Ciuman Pertama Aruna

III-6. Perempuan Dinginnya



III-6. Perempuan Dinginnya

0Bahagia     

Pernahkah kamu memikirkan ini.     

Coba ingat-ingat kapan terakhir kali kamu merasa amat sangat bahagia. Dan ternyata kamu kesulitan menemukan jawabannya. Apakah kemarin? Lusa? Seminggu yang lalu? Waktu masih ada dia? Ketika pertama kali memutuskan hal hebat? Ketika memilih mengikhlaskan? Atau jangan-jangan hari ini baru bahagia itu datang.     

___     

Dia tersenyum sekali lagi. Mengamati sekali lagi. Lalu menirukan gaya menyendoknya yang kadang tidak menampakkan cantik, akan tetapi layak di hayati, sebab terlihat menarik sekali.     

"Hendra aku ingin cari angin sebentar," Aruna minta izin setelah seluruh makanan di piringnya lenyap tak bersisa.     

"Boleh aku ikut?" Pria yang sekejap tadi tidak mengizinkan istrinya merapikan meja pantry berdiri meraih piring sang istrinya dan buru-buru meletakannya di Wastafel.     

"Sepertinya kamu punya banyak pekerjaan, mengapa tak kamu selesaikan dulu," Aruna menarik bibirnya lurus, menampilkan senyum yang nanggung.     

"Aku juga mau jalan-jalan denganmu," ucap Hendra     

"Tidak akan lama, Cuma cari udara sebentar,"     

"Di luar panas, sayang" Hendra kurang setuju dengan permintaan Aruna. Sudah hampir pukul sepuluh, tadi Aruna makan lambat sekali.     

"Belum tengah hari, masih bisa di nikmat," Entah apa yang membuat perempuan ini bersih kukuh.     

"Baiklah, jangan lama-lama. Ingat aku menunggumu," Mahendra menatapnya minta anggukan. Dan Aruna mengangguk dengan gerak enggan.     

Tepat pada langkah ke tiga putri Lesmana beranjak, mendadak dia berhenti, berbalik dan menamatkan Hendra. "Apakah cincin pernikahan kita sudah tidak lagi kamu pakai?," Aruna mempertanyakan benda yang tidak ada pada jari kelingking suaminya. Padahal terakhir bertemu, bahkan ketika sidang perceraian pria ini tidak pernah menanggalkannya.     

"Oh 'Iya, aku melepasnya. Kau juga tidak memakainya?" Aruna spontan mengeluarkan kalung di balik hem berkerah yang dia kenakan. Kalung itu berliontin cincin pernikahan mereka dan Hendra tersenyum cerah melihatnya.     

"Baiklah.. aku gunakan besok," Kalimat Hendra mengantarkan kepergian Aruna keluar mansion.     

***     

[Oma.. boleh saya minta bantuan]     

[Apa yang bisa di bantu, cantik]     

[Em.. mas Hendra, dia mulai lagi]     

[Menyulitkanmu]     

[Apa lagi selain itu, aku sudah membuat pesanan dan mengatur semua kebutuhan pesta dengan indah. Eh' tiba-tiba minta konsepnya berubah total]     

[Hehe, yang sabar.. apa kamu lupa dia suka begitu. Em.. sebentar! Bukankah ini bagus akhirnya dia mau terlibat dan tidak diam saja]     

Tanpa suara pun, Oma Sukma tahu perempuan di ujung panggilan sedang tersenyum senang. Akhirnya laki-laki yang tidak pernah mengomentari rencana sepihak ini dan tidak mau peduli dengan pesta pengangkatan presiden direktur yang terselipi pengumuman pertunangan dan agenda pernikahannya yang ke dua, pada pesta yang akan digelar dalam waktu dekat, tiba-tiba berkenan ikut andil.     

[Apakah aku perlu menuruti permintaannya Oma?]     

[Kita bicarakan waktu makan malam saja, sekalian seluruh keluarga hadir, pastikan dia ikut makan malam di rumah induk hari ini]     

[Terima kasih Oma] ada suara perempuan yang demikian bersemangat.     

_ke mana Hendra?_ dia menggerutu sendiri.     

"kenapa dari kemarin belum kembali? Herry juga, sulit sekali di minta keterangan. Apa dia tidak sadar aku sebentar lagi bisa memerintahnya!?" perempuan bermata bulat lebar ini masih setia berada di dalam ruang kerja CEO DM grup.     

Dia mengamati meja rapi di hadapannya. Tak lama matanya terganggu oleh sesuatu. Bingkai foto perempuan mengenakan setelah outfit sederhana, yaitu sebuah kaos polos dengan outer luaran berwarna terang seolah sedang menatapnya. Bingkai foto istri Hendra masih terpasang di sudut meja.     

Perempuan ini memungutnya, setelah tatapan mengintimidasinya tak terbalaskan, Tentu foto ini tidak mungkin membalas apa pun.     

Nana berniat membuangnya ke tong sampah. Namun, sebelum terbuang, Nana sempat menggerakkan tangannya memegangi rambut lalu membuat bentuk kucir kuda khas perempuan di dalam bingkai foto.     

"Pergilah yang jauh dan jangan kembali, kau menyusahkan!" Nana benar-benar membuang foto Aruna ke dalam tong sampah tidak jauh dari meja Hendra.     

_Kenapa selalu kamu yang ada di hatinya? Setelah Hendra menerimaku tidak akan biarkan dia menyediakan tempat untukmu lagi. Kau sudah terlalu lama mengambil tempatku_ Nana berjalan lambat dengan hati penuh tekat.     

***     

Meja di hadapan CEO DM grup, dipenuhi berkas yang telah dia periksa satu persatu. Sesekali pria ini mencoba menekan layar handphone untuk mencuri lihat jam analog.     

Sudah satu jam istrinya keluar mansion. Tapi belum ada tanda-tanda kembali. Dia sudah membuat panggilan, sayangnya handphone istrinya terdengar nyaring di telinganya sendiri. Alias tidak dia bawa, melainkan tergeletak di sekitarnya.     

Hendra mulai merapikan berkas-berkas yang telah usai ia periksa.     

Tepat ketika semuanya sudah tertumpuk jadi satu, dia baru sadar ada satu berkas yang tergeletak di sofa, mata biru sadar yang ini belum disentuh. Sempat berpikir, kapan dia menggeser berkas itu ke sofa?     

Ketika halaman pertama mulai terbuka, ada hati tak jenak. Mengapa Herry membawa penawaran ini? Bukankah berkas ini tergolong tidak penting.     

Penawaran?! Ekspresinya datar menyimpulkan tentang Herry yang sekedar membawa apa-apa yang telah di siapkan Nana. Lagi-lagi Herry belum bisa membedakan seleranya dan hal-hal yang sesuai keinginannya.     

Tepat pada halaman ke sekian. Dia mendapati desain cincin.     

Mata biru menatap awas, mengembara. Mengingat pernyataan istrinya tentang cincin pernikahan mereka, kenapa Aruna menanyakannya? dan sebuah titik kecil seperti bekas tetesan air di atas kertas yang ia raba. Pria ini detail dalam segala hal termasuk caranya mencari pemahaman dari istrinya yang suka memberi teka-teki.     

Hendra membanting penawaran itu, dia menyadari sesuatu telah terjadi, lalu buru-buru berlari keluar mansion. Berlari ke sana kemarin, mencari Aruna, Ke mana Aruna?     

"Arh!!" dia berteriak mengutuki kebodohannya, masih dengan kaki melangkah dan mata awas mencari perempuannya. Suami Aruna mengelilingi separuh perumahan mewah di atas gedung pencakar langit.     

embusan nafas lega naik turun bekas gundah dan larinya teraduk jadi satu. Aruna duduk di sana, pada kursi taman yang menghadap ke atap kota metropolitan, sebab letaknya tidak jauh dari pembatas tepian gedung pencakar langit.     

Langkah Hendra lebih lambat dan tenang, dia berjalan mendekat. Anehnya, perempuan yang dia cintai itu malah berdiri setelah menyadari kedatangannya.     

Aruna melangkah, akan tetapi bukan kepadanya. Melainkan mendekati tepian gedung pencakar langit ini. Padahal pembatas tersebut setinggi dada untuk gadis mungil seperti dia.     

Rambutnya di terpa angin berkibar-kibar. Tadi dia membiarkan rambutnya terurai. Entah bagaimana rasa percaya diri pria ini anjlok di dasar ketika ingin mendekati dia yang terdiam di hadapannya.     

Aruna paling menakutkan kalau begini, saat dia mendiamkan keadaan dan memilih seolah tidak terjadi apa-apa.     

Hendra memberanikan diri mendekatinya, meraba dan membelai rambut berkibar. "Kau lama sekali, katanya sebentar," ini ucapan Hendra.     

Dia tersenyum, Hendra menyadari itu senyum getir. "Aku tidak membawa jam. Jadi tidak tahu,"     

"Kenapa matamu merah?" tanya Hendra ingin menggali ucapan apa yang akan Aruna pakai untuk menjawab.     

"Anginnya terlalu kencang, membuat mataku pedih,"     

Hendra di buat pilu mendengar pernyataan ini, demikianlah istrinya. Aruna tidak banyak berubah, pandai sekali perempuan dingin ini meremas dadanya dengan ekspresi diamnya.     

"kenapa kau tak katakan kau cemburu, lalu air matamu menetes karena kecewa padaku," Akhirnya Aruna menatap pria yang hatinya teriris-iris ini.     

"apa aku punya hak untuk itu?" pertanyaan yang di luncurkan Aruna tidak mendapatkan jawaban. Akan tetapi lebih dari itu. Dia mendapat pelukan.     

Hendra meraih tubuh perempuannya dari samping dan mendekap erat. Meletakkan kepala Gadis itu di dadanya.     

"bukan sekedar hak, kau bahkan boleh memukulku sampai puas. Aku lebih suka kau pukul, kau teriaki dengan kemarahan, daripada kau diamkan begini," Hendra menghisap rambut istrinya.     

"maafkan aku, aku tidak bisa mengelak ketika keluargaku mendesak untuk segera mencari penggantimu," kalimat ini membuat mata merah perempuan tak lagi bisa membendung zat cair di dalamnya. Air mata Aruna mulai membasahi pipi.     

"Jangan menangis, tidak ada yang bisa menggantikanmu. Kau tahu aku -kan?" Laki bermata biru merenggangkan pelukannya, dia membalik arah tubuh Aruna. Mendapati wajah basah oleh air mata dan Hendra sikap berulang.     

"Aku akui, aku lelah berharap. Saat kamu tidak memberiku sedikit pun tanda-tanda akan kembali. Sekedar 'hai' dalam pesan singkat pun tidak ada untukku. padahal aku selalu mengawasimu dari jauh," monolog Hendra, berhasil menghantarkan pelukan perempuan dinginnya.     

"Aku minta maaf," ini suara Aruna.     

"Apa aku boleh memohon agar pertunanganmu dan Nana tidak terjadi?"     

"Beri aku baby, agar kakekku tidak menghukumku. .. .. ..     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.