Ciuman Pertama Aruna

II-106. Muram Durja



II-106. Muram Durja

0Ruangan itu terletak di ujung koridor  dilantai tiga. Sama sekali bukan tempat yang biasa, lorongnya menyajikan deretan bangku berisi manusia-manusia bermuram durja. Tidak ada satu pun yang berniat ingin menyapa dirinya. Semua klut dan menutup, seperti meringkus diri, bahwa kenyataan ini tidak layak di imani.      

Satu jam yang lalu berita bencana menyusup di telinganya. Hanya sebuah pernyataan berisikan permohonan : "Tuan, Anda harus segera ke rumah sakit,"      

"Ada apa??" dan tak ada yang punya daya untuk memberitahunya.      

"Ada apa ini?"     

Duka apa yang paling pelik, yang mampu membungkam sosok-sosok gagah berseragam hitam, para penjaga yang biasa garang. Satu saja dari mereka tiada yang berkenan mengucap kata.      

Bisu, beku sudah mirip anak-anak yang sedang mengikuti upacara bendera disekolahnya lantas mendengarkan kumpulan paduan suara berdendang serempak lagu mengheningkan cipta.      

"siapa yang bisa aku tanya? Ketika kalian kompakkan membisu?" Lelaki bermata biru di acuhkan lagi dan lagi.      

Mereka sempat saling pandang lalu salah satu bilang "maaf kami gagal mengawal"      

Apa maksudnya?      

Mata biru sejenak melempar lamunan panjang ke jendela roda empat yang membawanya menuju kembali ke Jakarta. Tepatnya menuju rumah sakit Salemba.      

Pada satu titik dia tersekat, mengingat seseorang yang pasti akan berkata jujur padanya. Dia perlu menghubungi Surya, mantan sekretaris yang kini posisinya lebih sering menjadi kamuflase dirinya di agenda lain.      

Sebab sudah tamat caranya mencari tahu apa gerangan yang terjadi. bukankah menghubungi lantai D adalah pilihan paling tepat dan paling ampuh, mereka punya segudang tabung informasi. Sayang sekali hari ini tempat itu seolah libur serempak. Tak satu pun dari Pradita, Raka, Thomas, Vian maupun  Andos yang membalas pesannya.      

[Kamu tahu apa yang terjadi? Mengapa tak ada satu pun yang memberitahuku, siapa yang terbaring di rumah sakit?]     

[Aku sedang di luar kota Hendra, aku tidak tahu banyak sama seperti dirimu. Mungkin surel yang aku kirim bisa membantu] balas Surya.     

[Hari ini ada beberapa kolega yang menanyakan kabar tetua, aku tidak tahu apakah itu tentang kakekmu atau siapa?] Surya kembali mengirim pesan.      

"Ada apa dengan tetua? Apa yang terjadi? Mengapa kalian bisu!" dia yang di diamkan menyudutkan para pengawal yang sedang di dera duka lara.      

.     

Gertakkannya sering berarti kepedulian      

Diamnya mengandung ancaman     

Acuhnya bermakna perhatian tersembunyi     

Kata kata kasar adalah ungkapan kasih sayang     

Panggilannya berawal dari sebutan tetua     

Karena dia memimpin semua gerak yang menaunginya     

Mengambil anak-anak tanpa kasih sayang orang tua     

memungut mereka yang terbuang di jalanan untuk di beri pengharapan     

Harapan itu tentang berlarilah bersamaku dan raih impianmu     

atau mari hidup bersama saling mengayomi     

Seorang pemimpin, penunjuk arah       

Dia menjaga, memelihara dan meminta saling berpegangan erat     

Tidak menuntut apa-apa kecuali  keselamatan bersama     

Bahkan memberikan penghargaan bagi yang berhasil menyelamatkan     

Penyelamatan secara implisit     

Sebab ia memberi tugas tiap-tiap anaknya     

Bagi siapa pun yang berada di dalam, di perkenankan menjabat sesuai minat     

Sedangkan yang di tebar di Mahajana[1], harus jadi penyelamat      

Penyelamatan berupa penjaga kebaikan     

Memberi hajat kesejahteraan     

Melindungi dari kemiskinan     

Mengurangi risiko kejahatan      

Berambisi membuat keadilan     

Dia mengajarkan bertahan dalam kebaikan di tengah kesulitan     

Ajarannya menetap kuat di hati anak-anaknya     

Tentang mengubahmu untuk mengubah dunia di sekitarmu.     

.     

Hendra tak tahu seberapa hebatnya lelaki tua itu kecuali akhir-akhir ini. Ketika dia akhirnya berkenan berdamai belajar saling mengerti.  Perdamaian yang mendorong Hendra turut serta memahami sudut pandang kakeknya. Bahkan ikut-ikutan cara dia bertahan dan memperlakukan orang.      

Hendra juga tak mengerti mengapa laki-laki tua itu mengambil banyak anak angkat. Lalu mereka bertebaran di banyak tempat termasuk di berbagai jabatan dalam Mega bisnis yang terbangun.      

Hendra juga tak paham seberapa besar sepak terjangnya. Sampai-sampai orang merinding mengetahui namanya. Sekali disebut bahwa dirinya adalah cucu Wiryo, orang-orang itu seraya tersenyum dan tanpa basa-basi menunduk padanya.      

Dan hari ini semuanya terjawab, bencana padanya membungkam setiap jiwa yang merasa hidupnya terselamatkan.      

Hendra melihat anak-anak rapuh menunggui tubuh tuanya di lorong-lorong rumah sakit. Pemandangan itu menyilaukan matanya. Kakeknya terlalu hebat kalau dia hilang lalu dirinya yang menggantikan.      

Di pejamkan mata sesaat, dia tahu sebentar lagi kisah asli akan dimuat. Tentang mengapa laki-laki keras kepala terbaring dan masih dalam koma.      

"kalian semua kembalilah bekerja," caranya mengambil alih mengikuti cara memberi petunjuk ala tetua.      

"jangan sampai kelihatan bodoh di matanya karena perilaku kalian saat ini" suara lelaki bermata biru menggertak, menggerakkan manusia-manusia tertunduk untuk menoleh padanya.      

"Bangkit dan kembalilah ke tempat seharunya (bekerja), lelaki tua itu tidak serapuh yang ada di pikiranmu" kembali sang pewaris tunggal memberikan titahnya.      

"Aku penerusnya, ucapanku adalah perintah  yang sama" dan manusia manusia berduka tergerak bangkit satu persatu meninggalkan lorong tidak biasa.      

.     

Hendra mendekati Andos yang terdiam dan kehilangan raut muka sangarnya.      

"Maaf aku tidak butuh ekspresi sedihmu! Bungkus itu dan beritahu apa yang terjadi?"     

"kalau semuanya diam dan aku cucunya malah tidak tahu apa-apa. kaulah yang harus bertanggung jawab jikalau aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dan itu artinya benteng yang kalian bangun  satu persatu runtuh perlahan" kembali Hendra bersuara.      

"Tunggu sebentar mas, Pradita dan Raka masih bekerja. Mereka mencoba menemukan fakta," Andos bercerita.      

"Lalu kakekku kenapa terbaring koma?" Hendra memburu informasi.      

"Kecelakaan beruntun satu truk tiga mobil, tapi mas Hendra tidak akan mendengar berita tentang kecelakaan tetua. Kamu datang lebih awal dan melakukan proses evakuasi, DM grup tidak akan goyah.. namun.."      

"Kalian yang kehilangan arah" Hendra memotong kalimat Andos.     

"Maafkan kami mas, kami.."     

"Memangnya kalian sudah menemukan kejanggalan?"       

"Teman-teman masih bekerja"      

"Jangan ada kalimat maaf sebelum fakta terungkap," sesungguhnya kaki pria ini turut lemas dan dirinya bergetar hebat mendengar ucapan Andos. Tentang kakeknya yang mengalami kecelakaan beruntun. Tapi dia adalah penerus selanjutnya tetua Wiryo. Kalau dirinya ikut kalut siapa yang memecut yang lain supaya roda tetap berjalan.      

***     

[Kak Rey, mohon maaf mengganggu. Apa tasku ada di kakak?] Aruna mengirim pesan kepada teman Anantha, gadis ini sebelumnya sempat mengkonfirmasi kepada Ananta tentang tasnya.      

Di ujung sana sang pria tersenyum penuh arti. Dia yang sedang bersenang-senang dengan teman-temannya. Menghembuskan perintah diam: "Huus..!"      

"Hallo? Hai Aruna.." sang pria masih bergumul di kolam renang ketika handphonenya diantar oleh pelayan. Naik dan duduk pada bangku memanjang, santai membuat panggilan untuk gadis yang sudah di nantikan.     

"Kak Rey, apa tasku ada di kakak?" Aruna mengulangi pertanyaannya. Sempat terkejut karena pria itu bukan membalas pesannya melainkan langsung menelepon.      

"Iya.. sayangnya aku sedang sibuk, bisakah kau datang ke tempatku? Akan ku kirim alamatnya padamu?" pinta Rey.     

[1] Mahajana : Masyarakat, Publik, umum dsb.     

.     

.     

__________________________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.