Ciuman Pertama Aruna

II-146. Ketakutan Nyata



II-146. Ketakutan Nyata

0[Jawab dulu, kau bisa memberinya tempat sementara atau tidak?]      

[Tentu saja. Aku bisa menyiapkan apa pun untuk Aruna]     

[Sekarang aku harus menuju ke arah mana?] _Ah' nona belum juga bangun_      

[Saat ini aku masih di rumah orang tuaku]      

[Di mana itu?]      

[Di rumah bang Bay]      

[Mereka jadi menikah?? Haha']      

[Lupakan!] Damar tak suka di dirinya ketahuan luluh oleh bang Bay, terkait kenekatan sang ayah angkat membuntuti dirinya hingga turut serta ikut pendakian gunung Rinjani.     

[Aku share lokasi rumahku yang berada di dekat pantai] ini masih suara Damar, sambil menuruni tangga pemuda ini menuju ruang tengah, mengais kunci mobil Bu HRD. "Aku akan menghilang beberapa hari jangan di cari!"      

"Pergi saja! Sekarang mudah sekali mencarimu tinggal lihat akun 'danuforever' hehe" Kalimat Bu HRD meluncur santai bertolak belakang dengan kebiasaannya dulu.      

"akun? Apa itu?" Pria ini berjalan menuju pantry yang berada tidak jauh dari ruang tengah tempatnya  berdiri tadi.      

"Akun fans fanatikmu kayaknya," Bu HRD memperhatikan gerak gerik anak semata wayangnya memunguti makanan di dalam kulkas.      

"Hai.. hai.. apa kau akan pergi jauh??" akhirnya dia khawatir juga.      

"Tidak, aku masih berada di Jakarta. Sayangnya aku punya misi penting, jadi aku butuh banyak asupan makanan,"      

"Jangan bikin amai khawatir! Kau mau ngapain?" perempuan ini penasaran mendekati tas ransel putranya yang penuh makanan.      

Damar menghentikan gerakannya. "Huuh.." dia meletakkan makanan kaleng di atas meja sambil mendesah, "Jangan terus-terusan mengganggu hidupku! buatlah anak yang banyak selagi aku tidak ada di rumah ini, mumpung amai sudah di pecat dari perusahaan, dan bang Bay belum cukup tua. Ah' kecuali salah satu dari kalian  monopouse," dia bahkan melengkapi ungkapan reseknya dengan tertawa kecil.      

"Dasar! Anak tak tahu diri!! Di sayang-sayang malah ngatain Amai-nya monopouse.. sini kau!" mantan HRD yang di rumahkan karena kebanyakan berlibur ini, berakhir melempar remote televisi ke pada putra kesayangannya.  Damar sedang berlari lincah setelah mencuri seluruh makanan dari dalam almari pendingin.      

"Sayang benar kata putra kita, sebaiknya kita mengupayakan kehamilanmu supaya.." belum usai kalimat rayuan di tuntaskan bang Bay. Perempuan di hadapannya melebarkan mata, dia memelototi suaminya sendiri sampai pria itu menciut.       

***     

Hendra memutuskan menuju lantai D setelah dia dan tiga orang lainnya berhasil keluar dari  dasar tangga darurat klub malam milik Heru.      

Tujuan utama lelaki bermata biru masih sama  yakni turut serta memantau perkembangan pencarian istrinya. Pria ini sudah membulatkan tekad, apa pun caranya, sesulit apa pun keadaannya, dia harus menemukan Aruna secepat mungkin.      

Bukan rasa rindu lagi yang membuatnya jadi kacau. Tapi, rasa khawatir yang menjelma sebagai perasaan paranoid. Pikirannya melayang-layang ke segala Arah tentu tidak jauh-jauh dari keselamatan tujuan hidupnya, siapa lagi kalau bukan putri Lesmana.       

Gadis itu tidak akan memiliki garis takdir seperti ini andai dia  tidak masuk dalam lingkaran kehidupannya. Hendra merasa sebagai orang paling bertanggung jawab atas kemalangan Aruna.      

Klub malam bukan tempatnya, lalu kenapa dia sampai berada di sana? Ancaman macam apa yang di terima istrinya? Apa dia di paksa minum? Bagaimana kalau dia mabuk? Kepalanya pasti  pusing bukan main?      

Jantung pria ini berdetak kencang lebih kencang dari ritme mobil tim Raka yang dia tatap di layar kaca, melaju membuntuti mobil lain, mobil yang di duga membawa Rey dan putra Tarantula lainnya.      

"Ambilkan aku kursi," cucu Wiryo butuh duduk, kakinya terasa bergetar. Hendra belum pernah merasakan ini. Rasa takut kehilangan yang begitu luar biasa merajai dirinya.      

Dulu dia pernah di bawa lari oleh salah satu rekan kakeknya. Alasan pria itu menawan Mahendra kecil tidak lain karena pemilik perusahaan yang sedang pailit tersebut benar-benar membutuhkan uang. Dan kakek Wiryo belum ada tanda-tanda akan memberikan bantuan.      

Sebab, sudah teramat berat impitan keputusasaan. Pria itu nekat menculik Mahendra. Hendra menyadari dia sedang di sembunyikan di sebuah gudang usang dan kotor dengan  tangan beserta kaki terikat. Anehnya, sedikit pun rasa takut tidak hadir padanya.      

Waktu itu cucu Wiryo pasrah saja. Kalau dia berakhir mengenaskan, dia yakin mommy-nya belum bisa menangisi dirinya. Perempuan ayu itu masih linglung karena kondisi psikologisnya. Kakeknya juga, tidak mungkin mau menangis. integritasnya lebih penting dari pada ekspresi duka. Mungkin Oma Sukma yang akan menangisinya berhari-hari. Tapi, dia memang hobi berduka kala itu. Jadi kalau dia berduka, Mahendra menganggapnya wajar.      

Pada sebuah panggilan telepon yang di berikan penculik kepadanya, Mahendra kecil di tanya sang kakek : "apa kau takut?"      

"Aku di beri makan dengan baik," jawaban Hendra di luar kebiasaan anak-anak.     

"kalau kau takut akanku selamatkan hari ini,"      

"tidak, tidak harus hari ini. Kakek butuh waktu untuk bernegosiasi -kan. Lakukan saja selama kakek mau," Padahal waktu itu Hendra harus tidur maupun ke kamar mandi dalam kondisi tangan terikat.     

Sebenarnya dia tahu cara untuk melarikan diri, hanya saja dia merasa perlu menolong penculiknya. Sebab tiap kali pria itu datang, dia akan bercerita pada Hendra sambil menangis tersedu-sedu. Cerita tentang ketakutan-ketakutan yang akan terjadi andai hutangnya tak terbayar.     

Termasuk bagaimana kalau anak dan istrinya pergi meninggalkan dirinya ketika ketahuan bisnis yang di bangun dan di bangga-banggakan telah hancur berantakan.      

Kala itu Mahendra mengimbangi cerita sang penculik dengan kalimat tanya menggelitik: "Mengapa kamu takut istri dan anakmu meninggalkan dirimu?"     

"karena mereka adalah hartaku,"     

"Lalu kenapa kau butuh uang kalau mereka hartamu?"     

"Karena.." si penculik kebingungan menjawab pertanyaan Hendra yang terkesan polos plus menyebalkan.      

"intinya supaya mereka tidak meninggalkanku, aku butuh uang itu,"      

"Jadi hanya kau yang menganggap mereka penting, sedangkan mereka menganggap uangmu lebih penting," Hendra membuat kesimpulannya sendiri.      

"kau masih kecil, kau tidak akan mengerti tentang ini. Diamlah!"      

"Tapi, aku yakin kata-kataku benar,"     

"Sudah! Diamlah! Kau membuatku semakin kacau!"      

"seperti apa hubungan suami dan istri? Mengapa istrimu sangat penting untukmu,"     

"Karena aku mencintainya, aku tidak bisa hidup tanpa dia,"     

"Ah' aku tidak akan mau menjalani hidup yang menyengsarakan sepertimu, aku akan mencintai diriku sendiri saja,"     

"mencintai, bisa membuatmu merasakan perasaan sangat bahagia sampai meluap-luap, sayangnya dia seperti dua sisi mata uang. Selain perasaan bahagia dia bisa menghadirkan rasa takut luar biasa,"     

"takut? Setakut melihat Sadako[1],"     

"Tidak.. tidak seperti itu.. rasa takut yang ini lebih nyata, tentang manusia yang tidak mau kehilangan manusia lainnya. karena seluruh hidupmu terlanjur kau berikan kepadanya,"     

"em.. aku tidak mengerti,"     

"tunggu sampai kamu dewasa, mungkin kamu akan mengalaminya, kalau beruntung,"     

.     

.     

Pada detik ini, akhirnya Hendra mengerti maksud pria yang dulu menceritakan ketakutannya. Ketakutan nyata, tentang tak mau kehilangan manusia lainnya.      

[1] Sadako atau Sadako Yamamura adalah hantu yang melegenda di Jepang, tokoh fiksi dari novel Koji Suzuki ceritanya pun telah di angkat dalam film yang berjudul The Ring. Sadako yamamura, memiliki kekuatan psikis yang besar dan dapat membunuh manusia..     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.