Ciuman Pertama Aruna

II-137. Padang Savana



II-137. Padang Savana

0Kemarin aku mendapati diriku berada di titik terburuk. Aku menatap sebuah danau di ujung sana. Danau yang aku amati tiap hari melalui sudut jendela ini. Aku pikir pasti segar berendam di sana. Karena aku terlampau bosan duduk di sini.      

Aku melepas alas kakiku lalu berlarian mengitari separuh danau. Aku ingat dulu aku pernah berlari-lari seperti ini, kala aku bermain di kampung sebelah.      

Diam-diam keluar dari cluster perumahan, lalu menyelinap melalui celah kecil setinggi pinggang orang dewasa.      

Di sana aku menemukan dunia berbeda, jika anak-anak di cluster perumahan lebih banyak bersembunyi dalam rumah mewah mereka. Anak-anak di sini sungguh berbeda, mereka berlarian di hadapanku seperti hewan-hewan berkaki empat yang berlarian di  Padang Savana[1], pemandangan indah yang aku tonton di channel TV national geographic.     

Kenyataannya, Ini bukan tentang sabana berhias rerumputan hijau, sebaliknya aku melihat tanah berdebu dilengkapi 2 pasang sandal di ujung kanan dan ujung kiri.      

Aku menyadari ini setelah beberapa kali ku amati. Dua pasang sandal adalah gawang itu sendiri dan mereka sedang bermain sepak bola.      

"Hai adik kamu mau ikut??" ada seorang kakak meneriakiku. Mungkin aku sudah berdiri cukup lama. Kakak itu berjalan mendekatiku kemudian membuat penawaran untukku. Apakah aku mau bermain dengan mereka? Tentu saja aku mengangguk ceria.      

Itulah awal mula aku berkenalan lalu tanpa sadar larut dalam permainan sederhana anak-anak kampung sebelah.      

Bisa jadi hal ini pula yang membuatku ingin menjadi seorang volunteer untuk anak-anak pinggiran. Mereka memiliki harta tak terdefinisi, harta yang bahkan belum tentu dimiliki si kaya yang tinggal di rumah ini.      

.     

Hendra menutup catatan Aruna, dia mengingat-ingat apakah masa kecilnya pernah berisikan tertawa riang dengan teman-teman, termasuk berlarian? atau minimal bermain sepak bola?     

Oh pernah, waktu ikut Opa dan Oma menghadiri sebuah acara amal. Dia diminta bergabung bersama anak-anak lain seusianya,  bermain sepak bola dengan mereka, ketika itu umurnya masih 9 tahun.     

 Sayang itu hanya sekejap, masa kecil mata biru terlalu kaku dan kesulitan berbagi bola dengan yang lain. Sebab hanya sebatas formalitas, tuan muda kecil itu dibiarkan menggiring bola-nya sendiri hingga mencapai gol pertamanya.      

Semua orang bertepuk tangan dan bersorak-sorai, kecuali anak-anak yang jadi partnernya bermain bola. Mereka tertegun dan menatap Mahendra penuh rasa iri, pikirnya dulu. Akan tetapi hari ini ekspresi tatapan mereka terdeteksi sebagai rasa bingung.     

Hehe, Hendra tertawa mengingat masa kecilnya. Sorak-sorai orang-orang dewasa yang dulu dia sukai berbanding terbalik dengan mata menyelidik dari anak-anak yang dia benci.      

Sekarang terlihat ber-kebalik-kan, anak-anak itu menunjukkan ekspresi aslinya. Dan tepuk tangan orang dewasa hanya-lah kamuflase mereka untuk memainkan suasana.      

Dia terkekeh lagi, kejadian serupa terulang di sepanjang masa kecilnya. Hanya karena dia pewaris tunggal maka dirinya tersabda sebagai  aktor utama atau si pusat perhatian tiap kali hadir di sebuah kerumunan.      

Masa kecil Mahendra kesepian. Kekeh tawanya berubah menjadi senyum getir.      

Ternyata Mahendra jarang memainkan olahraga yang membutuhkan sekelompok manusia. Untuk latihan fisik, dia akan mendapatkan guru privatnya sendiri. Entah itu bela diri, berenang, atau sekedar berlarian dia punya sekelompok teman yang disiapkan. (Nana salah satunya)     

 Hela nafas panjang mengiringi caranya membuka buku kecil untuk kedua kali. Baru beberapa kata, dering telepon meronta-ronta. Otomatis mata biru berbinar, dia melompat mengais ponselnya.      

***     

"Apa maksudmu,"      

"Kami bisa membuat target pembunuhan kepada siapa saja, hanya karena dia berstatus keluarga, anak, istri atau sekedar orang kepercayaan semacam ajudan, sekretaris dari para pesaing kami,"      

Aruna terdiam, tak lagi berminat untuk menyentuh makanan.      

"Apa aku juga jadi target hal-hal semacam itu?" Ini pertanyaan Aruna.      

"apalagi istri Mahendra, Kau adalah kelemahan empuk yang mudah dijangkau, "      

Aruna linglung seketika, benaknya menuntut berbagai pertanyaan. Apakah ini alasan para perempuan di keluarga Djayadiningrat hidup terbelenggu, di dalam kastil mereka? Mungkin-kah, Hendra yang jarang bercerita tentang dunia kerjanya, sebab memiliki jalan hitam? Deretan tanda tanya berjajar rapi. Yang berujung pada kalimat tanya penuh arti. Masihkah Dia percaya pada suaminya?      

"Seperti apa kehidupan para perempuan yang mirip denganku, di luar sana?" lagi-lagi pertanyaan Aruna di luar prediksi Rey. Harusnya gadis ini bertanya tentang, siapa yang mengancamku? Apakah kau punya pesaing juga? Siapa pesaing Mahendra? Tapi, tanya Aruna ternyata hal sepele.      

Padahal Rey sudah berencana mengakhiri percakapan ini. Andai Aruna bertanya tentang hal-hal rawan seperti yang ada di dalam otaknya.      

"Bermacam-macam, ada yang terkurung sepertimu, ada yang terpaksa dinikahkan dengan keluarga pesaing untuk meredakan ketegangan atau sekedar melebarkan sayap bisnis. Ada yang hidup berantakan, karena terlalu bosan menghadapi tekanan. Ada yang membuat dirinya kuat melebihi seorang laki-laki dengan berbagai cara. Macam-macam.," Rey menatap Aruna dan mendapati gadis di hadapannya sedang larut pada perenungan mendalam.      

"kakakmu mencoba membebaskanmu," Lanjut Rey.      

"Dan kau mencoba menawanku menggunakan kakakku,"     

"Ya.., begitulah kami bekerja demi sebuah angka,"     

"Jadi, kau tidak pernah merasa cukup?" kalimat komplikatif dilempar 'gadis baik' begitu saja.      

"haha," Rey tertawa terbahak-bahak, sangat paham bahwa ungkapan Aruna ialah kebenaran penuh makna. Kebenaran dari mulut perempuan polos.      

_Dia menggemaskan, mungkin-kah aku bisa mendapatkan Aruna? Hendra susah payah mempertahankannya? Pasti ada sesuatu pada Aruna?_     

"Ingin sekali aku bilang 'tidak'. Kenyataannya itulah ambisi kami. Ambisi yang kami pelajari sejak kecil," Begitu Rey mengakhiri percakapannya lalu berdiri memungut ponsel Aruna yang retak.      

"Akan kubelikan yang baru untukmu,"      

Aruna turut mengikuti langkah Rey, lalu mengais handphonenya dari telapak tangan laki-laki itu, "Ah' tak perlu, yang retak hanya screen guard nya,"      

Rey mengerjap-kan mata, tidak percaya. Aruna memilih melepas screen guard ponsel, mengabaikan tawaran berharga Rey, "Lihat baru lagi," lalu adik Anantha menepuk-nepuk ponselnya agar menyala. Tak lama ponsel itu menyala lalu mati lagi.      

"Nanti aku bawa ke tukang servis handphone, sepertinya baterai sedikit bergeser," sesantai itu dia berkata, meninggalkan Rey yang masih terbengong. Kala sang gadis menggemaskan ini memasukkan kembali handphonenya ke dalam tas selempang sederhana.      

"Apakah kamu tak pernah meminta pada Hendra membelikan tas G*cci? jam tangan C*rtier? Perhiasan dari Buccell*ti?" Rey penasaran.     

"kau ingin menghina tasku atau bajuku?"      

"Enggak.. Aku Hanya penasaran, kau yang tidak pernah meminta? Atau-kah Hendra sangat pelit?"      

"Buat apa beli benda-benda yang bisa kubuat sendiri, lihatlah tas ini punya nilai seni tinggi,"      

"Itu buatan tanganmu? (Tertegun) sendiri?," Rey baru sadar gadis ini benar-benar golongan manusia naif dan entah-lah apa definisi yang tepat?, dia sama sekali tidak berbahaya. Sampai-sampai tak perlu berpikir ulang untuk membuka pintu terkunci.      

"Iya.."     

"Haha.."     

"Kenapa kau tertawa? Kau ingin menghina hasil karyaku?"      

"Ah' tidak.. aku hanya penasaran kau ke manakan uang Hendra?!"     

"Aku tinggalkan di laci nakas, Ah' andai aku ingat.. uang kadang kala sangat penting, pasti akan kuambil untuk membebaskan kakakku,"      

Laki-laki yang kini berjalan menyusuri lorong resto ala Jepang. Mendadak terhenti, dia membalik tubuhnya, berdiri tegak menatap Aruna yang masih bicara sambil membuntuti langkahnya.      

"Kau tidak takut padaku??" suaranya rendah mendesah.     

 [1] Padang Savana atau biasa orang Indonesia menyebutnya Sabana, adalah padang rumput yang dipenuhi oleh semak/perdu dan diselingi oleh beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar, seperti palem dan akasia. Sistem biotik ini biasanya terbentuk di antara daerah tropis dan subtropis.     

.      

.      

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.