Ciuman Pertama Aruna

Anak Kucing



Anak Kucing

0"Kau sudah membawa yang aku inginkan?". Wiryo meminta Surya duduk, sekertaris cucunya segera memenuhi permintaan tetua. Pria itu menyerahkan Apple Ipad Pro 11-inch kepadanya.     

Wiryo segera memeriksanya. Dia memperhatikan gerak-gerik cucunya dengan putri Lesmana yang terpotret oleh kamera fotografer.     

Cucunya terlihat canggung dan putri Lesmana lebih parah lagi, gadis itu benar-benar sedang tertekan, murung dan tidak bersemangat terlihat jelas bahwa putri bungsu Lesmana menghindari Hendra. Hingga gerakan tangan Wiryo terhenti sejenak. Mengamati Hendra yang sedang merapikan tali sepatu Aruna. Wiryo tidak yakin Hendra memiliki kepedulian terhadap orang lain. Apalagi gadis itu sengaja memalingkan muka mengabaikannya.     

Jemari kakek Hendra semakin melambat, tiap foto yang tertangkap begitu menarik perhatian. Dadanya berdebar sesaat, ketika mengamati jari-jari cucunya meraih tangan Aruna. Surya menangkap ekspresi terpaku Wiryo.     

"Ah anda pasti sangat bingung. Beberapa aktivitas mereka memang kami sarankan agar terlihat mesra". Surya menyela.     

Wiryo kembali melakukan pengamatan. Ada senyum kecil disudut bibirnya ketika mengamati foto secara berurutan. Ketika Hendra tersenyum jahil diiringi wajah putri Lesmana yang cemberut, lalu gadis kecil yang tersenyum dibuat-buat dan terakhir tamparan Aruna menyingkirkan tangan Hendra. Menyadari cucunya mulai berbeda, Hendra lebih hangat dari dugaannya.     

Kakek Djoyodiningrat semakin penasaran. Jarinya terhenti, ketika menangkap dua anak manusia bermain kejar-kejaran. Nampak sekali tawa lepas Hendra, berlarian menghindari calon istrinya. Sesekali melempar barang dan menghalau pukulan putri Lesmana. Kini senyum Wiryo tidak lagi bisa ditahan, pria tua itu memiliki lesung pipi yang sama ketika tersenyum. Sesuatu yang langka terukir diwajahnya, membuat orang-orang disekitar terkejut.     

Dia menyandarkan punggungnya lebih nyaman ke sofa. Teras rumah dengan desain Porch (Desain teras rumah diatas permukaan tanah dan tertutup atap. Struktur dari porch berada diluar dinding bangunan namun menempel pada struktur utama) klasik dengan kursi kombinasi antara kayu dan sofa ringan. Memberikan kesan hangat, sehangat orang-orang Wiryo yang ikut sumringah melihat ekspresi Presdir mereka tersenyum.     

Tetua menghabiskan lebih dari satu jam untuk sekedar mengamati foto Hendra dan Aruna. Dia sempat tertawa ketika matanya menangkap sosok tangan kecil berani menjambak rambut cucunya. Atau cucunya yang sedang jengkel menggendong gadis mungil tertidur.     

"Maaf kami harusnya memfilter terlebih dahulu foto-foto ini". Surya merasa bodoh membiarkan Wiryo menemukan kelakuan kurang elok dari sepasang calon suami istri itu. Tapi Wiryo malah memujinya, dia berharap foto-foto itu segera dikirimkan kepada Diana. Diana akan senang melihat ini, dan Wiryo semakin yakin misinya akan berhasil. Menjaga keberlangsungan penerus keluarga Djoyodiningrat. Wasiat terakhir kakeknya yang dititipkan secara khusus pada Wiryo bukan pada ayahnya.     

***     

"Aruna aku di depan".     

"Kenapa tidak masuk?". Aruna terkejut dengan suara pria serak tidak beraturan.     

"Ada apa dengan mu Damar?".     

_Kenapa Damar tidak langsung masuk kedalam outlet Surat Ajaib?_ Batin Aruna. Pemuda padang sedikit berbeda. Sepertinya dia sedang kacau.     

Aruna menyelinap dari teman-temannya, berlari menggunakan payung ditangan bersama rintik hujan. Gadis itu kebingungan dimana Damar. Dia bilang ada didepan?.     

Sesaat kemudian mobil sedan berwarna hitam mendekat. Ketika kaca mobil diturunkan barulah dia dapati Damar didalam. Gerakan tangannya sebuah intruksi agar Aruna segera masuk.     

"Ada apa dengan mu?". Pertanyaan Aruna seiring dengan laju mobil yang melesat cepat.     

"Pasang dulu sabuk pengamannya". Pinta Pemuda jangkung itu. Wajahnya terlihat letih. Mungkin jadwalnya begitu padat hingga raut mukanya demikian payah.     

"Kau sudah makan Damar?". Tanya Aruna. Damar terlihat lebih kurus. Dia hanya tersenyum.     

"Kalau belum, kita makan dulu ya?".     

"Tidak perlu Aruna, kita beli online aja nanti".     

"Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu". Suaranya paruh. Damar suka bercanda dan tertawa tapi tidak untuk sekarang, Aruna sedikit khawatir.     

***     

Mobil hitam melaju memasuki perumahan tepian pantai tidak jauh dari pusat kota, sesaat berikutnya Damar turun dan membuka gerbang rumah tergesa-gesa.     

_Apa ini tempat tinggal Damar?_     

Pria itu kembali memasuki mobilnya dan melaju perlahan menuju garasi.     

"Damar kita dimana?".     

"Ini adalah rumah baru ku yang aku dapat dari kontrak ekslusif salah satu iklan".     

"Kau bisa datang kapan saja, kode key pintu gerbang dan pintu rumah ini sama". Aruna mulai ragu dengan sikapnya, biasanya dia bahagia bersama Damar. Namun caranya hari ini mirip seseorang. Ya, seseorang yang suka sekali membawanya tanpa permisi dan berperilaku sesuka hati. Siapa lagi kalau bukan Hendra.     

Damar memencet beberapa nomor pada alat yang terpasang di pintu.     

"240417, hari pertama kita bertemu". Sempat menatap Aruna, memastikan Aruna mendengarnya. Sesaat kemudian meraih tangan Aruna, menariknya agar lekas masuk kedalam rumah. Lama pemuda Padang terdiam dibalik jendela seakan mengamati sesuatu. Membuka sedikit kain yang membatasi sinar matahari menerobos masuk kedalam.     

Aruna ikut penasaran menyusup dibawah Damar. Tidak mau ketinggalan mengamati sesuatu yang membuat sahabatnya demikian serius.     

"Kau lihat mobil itu Aruna?". Tanya Damar. Aruna mendongak dan keduanya gelagapan, mereka terlalu dekat.     

"Em.. yang mana?". Aruna mencoba memecahkan kecanggungan diantara mereka.     

"Itu.. lihat itu.. satunya berbalik".     

"Dan satunya berjalan lambat". Dua buah mobil berseliweran kemudian menghilang.     

"Mobil-mobil itu sudah membuntutimu beberapa hari ini". Jelas Damar.     

"Aku dilarang keras oleh Pandu menemuimu karena mereka. Aku belum berani mengatakan padamu sebelum kamu tahu sendiri".     

_Aku yakin kau tidak tahu, bahkan hari ini saja kau tidak sadar_     

"Aku tidak tahan dan melarikan diri untuk berjumpa denganmu".     

"Kau tahu siapa mereka?". Damar menelisik, dia sebenarnya memiliki prediksi kuat bahwa mereka adalah orang suruhan calon suami Aruna.     

"he.. ". Aruna tersenyum kecut.     

"Mereka para pengawal Hendra". Kemudian wajah gadis itu suram meninggalkan jendela. Mengamati rumah Damar yang demikian simpel namun artistik. Beberapa lukisan unik ada disana. Termasuk susunan gitar dan piano. Tepat disisi tengah ruangan terdapat sofa serta bantal-bantal besar tentu saja televisi dilengkapi stik game berserakan. Ini baru Damar.     

Diujung sana terdapat pentry bernuansa kecoklatan mempertahankan urat kayu. Aruna lari menuju pentry, dia sedang lapar memang sudah saatnya makan siang.     

"Kau punya apa Damar?". Aruna membuka pintu kulkasnya, ada banyak makanan berantakan. Sesaat kemudian matanya tertuju pada wastafel, berantakan.     

Aruna menepuk jidatnya.     

"Penampilanmu saja yang berubah!, Lihat kelakuanmu.. Aduuuuh SAMA SAJA!!".     

"Hehe.. merubah habitkan nggak mudah". Damar mendelik takut kena omel Aruna.     

"Aku akan masak, kamu bersih-bersih!!".     

"Baiklah nyonya".     

"Nyonya jahat". Sindir Damar.     

"Sini kau.. anak nakal". Dan Aruna mulai mengoceh kesana kemari seperti bundanya. Sesuatu yang paling dirindukan Damar. Dalam percakapan mereka disela-sela kesibukan masak dan beres-beres. Rasanya semua beban menghilang, lenyap. Aruna seolah kembali pada masa-masa sebelum dia menanggung kewajiban pemenuhan janji ayahnya.     

"Damar..!! apa ini bau sekali". Aruna mengangkat plastik dari dalam kulkas.     

"Hehe itu okefood 4 hari kemarin, lupa nggak aku makan".     

"Aish' Gila. Ambil!. Bersihkan!!". Dan Damar nurut seperti anak kucing yang tertangkap mencuri lauk.     

"Aruna apa ayamnya sudah waktunya dibalik?".     

"Ah' iya aku lupa".     

"Minggir-minggir..".     

"Aruna ini motongnya gimana?".     

"Potong aja.. jangan banyak tanya?!".     

***     

"Hugh.. akhirnya selesai..".     

"Damar tolong ambilkan nasinya". Pria itu langsung tangkas membawa nasi lengkap dengan magic com.     

"Ya tuhaaan. Kenapa gak kamu bawa sekalian kompor kemari".     

"Cerewet banget emak-emak satu ini". Damar tidak tahan ingin segera makan. Sebuah meja pendek sengaja dia siapkan diruang tengah. Televisi dinyalakan sebagi penghangatan suasana. Dia rindu makanan rumah dan rindu cara makan Aruna.     

"Eh' ini enak banget, coba dech!". Aruna menyuapinya sepotong sayuran panas. Gadis itu bahkan meniupnya untuk Damar.     

"Tapi potongan sayurannya enggak banget".     

"Hahaha kau bilang potong aja sesuka hati". Damar tertawa mendengar keluhan Aruna.     

Disisi lain tim bentukan Andos melaporkan hilangnya calon nona keluarga Djoyodiningrat. Para pengawal menyebar dan dengan terpaksa melaporkan kepada Hendra. Mereka menemukan handphone Aruna yang tertinggal di outlet Surat Ajaib.     

Pria itu sadar Aruna sedang bersama siapa. Mendapati panggilan pada detik terakhir sebelum gadis itu menghilang adalah panggilan dari pesaingnya, Damar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.