Ciuman Pertama Aruna

II-162. Kebohongan



II-162. Kebohongan

0Untung pemahaman Fernando serta merta terputus oleh kedatangan Dokter Diana yang tampaknya telah siap menjadi saksi ahli.      

Dokter yang tak lagi muda itu, berdiri mengangkat kedua tangannya wujud bersumpah sesuai agamanya. Dia menatap Hendra sejenak, sambil tersenyum memberinya ketenangan.      

Sebelum dia disodori pertanyaan, dokter ini sudah melempar pernyataan : "saya tidak mau diajak bicara oleh orang yang ekspresinya tak menyenangkan," dia bahkan melempar pernyataan itu sambil tersenyum ramah, "artinya saya hanya akan menjawab pertanyaan dari orang yang  hatinya tenang dan wajah semringah," Diana menatap sebagian orang yang ada di sekitarnya.      

"Kamu," menunjuk menggunakan kelima jari tangannya, "senyum dulu baru boleh bertanya padaku," kalimat Diana mampu mendorong gelagar tawa.      

Jari-jari sopannya tadi ternyata ditujukan kepada kuasa hukum Anantha, yang wajahnya kucel seperti habis berdebat dengan istrinya.      

Tak lama sang dokter ahli psikoterapi mendapat pertanyaan mendasar dari hakim ketua. Pertanyaannya sederhana, "Menurut anda, apakah seseorang dengan kesehatan mental rendah bisa menjalankan kehidupan rumah bertangga?"      

"Jawab saya; tergantung," mantap Diana, "tergantung sejauh mana kurangnya kesehatan mental tersebut," lalu dokter paruh baya itu melirik sekeliling, "coba saya tanya; Apakah anda semua yang di sini sudah yakin mental Anda sehat?" kembali kalimat tanya dari sang dokter menggelitik tawa audien.      

"Tidak ada yang tahu sejauh mana kesehatan mental seseorang, karena masyarakat kita belum aware terhadap pentingnya kesehatan mental, bukan begitu? Coba saya tanya; di sini ada yang punya keberanian untuk  datang pada saya dan mengonsultasikan kesehatan mentalnya?" Semua terdiam.     

"Saya rasa yang berani masih di bawah jumlah jari saya. Itu pun yang datang rata-rata yang sudah merasakan gejala, tanda-tanda tentang sesuatu yang akan jadi aibnya. Karena suka-tidak suka, mau-tidak mau, mayoritas masyarakat kita menganggap seseorang yang memiliki kesehatan mental kurang, rendah, tidak wajar, langsung dapat plakat dan terkategori sebagai pemilik aib. Padahal bukan begitu seharusnya," Diana bermonolog panjang lebar, seolah sedang menyusun argumentasi yang akan dijadikan landasan sebuah jurnal terkait sosialisasi pemahaman kesehatan mental.     

"Apakah, relationship yang terjadi di antara dua orang individu di mana salah satunya menyembunyikan kesehatan mentalnya (mereka tidak menggunakan kata post traumatic syndrome disorder untuk menghormati Mahendra sebagai pasien, ini juga bagian dari permintaan dokter Diana dan tim) bisa dikategorikan kebohongan?" Fernando Caligis mengajukan pertanyaan berikutnya. Dia bahkan menarik bibirnya supaya terlihat tersenyum sesuai permintaan sang dokter.      

"Tentu," Jawab Diana dengan wajah berbinar, ekspresi ini sulit diterka. Padahal kalimat tanya Fernando bisa dikategorikan konfirmasi 'Apakah sang tergugat atas nama Mahendra telah membohongi penggugat atas nama Aruna'     

"Kebohongan, tidak melulu tentang kesehatan mental yang diderita seseorang, kemudian dia menyembunyikan itu supaya pasangannya bisa menerima dirinya. Coba renungi kalimatku!" Dokter ini seolah menjelma sebagai pemateri sedangkan lawan bicaranya digolongkan peserta seminar yang sedang bertanya. "Kebohongan yang sama, bisa juga terjadi pada seseorang yang ingin diterima pasangannya dengan banyak kasus, misal menyembunyikan pujaan hati lain," Diana tersenyum, lalu kembali bermonolog, "kebohongan yang sama pula, bisa terjadi kepada siapa pun yang ingin menyembunyikan sesuatu untuk tujuan membodohi pasangannya; Entah itu menyembunyikan wanita idaman lain, beli benda kesayangan yang tidak disetujui pasangan, atau status pekerjaan dan banyak lagi," Fernando Caligis mengerutkan keningnya. Apa tujuan dan arah tiap kalimat yang diusung dokter Diana?      

"Kau tidak boleh membuat 'garis bawah tebal' bahwa kebohongan hanya seputar menyembunyikan aib terkait kesehatan mental,"      

Ah' Fernando baru paham, dia yang inginnya menggiring sebuah opini malah dirinya dan sebagian pendengar yang tergiring ke dalam opini dokter Sp.KJ.     

"Lalu tergugat, tentu dapat dikategorikan sebagai pelaku pembohongan terhadap penggugat 'bukan? Penggugat tidak pernah tahu menahu tentang kesehatan jiwa yang di derita tergugat sebelum pernikahan berlangsung" Fernando memburu keterangan berikutnya.      

"Ya!" tegas Diana, "kalau kacamata yang digunakan adalah kacamata anda," maksud Diana ialah 'ketika kasus Mahendra dilihat dari sudut pandang masyarakat umum'.      

"Tapi tidak bagi kami para psychiater," dokter ini dengan tenang menoleh dan sempat tersenyum sejenak menyapa ayah Lesmana. "Ayah sang gadis tahu kondisi calon menantunya, dan sepakat akan merelakan putrinya sebagai jalan penyembuhan pasien kami,"      

Mendengar ini mata Mahendra mengerjap beberapa kali, dia seolah-olah kembali ke masa itu. Masa di mana semua yang dia sembunyikan tampak berhasil sempurna dan berjalan indah alamiah, kenyataan gadis itu di kirim sebagai objek penyembuhan. Pazel-pazel yang sedang dia susun akhirnya terlengkapi sudah, kepingan terakhir dia temukan pada ruang sidang menyesakkan; Aruna benar-benar di hadirkan ke dalam dunianya untuk menjalankan prosedur Psychosocial Therapis.      

Tangan tuan muda ini mulai bergetar mencengkeram pegangan kursi.     

"Tak apa, tenanglah.. Ada aku di sini," punggung tangan mata biru di raba seseorang. Ternyata Aruna memberanikan diri, menjulurkan lengannya untuk memberikan efek penenang bagi suaminya.      

Gadis ini mulai paham gerak gerik sederhana tipe mana yang menyiratkan kegundahan hati Mahendra. Sejenak kemudian botol air yang tadi dia dapat dari lelaki bermata biru di kembalikan kepada pemiliknya. Aruna membuka tutupnya berharap Hendra segera meneguk air mineral yang kabarnya bisa memberi efek tenang.      

Di sisi lain, seorang putra menatap kecewa ke arah ayahnya, ketus, muak, jenuh, benci jadi satu. Tidak peduli ketika mimik muka sang ayah memancarkan kedukaan dan penyesalan mendalam. Lesmana beberapa kali mengusap wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.      

"Seandainya penggugat ingin melayangkan gugatan atas kekecewaannya," ini suara Rendy Nasution mengimbuhi penjelasan saksi Ahli, "langkah hukum pertama bukan kepada suaminya, dia seharusnya menuntut ayahnya," ucapan Rendy memukul hati Aruna sekaligus menaburi luka hati yang di derita Anantha.      

Jangan tanya bagaimana ayah Lesmana, pria ini sudah tak lagi mampu menyapa putra-putrinya seperti dulu. Sebab rasa bersalah yang demikian besar, menyeretnya ke titik paling rendah, dia tak punya rasa percaya diri untuk sekedar membicarakan hal-hal sederhana bersama putra-putrinya.     

"Tak perlu membahas hal-hal di luar sidang perceraian," Fernando Caligis membatasi argumentasi Rendy, mereka sempat berdebat.      

Ketokan palu hakim ketua kembali menyeruak. Menghentikan keduanya.      

"Kita lanjutkan! Tolong anda-anda tenang," yang mulia Hakim membungkam mulut para kuasa hukum.      

Sejenak kemudian dia melempar pertanyaan mendasar: "Tolong dijelaskan post traumatic syndrome disorder Apa yang diderita tergugat? Yang ke dua, Apakah hal tersebut 'benar' menghambat kehidupan rumah tangga mereka? sesuai dengan penjabaran tuntutan yang memberatkan dilanjutkannya pernikahan kedua belah pihak"      

.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

.     

Jangan lupa follow fanbase ciuman pertama Aruna =>  instagram bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.