Ciuman Pertama Aruna

II-139. High Heels



II-139. High Heels

0Tak ada yang pernah mengerti, apa yang tertuang pada kertas putih di dalam amplop coklat. Yang pasti, kini Aruna mengikuti setiap langkah dan kalimat permintaan yang terucap dari putra kedua keluarga Barga. Andai gadis ini melengkapkan motivasi untuk mempertahankan dan mementingkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri, alias egois.      

Tentu Aruna tak akan membiarkan Rey mendandaninya sesuka Hati, "Apakah laki-laki dengan kelas ekonomi sepertimu memang punya kecenderungan suka mengatur?"      

"Maksudnya??" Rey belum terkoneksi, dia sibuk memilih dan memilah padu padan apa yang cocok untuk Aruna.     

"Mengapa aku harus merubah penampilanku?"      

"Karena tempat yang akan kita tuju asing untukmu, Dan aneh saja kamu memakai kaos oblong seperti itu," Rey menemukan gaun yang dia suka. Si merah memikat. Dress menjuntai selalu cocok untuk perempuan. Pemilik rambut halus ini meyakini Aruna di jamin kian memesona. Rey sudah merangkai imajinasi ketika dress itu di angkat.      

Begitu langkah si paras campuran Japan ini mendekati adik Anantha, sang penabur bedak yang bertugas merias wajah Aruna menyingkir.      

Untuk sekian detik pria ini terdiam menatap cermin, "Aku tidak pernah tahu kau ternyata secantik ini,"      

"Hehe.. (tawa garing) jangan memuji gadis yang kamu manfaatkan, telingaku gatal mendengarnya," Aruna menarik baju di tangan Rey.      

"Kau menyuruhku mengenakan baju ini?!!" Aruna tak suka baju ini, sambil memasang gelagat kurang mengenakan, dia kembalikan baju ke tangan Rey. Tentu di barengi gerakan mendorong tubuh Rey ke belakang minta di carikan dress atau apa saja, yang pasti bukan gaun merah dengan belahan dada menantang.      

Namun, Rey tak bergerak. Dia masih memanjakan dua bola matanya dengan tatapan minat ke arah Aruna.      

"Aku bilang aku tidak akan memakai dress ini!! Carikan yang lain!" gadis ini menggertak untuk kedua kali.     

"Pakai saja! Ku yakin kau.. kau pasti makin memikat. Em maksudku.. ketika gaun ini melengkapi riasanmu," Rey masih mengamati.      

_Aku tahu kenapa Hendra tak mau bercerai denganmu_      

"Aku bilang aku nggak mau..!!" adik Anantha bersih kukuh.     

"Kita sudah sepakat!" suara keras kepala juga di perdengarkan Rey.      

"Sepakat memenuhi keinginanmu mendapatkan saham!" Aruna tak kalah kakunya, "Tapi, kita tidak punya poin kesepakatan tentang baju,"      

_Ah' kenapa kalimatku aneh?!_ gadis ini seolah memutar rol film yang hampir mirip dengan kejadian saat ini. Dulu dia sering uring-uringan masalah baju dengan Mahendra. Dan kalimat yang sama terlontar kala itu.      

Sejenak rasanya ingin menghubungi suaminya untuk minta tolong dan minta di bebaskan dari jeratan pria berparas Daroma.      

Tanpa di sadari menghasilkan raut muka masam,  yang kini tertangkap lebih manis dan mampu merebut seluruh perhatian lawan bicaranya.     

"Ya sudah! Kau pilih sendiri," tiba-tiba Rey mereda.      

***      

Tap tap tap     

Langkah high heels berdecit asyik dibarengi gaya menatap tegas khas manajer marketing handal.      

Tak ada satu pun karyawan yang berpapasan atau terlewati meluputkan tatapan kepada perempuan yang telah berdamai dengan dirinya.      

Kesalahan tetaplah kesalahan, dia sudah menangisi menjadi-jadi, meratapi penuh penyesalan, frustrasi sampai menyalahkan diri sendiri,  bersembunyi karena tidak percaya diri. Hingga di akhir perjuangan dalam rangka meraih kemenangan terhadap diri sendiri. Di lengkapi perjalanan panjang penyesalan dengan memupuk rasa ikhlas menerima keadaan.      

Akhir dari rasa suka relanya, perempuan ini menemukan keberanian. Dan perlahan-lahan menyusun kembali batu bata fondasi diri. Hari ini setelah tujuh bulan memarahi keadaan dan 4 bulan menghilang dari peredaran.      

Bersama high heels favoritnya, Alia hadir di antara gedung perkantoran. Melenggang santai di tengah-tengah tatapan tajam menyelidik, mulut ternganga, dan bisik hujatan tanda menghina.     

Dia masuk kerja, setelah 3 bulan awal menyembunyikan kehamilan dan 4 bulan terakhir bersembunyi karena berat menerima kenyataan.      

Setiap perempuan pasti pernah mengalami rasa tidak percaya diri. Dan Aliana ialah salah satu contoh fatalnya. Dia frustasi hebat sampai ingin meng-hilangkan nyawa janin di dalam kandungannya.      

Hari ini merupakan hari kemenangan baginya dan terhadap dirinya sendiri. Dia merayakan kemenangannya dengan tersenyum santai dan menyapa satu persatu rekan kerjanya dahulu sebelum semua kekacauan terjadi. Ah' bukan dahulu ternyata, sebab kursi perempuan ini masih kosong dan belum ada surat pemecatan walau dia telah menghilang.      

Alia mendorong pintu transparan ruang kerja bertulisan 'Manajer Aliana'.  Di lemparlah tas jinjing kecil ke atas meja, detik berikutnya melempar diri di kursi sambil berputar-putar memainkannya. Perempuan ini mencoba mengenang masa jayanya, sebelum menyeleksi benda-benda di meja kerja.      

Hari ini secara resmi dirinya akan melayangkan surat pengunduran diri. Kecuali, sudah di anggap bukan bagian dari perusahaan.  Ya sudah, di ambil hikmahnya saja. Alia cukup menggeser niatnya dari mengundurkan diri secara resmi menjadi berpamitan dengan teman-temannya secara elegan     

Walau kenyataan dia tidak benar-benar punya teman sungguhan di tempat ini kecuali beberapa anak buahnya saja. Sebab untuk sekelas perempuan, Alia terlewat menonjol dan melejit cepat. Dan tahulah betapa rumitnya hubungan antara perempuan muda. Jika boleh di gambarkan, hasilnya tidak akan jauh-jauh dari gambar anak usia 3 tahun yang ketika di tanya gambar apa? Jawabnya, gambar benang.      

Entah siapa yang memulainya, budaya pertemanan perempuan muda rumitnya amit-amit.      

Pada, gerak lincahnya melempar beberapa barang ke tong sampah dan sebagian kecil di masukkan ke dalam kardus.      

Terdengar suara dorongan pintu.      

"Aliaa.." seruan tak asing di barengi tawa di buat-buat. Siapa lagi kalau bukan Jenderal Manajernya. Pak Reza, si tubuh tambun di lengkapi jas tak mampu menutup. Sebab, besarnya perut gemasnya melebihi perut perempuan hamil tujuh bulan, perut Aliana sendiri.      

"Hai.. hai.. kenapa kau rapikan meja kerjamu..?" Pak Reza memegangi kardus Alia.      

"Jadi bapak belum mecat gue? nih!" sejak awal Alia memang di kenal sebagai manajer mengesalkan. Dia tak bisa menghormati atasannya yang hobi mengeluh dan hobi berkonsultasi di meja manajernya. Kebiasaan lama pak Reza hobi curhat kepada Alia dari masalah penting sampai kurang guna.     

"Siapa pula yang berani memecatmu," gerutu lirih, sangat lirih, tapi Alia mendengarnya.      

"Kalau gitu.." Alia meraih tas jinjingnya, mengambil lalu menyusupkan amplop putih ke tangan pak Reza, "ini surat pengunduran diriku,"     

"Wah kenapa mundur beneran?" Pak Reza protes.      

"mana ada manajemen perusahaan membiarkan karyawan tak masuk hampir empat bulan? masih di terima baik-baik saja??"      

"Buktinya ada dan itu kamu,"      

"Penjualan lagi merosot ya.."      

"Iya.."     

"Pantas.." Alia menghela nafas, " bapak mau menggoyahkan saya,"      

"Aduh.. aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sejak kau tak datang perlahan penjualan merosot kini menyentuh angka 30% penurunan,"     

"Terus.. hehe, secara diam-diam aku melobi direksi dan HRD. Aku membuatkan ijin untukmu, bahwa kau mendapatkan gejala Preeklamsia[1] pada kehamilan pertamamu," dengan tampang tanpa dosa, "jadi kamu dapat ijin bed rest, deh. Hee.."     

"Sumpah! Beneran pak Reza?! kau.. kau se-enaknya sendiri!" Suara Alia meninggi.      

"Ayolah jangan marah, perusahaan ini sedang butuh kamu,"      

"Huh! Aku tak mau! Tiga bulan lagi aku melahirkan, lalu merawat bayiku. Aku sudah bahagia sekarang,"      

"bukan -kah kamu dulu menangis-nangis padaku minta solusi?" maksud pak Reza 'aku sudah baik mencarikan solusi'.      

"Maafkan aku pak Reza.. aku sudah bahagia dan menerima keadaanku, kalau memang pada masa cuti palsuku, ternyata rekeningku masih terisi uang dari perusahaan ini. Akan aku kembalikan,"      

"Yah.. kau membuatku dalam masalah,"     

"Tenang saja akan ku urus semuanya. Walau ini kelakuanmu," masih saja pak Reza merepotkan Aliana.      

"Aku tidak biasa menghentikanmu, nih?"      

"enggak!" Percaya diri ibu hamil melanjutkan gerakan menyeleksi barang.      

"Oh.. iya.. ini undangan buat bapak! Pernikahanku akan diresmikan dan sudah dapat restu ayah.." senyuman Alia mengembang lambang berbangga hati, "Hanya orang-orang tertentu yang aku undang karena acaranya sederhana dan sekala kecil, bapak datang ya."      

"Huuh.. mau bagaimana lagi.. kau sudah sebahagia ini,"      

"Jangan bersedih bos.."      

"Masalahnya penjualan turun dan aku kena marah mulu."     

"Ayolah bos.. kau akan dapat penggantiku.. aku ingin jadi ibu dan istri yang baik," dia merendahkan suaranya, "Dan mau membuka jasa marketing sendiri, hehe,"      

"Benarkah?!" suara keheranan pak Reza dapat anggukan penuh keyakinan.     

***     

"Rey.. tempat apa ini?!"      

"Kau belum pernah pergi ke club'??"      

Dia menggeleng.      

"Ah' yang benar??"     

"Sungguh,"     

"Suamimu tertangkap selingkuh dengan artis di club', iya -kan?"      

"Itu Hendra.. bukan aku.."      

"Jangan takut ini milik Heru, kita punya ruangan sendiri, ruang VIP di lantai atas,"     

"Siapa Heru?"     

[1] Preeklamsia adalah keadaan serius selama masa kehamilan yang berpotensi menyebabkan kondisi fatal. Gangguan ini ditandai dengan tekanan  darah tinggi, kelebihan protein dalam urine (biasanya terjadi setelah minggu ke-20 kehamilan), nyeri perut bagian tengah atau atas, pandangan kabur atau ganda, tangan dan kaki bengkak, sakit kepala parah yang tidak hilang, muntah-muntah, jarang buang air kecil, dan sesak napas. Biasanya terjadi pada hamil anak pertama.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.