Ciuman Pertama Aruna

III-11. Cibiran Menggelikan



III-11. Cibiran Menggelikan

0Aruna mencoba berdiri kembali tanpa banyak bicara. "Janda minggir kau menghalangi jalan saja," baru juga berdiri, gadis yang tadi menubruknya kembali berucap mengusung komentar jahat.      

.      

.      

Selesai Aruna mendapatkan pengarahan dari dosennya tentang praktik kerja lapangan yang akan dia jalankan sebagai bagian tugas akhir pada semesternya kali ini. Dosen yang di depan masih memanggil nama-nama mahasiswa lain, dan yang lain mulai sibuk setelah membuka surat tugas mereka. Ada yang senang, ada yang sedih, ada pula yang tertegun, dan salah satunya ialah Aruna.      

Hela nafasnya kembali terdengar ketika dia menamati sekali lagi tulisan pada lembaran tangan yang dia pegang. Tim Product designer Djoyo Makmur Grup, Aruna kian tak kuasa menahan gundahnya setelah membaca alamat kantor.      

Ini alamat kantor Mahendra, dia sangat tidak nyaman membayangkan harus berperan sebagai bawahan suami rujuknya, apalagi rujuknya masih dalam status diam-diam.      

Aruna masih nyaman dengan kondisi saat ini, di mana dirinya tetap mendapat ijin berangkat dan pulang kuliah dengan santai sampai dua bulan ke depan ketika dia harus memutuskan untuk pulang ke rumah induk atau tetap hidup sebagai Aruna, Mahasiswa desain.      

Dalam kondisi mencari keyakinan akan mengajukan pergantian lokasi tugas PKL, salah satu dari kelompok gadis yang tadi mengganggunya memungut lembaran di tangan Aruna. Aruna masih ingat gadis ini ialah orang yang sama, yang sejak dulu suka sekali mengganggunya, sebab dia pernah di tolak mentah-mentah oleh Damar dan ternyata Damar terlihat dekat dengan Aruna.      

Aruna berdiri dengan malas meminta kertasnya di kembalikan. Akan tetapi anak ini malah membacanya keras-keras, membuat sebagian besar penghuni ruangan ini menoleh ke arah mereka. Lebih tidak nyaman lagi, tidak jauh dari tempatnya berdiri sekelompok gadis yang terlihat dekat dengan cewek sialan ini berisik menertawakan adegan yang 'nggak banget' bagi Aruna.      

"Uh' Uh' kasiannya harus bekerja di perusahaan mantan suami," dia yang merasa bahagia dengan kalimat hinaan menggeleng-gelengkan kepala bahagia.      

_Cibiran yang menggelikan_ Aruna hanya menatapnya datar. Menagih kembali kertas dari tangan gadis menyebalkan di hadapannya.      

"Mau tekeran tugas denganku?" dia kembali membuat ejekan dengan pertanyaan yang tak mungkin sungguh-sungguh.      

"Berikan surat tugasku!" Aruna berjalan mendekati gadis itu.      

"Sayang sekali kita PKL di tempat yang sama, jadi nikmati nerakamu setelah ini, cewek sok cantik!" makiannya sudah mulai keterlaluan, semenjak tidak lagi terlihat Damar di sekitar Aruna.      

"Kalian yang di belakang, bisa tenang!" dosen laki-laki yang dari tadi sibuk dengan pembagian surat tugas ternyata memperhatikan pertikaian keduanya.      

"Saya sedang sibuk, jangan per keruh suasana," dosen itu kembali bersuara, tampak alisnya menyatu di antara beberapa mahasiswa yang terlihat mengitarinya.      

"Vira lempar sini," bisikan sekelompok yang tadi menertawakan Aruna ikut terdengar.      

_Oh namanya Vira?_ bahkan Aruna tidak peduli dengan namanya, walau cewek atas nama Vira ini sering kali membuat kasak-kusuk basi tentang dirinya.      

Yang benar saja, Aruna menatap tajam ketika Vira mulai meremas kertas tugas dan melempar kepada teman-temannya yang kini tertawa. Andai ada Dea pasti si Vira ini akan dapat sederet kalimat teguran.      

"Kau membuatku geli. Kalau saja aku bermental anak-anak sepertimu, sudah kutarik rambutmu. Sayang, aku sudah dewasa," Aruna pergi meninggalkan kelompok mahasiswa yang membully-nya. Dia sempat melihat gadis bernama Vira di hentikan teman-temannya ketika akan mengejar langkah Aruna      

***      

"Aku sedang sibuk Nana," Hendra menamatkan beberapa berkas yang harus dia tanda-tangani, "Beri tahu tim corporate secretary, aku yang akan memimpin langsung tutup buku malam ini," Suara ini meluncur dari mulut pria yang bahkan belum sempat menatap perempuan di sampingnya, Nana dari tadi berdiri di sekitar Hendra.      

Biasanya sekali Hendra berucap dia dengan semangat akan menjalankan tugasnya. Tapi kali ini Nana masih berdiri, bersedekap tangan sambil mengamati Hendra tanpa gerakan.      

"Kau tahu Surya masih cuti, jadi aku tidak punya waktu untuk bernegosiasi dengan keinginanmu," Hendra sedang berburu waktu. Dalam benak pria bermata biru, serentetan jadwal pribadinya telah tersusun rapi di dalam otak. Setelah menyelesaikan tumpukkan berkas di hadapannya dirinya akan berpindah ke ruang umum tim corporate secretary. Menggantikan Surya memimpin tutup buku tiap anak perusahaan DM grup.      

Dia perlu mengupayakan semua selesai tepat waktu, kalau perlu sebelum pukul 21.00 malam itu batas keterlambatannya atau Aruna akan merengek memintanya pulang. Istrinya tidak suka tidur di masion sendirian.      

Masalahnya tutup buku perusahaan yang dikelola dengan prosedur kerja ala Hendra butuh waktu panjang, bisa jadi semalaman hingga pagi menjelang.      

"Ke mana kamu empat hari ini?" Nana menginterogasi Hendra mengusung ekspresi jengkel.      

"Apa aku perlu menjelaskan urusan pribadiku kepada sekretarisku?" Hendra melempar berkas di tangannya sampai suara kurang nyaman menggetarkan gendang telinga mereka.      

"Baiklah, aku tidak akan membahas apa pun tentang kita. Aku hanya akan menyampaikan pesan Oma. Kehadiranmu sangat di tunggu, beliau sudah menantimu untuk makan malam bersama-," Nana perlahan mendekati Hendra, "Tiga hari berturut-turut oma Sukma menantimu, apa kau tega mengabaikannya."      

Mahendra menangkap tangan Nana yang menyentuh rambutnya, "sampaikan maafku pada Oma aku tidak akan datang malam ini,"      

"kau tidur di mana?" Dalam jarak yang demikian dekat Nana menangkap tanda merah tepat pada sudut leher yang tersembunyi di antara krah baju Hendra.      

"Aku sudah katakan aku tidak suka di tanya urusan pribadiku," Hendra kembali sibuk memburu waktu untuk istrinya.      

"Apa kau lupa aku calon tunanganmu," Nana tidak tahan dengan Hendra yang selalu menganggapnya sekedar bawahan.      

"Apa aku pernah mengatakan setuju dengan rencana kalian?" pria ini meletakkan berkas dengan cara kasar, "Tidak akan ada pengumuman pertunangan kita pada pesta Djoyo Makmur grup," Mata biru akhirnya melepas konsentrasinya dari pekerjaan, dia menatap Nana yang ternyata begitu dekat dengannya. Hampir pria ini tidak menyadari, sekali dia bergeser Nana seolah sudah bisa duduk di pangkuannya.      

"Keluargamu membutuhkan penerus, entah kamu suka atau tidak suka padaku. Kau setuju tentang ini kan? Kita sudah membahasnya," Nana mencoba membuat senyuman di bibirnya, walau kini dia sedang ingin marah dan hatinya sangat sakit oleh penolakan yang tiba-tiba terbit setelah selama dua bulan terakhir Hendra membiarkan semua rencana pertunangan ini berjalan.      

Hendra tidak pernah berkomentar apa pun, bahkan ketika Oma Sukma dan Opa Wiryo mulai antusias dia tak pernah mendebatnya. Tapi kenapa setelah empat hari menghilang Hendra melemparkan penolakan, di tambah noda merah di balik krahnya.      

_Wanita mana yang membuatnya berpaling?_ gumam Nana di balik senyumannya.      

      

      

.      

.      

.      

__________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

1. Lempar Power Stone terbaik ^^      

2. Gift, beri aku banyak Semangat!      

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan      

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.