Ciuman Pertama Aruna

II-102. Pedar



II-102. Pedar

0"Bagaimana kalau kalian tidur di rumah kami malam ini? Besok saya pesankan pesawat lagi. Setahuku penerbangan terakhir seperti ini sampai Jakarta tengah malam" pinta pak Amar.       

"Bagaimana menurutmu Aruna?" tanya pemuda Padang.       

"Damar boleh ikut aku sebentar?" Pinta gadis kalut ini, dan pemuda jangkung mengikutinya menjauh sejenak dari keluarga barunya.       

"Aku tahu tidak mudah bagimu berjumpa dengan mereka. Tinggal –lah di bersama mereka sehari lagi di Surabaya," pinta Aruna.       

"Lalu kamu?"       

"Aku tetap pulang, kak Anantha yang menjemputku." keduanya sempat terdiam sejenak saling memahami satu sama lain. Damar paham kak Anantha tidak akan membiarkan Aruna pulang di luar ijinnya sedangkan Aruna paham perjumpaan Damar dengan keluarga ayahnya adalah kemustahilan yang terwujud secara mengejutkan. Hal ini barangkali sebuah doa panjang salah satu dari mereka yang di kabulkan.       

"Aku tetap pulang bersamamu" pemuda Padang melengkapkan keyakinan.       

"Aku benci di kasihani!"       

"Hai.. Aku tidak mengasihanimu?!"       

"Lalu apa?? Kamu masih mengharap cintaku maka kamu ingin hadir menemaniku?"       

_Iya, mungkin benar katamu Aruna_ pria ini hanya bisa membatin harapannya.      

"Jangan naif Damar, naif dan simpati memang persamaan kata namun keduanya berbeda, aku tidak butuh simpatimu karena aku sedang bersedih dan kau tidak boleh naif dengan perasaanmu." Damar menyatukan alisnya mendengar monolog Aruna. Gadis ini terdengar tegas di beberapa patahan katanya. Tentu itu artinya Aruna benar-benar sedang ingin sendiri. Sang pemilik cinta tanpa balas memahami gadis ini dengan sangat detail.       

Sempat Aruna tersenyum pamit pada keluarga ayah Damar, tentu semunya menyambut lega. Tahu gadis ini kembali ke Jakarta sendirian tanpa sang pemuda yang sedang mereka gandrungi dalam tafsiran berbeda di tiap individunya. Pak Amar termasuk Lia ingin mendekatinya sebagai orang tua kepada anak laki-lakinya yang menghilang lama. Sedang dua gadis muda adik-adiknya masih menafsirkan Danu Umar sebagai artis idola yang mendadak jadi kakaknya sudah mirip cerita di novel-novel fun fiction konsumsi fans girls.       

"Hati-hati," hantar pemuda ini mengulum khawatirnya.       

"Hee.. Kau pikir aku mau ke mana," renyah Aruna menepis dukanya.      

"Kalian tidak ikut dengannya?" tanya Damar pada dua pengawal si sialan tidak tahu diri.       

"Kami tidak mendapat perintah tersebut," Jawab salah satu dari dua pria berseragam. Aruna sempat bertemu mata mengamati mereka. Gadis ini tahu marahnya Hendra bisa berupa apa saja, sayang dia tidak sadar ada yang lain di dalam siap membuntuti istri tuan mereka diam-diam.      

"Kalau aku sudah sampai Jakarta, aku ajari cara move on paling ampuh," si gondrong menguatkan.       

_Entah aku tak yakin aku ingin move on dari rasaku ini, nanti jika aku lelah aku akan coba_ relung hati Aruna bercerita.       

"Kau lama tidak mendaki 'kan?" dan gadis ini tersenyum tahu dia akan di ajari jadi Cikalang terbang di lereng-lereng pegunungan.       

"Aku rasa idemu tidak buruk," Senyum Aruna melambaikan tangannya.       

"Jangan lupa aku paling pandai membuatmu bahagia," teriak sang pria merealisasikan harapannya di tengok sekali lagi oleh gadis yang berjalan pergi, benih cintanya terpupuk kembali.       

.      

"Beri tahu tuanmu, jika dia masih saja membuat Aruna menangis jangan salahkan aku kalau aku berusaha merebutnya sekali lagi." Pemuda jangkung mendekati dua Ajudan Mahendra.       

"Oh iya, satu lagi. Jangan gunakan earphone hitam di telinga. Kalian sangat mudah dikenali," ledek Damar pada dua pria berpostur senada, pedar[1] melihat kelakuan saingannya.       

***      

Jet pribadi produksi Gulfstream Aerospace Corporation tipe G600 terbang di atas angkasa kota Surabaya, sekian menit di belakang kepergian gadis kecil yang memilih mengabaikan semua kemudahan yang di tawarkan tuan muda meradang ini.       

"Kau mirip kakekmu," cetus Raka memecah kebekuan cabin pesawat sepanjang 96 kaki, setinggi 25 kaki, dengan lebar sayap 94 kaki yang menampung 11 orang dari kapasitas 19 penumpang termasuk awak kapal.      

Yang di ajak bicara diam saja, Hendra sedang malas menanggapi Raka. Pimpinan ajudan ini perlu membuntutinya dia tidak mau kecolongan lagi seperti kejadian kepulangan tuan muda Djoyodiningrat dari Sidney.       

Lama terdiam, sang tuan muda bersuara, "Dia masih menangis?".       

"Iya," jawab Raka. "Oh, dia juga pulang sendirian," lengkap Raka melaporkan info terakhir yang didapat.       

"Bukankah dia harusnya bersama pemuda itu," konfirmasi Hendra, lantas kerutan di antara kedua alisnya tertangkap. Jikalau di amati Damar dan Hendra sama saja,. Kesulitan menyebutkan nama satu sama lain, tapi kali ini tampaknya sang penantang membutuhkan pesaingnya. Dia kini berharap pemuda itu menemani istrinya, si Padang saingannya lebih pandai menghibur Aruna dari pada dirinya.       

"Tidak semua skenario bisa berjalan sesuai prediksi kita," santai Raka berucap.       

"Seperti kamu yang harusnya menyudahi semua ini sejak tragedi di Bali," tambah pimpinan para Ajudan.       

"Jangan sampai mulutmu membuatmu kulempar dari pesawat ini," dongkol Hendra mengingat kepalanya di hantam benda keras oleh lelaki ini.          

"Hehe, lama-lama cara Anda benar-benar mirip tetua Wiryo," dia si badan kekar terkekeh menggerakkan kursi kabin nyaman.       

"Tidak ada cara lain," Hendra menandaskan alasan.       

"Oh, bahkan alasan Anda sama persis," cela Raka berani.       

"KENAPA KAU SELALU MENYEBUTKU SAMA DENGAN KAKEK KU" akhirnya Hendra berang juga. Pria tidak terima ini mengagetkan anak buahnya yang lain.       

"Itu kenyataan yang saya lihat, jangan marah.." celetuk santai Raka, "Anda menggertak hati istri Anda agar dia kalut dan berpikir ulang untuk meninggalkan Anda. Anda tahu kakek Anda melakukan hal yang sama tiap kali menginginkan Anda melakukan sesuai yang dia mau. Apa kata-kataku salah?" tubuh kekar ini mengangkat tangan seolah memberi tahu, 'silakan tonjok aku kalau kata-kataku salah'       

Dan lelaki bermata biru terdiam. "Sayangnya cara seperti itu mengakibatkan Anda berada di posisi fifty-fifty, kakekmu meninggalkan cara egoisnya setelah tahu Anda begitu terlena dengan kehadiran istri Anda, aku sedikit terkejut mengapa Anda lakukan hal yang sudah di tinggalkan kakek Anda. Menggertak gadis rapuh dengan pilihan yang belum dia pahami,"       

Dia yang di ajak bicara terdiam seribu bahasa.      

***      

Gadis ini berdiri kebingungan setelah keluar dari pintu kedatangan domestik. Kakaknya tidak ada, buru-buru dia buka Airplane Mode. Ternyata lima pesan dia terima kakaknya mengatakan dirinya tidak bisa menjemput karena masih terjebak macet perjalanan pulang dari agenda bisnisnya di luar kota.             

Tentu kaki si mungil langsung lesu, dia mati-matian meninggalkan kesempatan yang di tawarkan suaminya dan si kakak malah dengan enteng berperilaku seenaknya.       

"Aruna," Suara pria memanggil namanya. Pria itu berdiri di depan gadis yang sedang duduk-duduk di bangku, merunduk lelah.       

"Ayo pulang! Anantha minta tolong padaku menjemputmu," dia merunduk mengintip Aruna yang enggan melihatnya.       

"Kau marah dengan kakakmu?" gadis ini membuang muka.       

"Jangan di limpahkan padaku." Dia meraih tas Aruna dan memanggulnya. "Masak tidak di jemput kakak sampai matanya bengkak" candanya, "Sudah besar jangan cengeng."             

          

[1] Pedar: kesal hati.       

.       

.       

__________________________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.