralis bianglala, Hendra mungkin sedang memendam rasa takutnya.      

"Perceraian akan menyakiti banyak orang terutama yang mendukung pernikahan kalian, bisa berdampak besar pada tumbuh kembang putra putri kalian. Cobalah untuk memikirkan ulang" setiap kali pak Isman berbicara semakin sesak dadaku.      

"kami belum memiliki keturunan?" Hendra menuturkan keadaan.      

"Apakah salah satu dari kalian divonis tidak bisa punya keturunan?"      

"tidak juga?"      

"Baiklah.," Ucap pak Isman memandangiku, pak Isman pasti sadar aku sudah tidak lagi bisa bersuara. "cobalah untuk bersabar, kehadiran seorang bayi adalah takdir yang kuasa. Kalaupun mereka tidak hadir di tahun pertama, bisa jadi nanti diberikan pada tahun kedua atau tahun ketiga. Seperti aku dan istriku, kami baru memiliki Putri setelah kami menunggunya selama 6 tahun," pak Isman lebih banyak memandangiku, pasti dia berfikir Aku adalah perempuan yang minder karena tak kunjung memberikan keturunan kepada seorang pewaris tunggal.      

"aku sangat sabar, dan aku akan menunggunya sampai dia mau?" Kini Hendra ikut serta memandangiku. Entah apa yang terjadi, aku sudah tak lagi  bisa mempertahankan air di mataku. Zat cair itu jatuh begitu saja. Sesungguhnya ini bukan tentang bayi kecil yang belum aku melahirkan.      

"Dia mau?" pak Isman mengulangi kata-kata Hendra, merunduk mencari wajahku yang tertunduk. "kau belum mau punya bayi?" mulutku kelu, aku sudah mencoba mengeluarkan suara tapi yang terdengar hanya Isak tangisku sendiri. Aku tidak sanggup menghadapi ini.      

"Bu Aruna terlihat masih muda.. pasti anda bingung ya., Punya bayi memang tidak mudah.. tapi kehadiran anak akan menguatkan perasaan kasih sayang di antara kalian. Percayalah" aku melihat pak Isman tersenyum padaku berusaha menenangkan ku.      

"Apa Bu Aruna tidak ingin mengenang masa-masa indah berpacaran dulu?" senyum pak Isman mirip guru sedang merayu muridnya yang mogok belajar.      

"kami tidak punya kenangan masa-masa pacaran," konfirmasi Hendra.      

"Kami di dijodohkan," Hendra terdengar menghela nafas sejenak. "tapi, aku sangat mencintainya bahkan sebelum pernikahan kami dilangsungkan," monolog Hendra meloloskan satu isak tangis yang tidak bisa Aku tahan.      

"Lalu kenapa anda menggugat suami anda. Bu Aruna., Anda juga  menangis sampai.." Pak Isman menatapku penuh tanda tanya sampai tidak bisa berkata-kata.     

"keluarganya yang menginginkan kami berpisah," Hendra membuat pernyataan dan sebuah gerakan yang membuatku sangat terharu, Hendra mengelus rambutku dua kali.      

"Oh begitu," Pak Isman mengurai pemahaman.      

"Bolehkah saya membuat usulan?" pertanyaan Hendra menghasilkan kerutan tanda tanya di wajah hakim mediator. "Saya memohon sidang ini dilanjutkan?" Ku lihat Hendra berusaha meyakinkan pak Isman.     

"Agar saya bisa membaca pernyataan pembelaan yang saya buat secara langsung di hadapan istri dan keluarganya, mumpung hari ini mereka hadir" monolog Hendra ... ....      

.     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.