Ciuman Pertama Aruna

III-7. Di Hadapan Cermin



III-7. Di Hadapan Cermin

0"Beri aku baby, agar kakekku tidak menghukumku. Keluargaku sangat membutuhkan penerus, kau tahu Opa dan Oma mengharapkan kehadiran bayi kecil generasi baru Djoyodiningrat, rumah itu sudah mati suri tanpa kamu. Aku ingin menghidupkannya, lagi," Hendra menarik tangan istrinya. Mereka berjalan bersama-sama kembali ke mansion.     

Ada satu hal yang tidak diketahui oleh Aruna. Yaitu kegirangan Hendra yang disembunyikan rapat-rapat di dalam hati berbunga. Bahkan untuk menutupi senyum yang akan terbit dari mulutnya. Cucu Wiryo mengatupkan bibirnya.     

Tadi Aruna terlihat begitu ragu ketika akan mengangguk. Tentu saja perempuan ini pasti memikirkan kuliahnya yang belum usai. Akan tetapi kalimat syahdu Mahendra, atau lebih tepatnya perangkap yang dibuat lelaki bermata biru. Mampu menggerakkan Aruna untuk mengangguk menyetujui mengandung bayi di dalam perut.     

Salah satu cara membuat perempuan ini bertahan bersamanya setelah lebih dari 2 bulan ialah membuatnya hamil.     

Rasanya dia ingin terkekeh, ketika kalimat 'agar kakekku tidak menghukumku' adalah ungkapan yang tidak lagi berguna baginya saat ini. Tetua Wiryo tak sama seperti dulu, beliau lebih banyak di kursi roda. Dan tak akan mampu menghukumnya. Sebab semua hal kini sudah di pasrahkan pada Mahendra.     

Seiring tanggung jawab yang kian besar, dia menyadari memiliki keturunan termasuk ke dalam agenda besar yang perlu diupayakan.     

Dia mau bayi itu lahir dari rahim perempuan yang kini bajunya sudah dia tanggalkan sebagai upaya uji coba kedua.     

***     

[Herry letakkan barang belanjamu di balik pintu dan pergilah. Biar aku sendiri yang menatanya]     

"Hai! Ayo cepat!" Herry meneriaki Lily, gadis yang kesusahan mengangkat kantong yang ada di sisi kanan dan kiri tangannya.     

"Adooooh banyak banget!! Bantuin dong!" Lily mengeluh dengan ungkapan cetarnya yang ampuh. Dia suka sekali mengatur anak-anak surat ajaib. Sekarang di bully suami Aruna sungguh sial bule itu. Dalam benak Lily : _tahu gini aku komporin dia balikan sama Damar_     

"Huh!! Aku capek minta minum!" Lily menurunkan kantong-kantong plastik yang berada di tangannya.     

"baiklah.. ayo lanjutkan jalanmu sampai foodcourt," mendengar suara Hery gadis ini berjalan begitu saja membiarkan kantong-kantong plastik yang tergeletak.     

"Bawa kantongnya.." pinta Hery.     

"Aku capek. Bawakan aja sekalian," Lily tidak peduli.     

"kau tidak melihatku," ini suara Hery menghentikan gadis berjalan. "Hey!" si kaca mata masih saja lanjut berjalan. "Hey! Lihatlah! Aku membawa kantong tiga kali lipat lebih banyak darimu," Gadis itu masih saja berjalan, "Tidak ada minuman dan makan siang untukmu," akhirnya Lily berbalik, ternyata begitu cara mengatur gadis ini.     

Dan mereka berdua kembali berjalan bersama.     

"Em.. berapa tinggimu?" tanya Lily.     

"185"     

"Hooo..," dia yang bicara melirik Hery, "kau tinggi sekali,"     

"tidak juga, tuan muda lebih tinggi 4 cm dariku,"     

"dia blesteran, wajar," gadis ini melirik lagi.     

"Menanyakan berat badan tidak etis," tutup Hery. Lily terkesiap menyadari isi kepalanya terbaca Hery.     

"Kalau umurmu?"     

"Itu lebih tidak sopan," Hery meletakkan barang belanjaan pada salah satu meja area foodcourt. "kau mau minum apa? mau makan apa?"     

"tubuhmu bagus, sehari berolahraga berapa kali," Ini pertanyaan Lily, hanya berakhir tatapan. Lalu pria itu pergi memesan salah satu menu tanpa persetujuan sahabat nona Aruna.     

Ketika Hery kembali duduk di hadapan Lily. Gadis ini menggeleng kepalanya berulang. Tiba-tiba dia menggebrak meja, "Sudah cukup! aku tidak akan jatuh cinta pada orangnya bule resek itu!"     

Hery hanya mencukupkan diri memandang gadis itu dengan tatapan aneh. Ketika menu mereka datang Lily buru-buru meneguk air sebanyak-banyaknya. Lalu makan tanpa kendali. "Tuhan, buang kutukan jombloku yang mengenaskan, tapi jangan buat aku suka pada para ajudan, pengawal, bodyguard, Ah' terserah apa itu.. Ingat Lily mereka hanya bagus posturnya," Lily menggerutu kecil di sela-sela makan.     

"Kau sedang menghinaku?" Heri mendengarnya.     

"tidak! Aku hanya membuat penyesalan,"     

"Penyesalan? Kau pernah dicampakkan dengan seseorang yang bekerja sepertiku?"     

"Kau tahu aku dicampakkan Timi?"     

"Tidak.. aku hanya menduga, dari omelanmu saja sudah tertangkap jelas,"     

"ah bener juga," Lily jadi tak semangat, dia meletakkan burger dari tangannya.     

"Tapi ngomong-ngomong kau kenal Timi? Bagaimana kabarnya?" kembali gadis berkacamata ini bertanya.     

"Timi? Tidak ada yang bernama Timi,"     

"E-57? Kau tahu kode itu untuk seseorang?"     

"Oh' tim unit khusus, mereka ada di sekitarku, tapi kadang tak akan mau berkenalan. Itu prosedur jobdies mereka,"     

"Tidak.. tidak.. dia sudah kembali sebagai pekerja kantoran, di DM grup,"     

"Kau harus menyebutkan nama aslinya, sebelum..." pria ini menatap sudut berbeda, "bertanya..." dia berhenti bicara sejenak menamatkan mata kepada pria yang berjalan mengiringi seorang perempuan, "tentang..." dan Heri berdiri.     

"Lily, namamu Lily -kan??" gadis yang diajak bicara oleh Heri mengangguk.     

"letakkan semua benda ini di hadapan pintu mension tuan Hendra, kalau aku tidak kembali dalam waktu cepat,"     

"Sebanyak ini!? Yang benar saja?!"     

"Aku minta maaf.." Hery bergerak pergi.     

"Kenapa aku tidak boleh masuk?!" Lily meneriaki Heri.     

"Hais'," pria ini kembali. Mumpung lelaki yang di ujung sana terlihat berjalan lambat.     

"Itu perintah atasanku,"     

"Tapi ada banyak Frozen food, es krim juga, mereka harus masuk ke freezer," Lily sayang pada makanan.     

"Aruna pasti tidak tega juga,"     

"Hais' perintah atasan adalah mandat, tidak boleh di langgar,"     

"Tapi.."     

"Bosku kaya.. bawa pulang aja yang kau mau,"     

"begitu ya.. oh' Aruna juga baik, dia pasti bolehin," ketika Lily menengok ke arah Hery tadi berdiri. Pria itu sudah menghilang entah ke mana.     

***     

Seorang pria berdiri di hadapan cermin, kaca di atas wastafel kamar mandi utama mansion menjadi tempatnya untuk memeriksa sesuatu di punggung.     

Dia mencoba memiringkan tubuhnya ke arah kiri beberapa kali, sayangnya kesulitan meraba dan mengamati bekas cakaran yang terasa di punggungnya.     

"Hah! Aku harus memotong kuku Aruna," lelaki bermata biru mencoba memutar tubuhnya lagi. Ternyata masih sia-sia, tadi dia tidak sadar cengkeraman istrinya di punggung begitu kuat hingga terasa perih sekarang.     

"He'," pria ini tertawa kecil. Meraih pengering rambut, dan mulai mengacak rambutnya sebagai bagian dari cara mengeringkan si halus berwarna coklat di kepalanya.     

Sesaat berikutnya Hendra terhenti, pria yang hanya terbungkus handuk dari pusar sampai lutut ini menamatkan dirinya yang tertangkap cermin.     

Walaupun belum begitu kering, dia memutuskan mematikan pengering rambut. Membersihkan sejenak kaca yang ada di depannya. Lalu melihat dirinya sendiri. _Hai' kau temukan bahagiamu hari ini?_ suara batin itu hanya gumaman seseorang kepada dirinya sendiri.     

_Iya_ dan dia menjawabnya sambil tersenyum. Pertanyaan komplikatif yang sering diajukan pada dirinya sendiri sejak belia.     

_kau tak lagi takut pada perempuan?_     

_tidak_     

Hendra meraih piama dan mulai mengenakannya.     

_Tadi dia masih kelihatan kesakitan_     

_tapi dia juga menikmatinya_     

Pria ini menatap lagi dirinya di cermin.     

"Terima kasih sudah berusaha bertahan hidup, hingga hari ini datang,"     

Dia meninggalkan cermin itu, lalu kembali masuk di kamar tempat istrinya terbaring berantakan.     

Entah mengapa, pria ini merasa ada sensasi yang begitu menenangkan ketika merapikan bekas-bekas berserakan.     

Saat tak bisa menghabiskan malam bersama perempuan yang saat ini terlihat lemah tak berdaya di balik selimut, Hendra mengingat kegilaannya tidur bersama baju-baju istrinya, memegangi piama Aruna.     

.     

.     

King bad ini telah rapi kecuali perempuan yang enggan membuka matanya sejak tadi. Si perfeksionis sempat tidak tahan menunggui perempuannya agar segera terbangun. Aroma lemon tie dan kue sudah terbang memenuhi ruangan. Biasanya Aruna akan bangun karena aroma-aroma makanan pembuka darinya.     

Tapi masih saja dia tidur, apa begitu lelah setelah mencapai sesuatu yang di impikan tiap pasangan? Hendra mulai tidak tahan.     

"Sayaa..ng.," tidak ada jawaban.     

"Sayang.. Ayo mandi.. Air hangat sudah aku siapkan," Lelaki ini mengecup pipinya.     

"Hem.." dia hanya berdehem.     

"Ayo.., aku bahkan sudah masak untukmu, untuk mengisi tenagamu,"     

"Hen.." dia akhirnya membaut panggilan.     

"Iya.."     

"Apa kau bisa carikan aku dokter,"     

"Kau Sakit??" Mata biru buru-buru memeriksa suhu tubuh istrinya.     

"Tidak.. aku hanya capek.." dia mengeluh, "Badanku remuk redam rasanya," dia yang bicara membuka mata dengan malas.     

"Aku tidak mau bergerak," dia mengeluh lagi, "seperti baru lari maraton, tubuhku nyeri semua," perempuan ini mengomel. "yang di situ.. ngilu..," kaki kecil Aruna keluar dari selimut, menendang-nendang ringan punggung pria yang sedang menggaruk sudut lehernya.     

Pria ini malah tersenyum, meringis, tanda bersalah.     

"Mandi air hangat, akan membuatmu merasa enakkan, percayalah,"     

"Kau keterlaluan! Aku tak mau lagi!"     

"Jangan.. jangan.. lain kali aku akan mengurangi frekuensinya, aku janji.." dia yang bicara memegang kedua ujung telinganya dengan tangan menyilang.     

"Jam berapa ini? masih sore -kan?"     

"Hee.. sudah malam,"     

Dan perempuan terkulai ini menendang bokong suaminya lebih keras.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.