Ciuman Pertama Aruna

II-152. Belenggu



II-152. Belenggu

0Siapa gerangan yang memarkir mobil semewah itu di seberang jalan rumahnya? De Javu berulang? Atau intuisinya memang tidak bisa di bohongi kali ini?     

Pemuda Padang kembali memasuki rumahnya, meletakkan lagi helmnya. Buru-buru menaiki tangga. kali ini kalimat tanya yang meronta-ronta di otaknya harus dituntaskan. Aruna, tak bisa seperti ini.      

"Aruna," panggil Damar kembali melepas jaketnya. Ternyata Gadis itu bersiap diri untuk istirahat. Dia sudah merebahkan punggungnya di atas kasur tidur.      

"Hem.." bangkit dan duduk menatap Damar keheranan, "sudah dapat dokter?"      

"Apa kau bisa bertahan malam ini tanpa infus?" tanya Damar mengejutkan, bukankah tadi dia yang bersemangat dan memaksa Aruna kembali memasang infus pada pergelangan tangan. Sekarang pemuda itu malah bertanya apa sanggup tanpa doping kimia.      

"Damar aku sudah bilang aku baik-baik aja," begitu kalimat Aruna menjawab keresahan Damar.      

"Baik -lah kita bicara sekarang," dia menggeser kursi dan gadis ini ikut duduk mendapati keseriusan ekspresi si gondrong yang mulai menyikap rambut. Damar serius kalau sudah begini.      

"Kenapa kau tak ingin pulang?" tanya ini menyudutkan, "Ada apa denganmu? Yang begini bukan Aruna,"      

Dia tak mau menjawab tapi memilih menutup percakapan, "Apa aku harus menjawabnya? agar di izinkan tinggal di sini,"     

"Kau tahu maksudku bukan begitu!" kembali Damar menegaskan maksudnya.      

"Huuh," Damar membuang nafas lelah, "Kau bukan Sasana (lelaki kecil pemain piano) dan kondisimu tak seburuk Sasana, bahkan Sasana tidak harus membebaskan dirinya menurutku. ketika dia menemukan seseorang yang tepat untuk bicara, sehingga mampu merubah sudut pandangnya, termasuk mau ikhlaskan menerima keadaan dirinya. Aku yakin dia masih bisa menerima fitrahnya. Dalam hidup tidak ada kebebasan hakiki," laki-laki ini masih saja menceritakan karya sastra yang jadi tugas kuliahnya.      

Aruna mencermati,  tapi tak mau mengimbangi.      

"lihat aku! Aku pernah segila itu, akhirnya aku bisa membebaskan diriku, bahkan aku bisa kembali memilih jalan hidup yang aku inginkan," Damar menamatkan perempuan enggan.      

"Jika kamu merasa terbelenggu di tempat itu, harusnya kamu buat tempat tersebut menjadi duniamu, warnai dan bangun suasana yang kamu mau di tempat itu," dia yang bicara menjelma menjadi penasihat ulung.      

"Aku tak mengerti kata-katamu, kamu seperti pendongeng," ini suara Aruna.      

"Contoh sederhananya begini," Damar menjelma lagi menjadi dosen, yang hobi melakukan penyederhanaan supaya sudut pandangnya di terima, "dulu karena aku berambisi melihatmu pulang dan kembali bersamaku, kupaksakan diriku menyiapkan segalanya. Bahkan aku memaksakan diri menjadi seorang solois dadakan. Ternyata tujuan utamaku tak tercapai. Semua tumbang dan seolah menghancurkanku. Bahkan Efek sampingnya masih terasa hingga sekarang, aku terbelenggu ke dalam dunia fans fanatik yang aneh itu," Damar menarasikan jalan hidupnya, getir memang tapi dia mulai terbiasa.     

"dulu aku menutup diri dari mereka karena aku merasa itu semua sangat mengganggu, nyatanya sekarang aku menemukan cara baru. Mereka tetap menikmatiku dan aku tetap bisa menjadi diriku sendiri. Salah satunya aku bangun channel YouTube yang sesuai dengan pribadiku, sosial media yang mencerminkan diriku. Dan ternyata mereka menerima keadaanku apa adanya. Masalahnya sekarang bagaimana denganmu?" Aruna mengerjapkan mata mendengar kalimat Damar kali ini.      

"jangan terlalu kaku melihat dunia," pria itu menjitak kepala Aruna.      

"Cinta itu juga belenggu," kata Damar, pemuda ini sungguh pandai bertutur kata. Kayak novel-novel karyanya yang bersajak manis, bikin cewek tergila-gila.      

"kalau kamu tidak ingin dibelenggu, Jangan jatuh Cinta, Jangan menikah, Jangan hidup sekalian. Karena kehidupan ini juga belenggu. Ada norma. Ada aturan. Bahkan di kematian kita nanti masih ada pertanggungjawaban. Sekarang katakan padaku. Kamu mau bebas model apa?" kata tanya Damar amat mendasar.      

"Jadi menurutmu aku saja yang tidak pandai membangun suasana? Atau mengatur pikiranku?" perlahan gadis ini mau membuka diri.      

"lebih tepatnya kau tak pandai memainkan peran," tangan Damar bergerak-gerak menunjuk Aruna. menyemangatinya agar mau terbuka.      

"hiduplah lebih santai lagi," Peramu sajak menamatkan kesimpulan.      

Aruna mengangguk menyetujui pemahaman baru hasil diskusi dengan sahabatnya.      

"Sekarang kenapa kamu tidak mau pulang?" Damar tidak mau kalimat tanya utamanya terjawab.     

"Aku ingin membuat seseorang menyesal," Jawaban Aruna mengejutkan. Damar mengerut bingung.      

"Kakakku. aku mau dia menemukan penyesalannya. Dan menyadari  kesalahannya. Apa aku jahat?" tanya Aruna berhati-hati.      

"Tidak!" tegas Damar membuat dukung. Dia tidak tahu ceritanya, yang dia tahu ekspresi Aruna ialah ekspresi seseorang yang butuh dukungan. Damar mendukung tanpa menalar apa pun. Entah, Apakah ini yang disebut kawan sejati?.     

"Kak Anantha sebentar lagi akan mendapati kondisi terburuk dalam hidupnya, sesuatu yang dia bangun dengan seluruh jerih payahnya. Huuuh.." Aruna menghembuskan nafas berat sebelum melanjutkan kalimat, "Akan hilang seketika," matanya berubah sendu, "Aku tidak mau dia terlalu menyalahkan dirinya, apalagi menyalahkan orang yang tidak bersalah. Kakak harus menerima keadaan sesuai kenyataan. Sepahit apa pun itu," lengkap gadis bermata coklat.     

"Sayangnya aku akan melukai seseorang," Aruna kian gelisah.      

"Suamimu? Hendra?" Damar memastikan dugaan. Aruna mengangguk lamat, penuh duka.      

"Bolehkah aku di sini sampai jadwal sidang perceraianku mendatang?" dia mengharap.      

"Tentu! Tapi, beritahukan rencanamu sehingga aku tidak bertanya-tanya," Damar lega.      

"Aku mau kedatanganku di sidang perceraian menjadi kejutan, aku yakin saat ini kakakku pasti mencurigai Mahendra, aku mau kakak sadar. Begitulah intinya." Aruna mencukupkan penjelasan.      

"harusnya kamu masih bisa bertemu Hendra -kan? Kalau cuma itu rencanamu," Damar kembali mengusung pertanyaan yang menggelitik pikirannya.     

"Aku mengenal Hendra lebih dari yang orang lain bayangkan. Melihatku seperti ini. Dia tak akan membiarkanku di sini. Sekeras apa pun penjelasanku, Hendra tidak akan mendengarkanku. Dia akan membawaku bersamanya. Dan aku, tak bisa menjalankan keinginanku," Aruna menatap Damar mengajak pemuda itu memahami dirinya.      

"Hehe.. akhirnya kau bisa egois juga," Damar tertawa memahami perubahan sikap Aruna yang cukup berbeda.     

"Mencoba egois, untuk pertama kali. Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan,"      

"Dasar! Istirahat sana!" Damar menuruni tangga. Membiarkan gadis itu memejamkan mata.      

.     

.     

Lama dia memperhatikan gerak-gerik mobil yang terparkir di seberang jalan, depan rumahnya. Tampaknya belum ada tanda-tanda akan pergi dari sana. Damar dibuatnya tersekat, kenapa Hendra tak memaksakan diri seperti dulu. Dan memilih berdiam diri di tempat itu.      

Denting jam dinding menyuarakan perputaran, pria yang tersudut di tengah-tengah sepasang manusia. Tak lagi mampu menahan diri.      

Damar memastikan Aruna tidur lelap. Kemudian dengan lancang keluar dari rumahnya. Mengusung pemikiran pribadi, seorang diri. Pemuda itu memutuskan mempertanyakan keberadaan suami Aruna.      

Ini sudah tengah malam, kenapa dia tetap berpendirian untuk berjaga terus-terusan. Padahal Aruna sudah memutuskan akan egois untuk pertama kalinya.      

Damar memantapkan diri mendekati mobil Mahendra.      

Dan pria yang merindukan istrinya, perlahan membuka pintu Bentley. Berdiri menghadapi lelaki lain yang di pilih istrinya untuk bersembunyi.      

"Kenapa kamu masih di sini?"      

"Aku hanya ingin melihatnya, sejenak,"      

"Masuklah,"     

.      

.      

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      

__________     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.