Ciuman Pertama Aruna

III-12. Bom Berdentum



III-12. Bom Berdentum

0"Nana maafkan aku, baru sekarang aku bisa membuat keputusan. Aku tidak akan bisa menikah denganmu hanya untuk mendapatkan keturunan, aku sudah mendapatkan calon ibu untuk anak-anakku," mata perempuan yang di ajak bicara Mahendra memerah.     

"Kau pasti kecewa, aku tidak bisa dan tidak ingin memanfaatkan rasa sukamu untuk kepentinganku sendiri," ungkapan Hendra terdengar bijaksana, tapi tidak bagi lawan bicaranya.     

Hendra berdiri dan menyisih, dia merasa tidak nyaman berada terlalu dekat dengan Nana. Terlebih parfum dan tampilan perempuan ini benar-benar kian mirip istrinya. Dress yang di kenakan Nana mengusung tema yang sama dengan apa-apa yang dulu dia belikan untuk Aruna. Ketika Aruna menjauh tanpa kabar hampir saja Hendra terbawa arus untuk menyerah dan menerima perempuan ini.     

"Siapa wanita yang mengalihkan perhatianmu?" Nana mendesaknya.     

"Keluarlah aku sedang tidak ingin berdebat, pekerjaanku masih banyak," Hendra menatap pintu, sebuah isyarat dia ingin perempuan ini pergi.     

Tepat ketika perempuan ini akan beranjak, layar handphone Hendra menyala. Menyajikan gambar perempuan. Mata biru bergegas menyahutnya. Siluet perempuan yang tertangkap di mata Nana belum begitu jelas teridentifikasi, yang pasti Nana meyakini perubahan sikap Hendra berkaitan dengan perempuan lain.     

"Bisa kau pergi sekarang, besok aku akan memenuhi permintaan makan malam di rumah induk, sampaikan itu pada Oma Sukma," Mahendra berjalan gesit lalu membuka pintu ruang kerjanya. Berikutnya menyapa perempuan di ujung sana.     

***     

[Mau makan apa malam ini?] Aruna bicara sambil membuka pintu kulkas.     

[Kau mau masak untukku?] Hendra menggodanya.     

[Iya, Biar aku tidak terkesan sebagai istri pemalas] Ada yang tertawa mendengar kalimat ini.     

[Dan.. Makin di sayang suami] lelaki di ujung sana kian nyaring tertawanya.     

[Kau sudah lebih dari di sayang, jadi buat apa susah payah] Hendra kembali duduk di kursinya.     

[Kapan pulang?]     

[Huuh] Hendra membuang nafas mendengar pertanyaan Aruna.     

[Kamu tahu ini akhir bulan?] jawaban Hendra mengingatkan Aruna pada kehidupan pernikahan mereka yang dulu. Hendra belum tentu pulang ketika akhir bulan.     

[Kau tidak akan pulang?]     

[aku sedang berusaha]     

[kalau begitu aku ke rumah ayah boleh?]     

[Jangan!] suara Hendra tiba-tiba meninggi.     

[Hendra, kita sudah sepakat, tidak ada pengekangan kali ini]     

[Maksudku, kalau kamu ke rumah ayah. Aku ikut sekalian, jangan sendirian] pemilik mata biru merevisi kalimat larangannya.     

[Kau mau menungguku malam ini?] dan pria ini mengubah arah pembicaraan. Kadang rasa khawatir masih menjalari tubuhnya ketika Aruna mengatakan kalimat pulang atau ke rumah ayah.     

[Tentu]     

[Aku akan pulang, masaklah apa saja yang paling enak]     

[Ye.. Okey] terdengar suara bahagia perempuan.     

***     

Hari sebelumnya lelaki ini sempat berdiskusi ringan dengan pimpinan tim investigasi internal, Vian.     

Dia memasuki ruang kerja para penyidik profesional milik DM grup. Suasana ruangan yang di pimpinan seorang dengan garis wajah tirus dan tergolong kurus ini, sudah sangat mirip dengan ruang kerja para detektif. Sebenarnya tidak jauh beda dengan jejeran meja kantor pada umumnya.     

Namun, Ketika mata pengamat lebih jeli maka mereka akan mendapati tempelan-tempelan kertas memanjang pada setiap sisi dinding ruangan ini. Tempelan-tempelan tersebut berasal dari berbagai macam kasus, baik yang sudah, sedang dan akan di pecahkan.     

Awal mula kedatangan si pria yang juga bagian terpenting lantai D mengusung tujuan sederhana, dia ingin memutasi posisi salah satu anak buahnya ke dalam jajaran karyawan perusahaan di bawah naungan DM grup.     

Mereka yang sudah berkeluarga dan mengharapkan kehidupan yang wajar, tanpa tekanan yang berlebih, akan meminta pengaturan mutasi kerja. Dan hal tersebut di izinkan bagi siapa saja yang bekerja di lantai D, asal syarat dan ketentuan terpenuhi. Salah satu syaratnya mampu menutup rapat keberadaan lantai D dan posisinya bisa di gantikan oleh generasi muda yang sudah disiapkan.     

Pada langkah pria yang kini melempar senyuman ringan kepada tiap anak buah Vian. Dia sempat mencuri pandang ke arah dinding yang tersaji pada sisi kiri langkahnya. Dan terhenti ketika mendapati kasus seseorang yang dia kenal, foto perempuan yang dulu bekerja di lantai D sebagai unit kesehatan.     

Foto Leona terpampang di sana. Sebuah tulisan yang menyentak nalarnya turut serta tersaji tepat di bawah foto tersebut; 'tidak ada musuh yang abadi, begitu juga dengan pertemanan, untuk itu semua orang layak di waspadai'.     

Dia mematung beberapa saat, sampai Vian menepuk punggungnya. Pria bertubuh kurus ini sudah datang dan meminta laki-laki tersebut masuk ke dalam ruangannya.     

Berkas di tangan lelaki ini segera di serahkan kepada Vian.     

"ada timmu yang akan menikah lagi?" Ini suara Vian menyapa lelaki tersebut.     

Dia tidak memberaikan jawaban. Matanya fokus pada kertas-kertas berserakan di atas meja kerja Vian.     

Melihat gelagat tersebut buru-buru Vian merapikan mejanya. Tanpa kata, kertas-kertas berserakan tersebut dirapikan dengan tangkas oleh pemiliknya. Dan dengan segera sang pemilik masukkannya ke dalam laci.     

Pria yang kini duduk di hadapan Vian, sempat mencuri lihat deretan daftar nama. Nama yang seolah akan jadi target penyelidikan Vian.     

"Em.. aku akan coba carikan tempat untuk orang ini," Vian menepuk berkas dari lawan bicaranya.     

Sesaat berikutnya keduanya hanya ngobrol basa basi, di mana Vian berupaya untuk membatasi kalimatnya. Dan hal tersebut tertangkap oleh laki-laki yang jadi lawan bicaranya.     

.     

.     

Sekarang, di malam yang sunyi. Ketika jam dinding mendekati pukul sebelas malam, orang yang sama masuk ke dalam ruang kerja Vian.     

Di atas sana, tepat di lantai 5 gedung ini, sedang ada tutup buku perusahaan Djoyo Makmur Group. Tuan muda pemilik gedung pencakar langit ini beserta beberapa karyawan masih sibuk berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan laporan akhir bulan mereka.     

Sedangkan di lantai D. Berlangsung kejadian yang belum pernah terjadi sebelum-sebelumnya. Salah satu sisi lampu lantai dengan fasilitas mutakhir ini mati. Sisi tersebut adalah bagian yang berada pada sekitar ruangan tim kerja Vian. Bukan hanya itu, CCTV ruang kerja Vian juga tak berfungsi.     

Pria misterius tersebut menyusup ke dalam kegelapan, menuju meja kerja Vian. Mencari kertas berserakan kertas yang kemarin dia lihat, termasuk membobol beberapa hal yang mungkin ada di komputer Vian.     

Sayangnya dia hanya berhasil mendapati berkas yang ternyata benar-benar berisikan namanya. Penyelidikan yang berkaitan dengan terbobolnya informasi para saksi sidang perceraian yang berlangsung lebih dari dua bulan lalu, masih di jalankan.     

Ia sama sekali tak menduganya, parahnya kini pria yang mencoba bermain angka untuk membuka key komputer Vian, mulai terdesak. Dari dalam alat pendengaran yang terpasang di salah satu telinganya, terdengar adanya suara panggilan. Suara-suara tim lain termasuk anak buahnya, nyaring memanggil dirinya untuk membantu pengamanan.     

Tepat sesaat sebelum unit lain memahami keberadaannya dia telah menyiapkan cara jitu.     

Sebuah bom molotov berkapasitas satu ruangan sengaja di lempar dalam kegelapan. Dirinya sendiri melucuti penutup muka dan lapisan baju hitam yang membungkusnya. Membuang di tempat yang sama dengan di ambilnya berkas yang dia pastikan isinya.     

Malam itu tepat ketika tim lain berhasil menyalakan lampu dan CCTV, sebuah bom berdentum dari arah ruang kerja unit penyelidik internal Djoyo Makmur Group. Pada lantai rahasia, lantai di bawah Djoyo Rizt Hotel.     

Kejadian yang bahkan tidak ada satu pun orang pernah memprediksinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.