Ciuman Pertama Aruna

III-16. Jawaban Polos



III-16. Jawaban Polos

0"kenapa tidak menggunakan kaos oblong dan luaran warna-warnimu itu," Hendra menatap Aruna tajam.      

      

"Ini selera bajuku yang terbaru," Aruna mengikat rambutnya dengan berlagak di hadapan Mahendra.      

      

"Kancing hemmu sekarang!!"      

      

"Nggak mau!" Setelah di tatap beberapa saat oleh Hendra Aruna mengerut gadis itu makan sambil menunduk bahkan makanannya hanya di mainkan karena gugup.      

      

Sesaat berikutnya lelaki di hadapan Aruna meraih iphone-nya dan menutupi dada yang menyajikan dua kancing baju terbuka menggunakan iPhone di pegangan. Giliran Aruna mendongak dia dapati Hendra mengusir Herry, Ajudan itu mendekatinya untuk persiapan berangkat kerja.      

      

"Tunggu aku di mobil," kata Hendra yang memastikan langkah pergi Herry lalu dia meletakkan iPhone-nya. Dan bersedekap meminta penjelasan Aruna.      

      

"Kalau mau menggodaku jangan tanggung-tanggung, letakkan sendokmu dan duduk -lah di pangkuanku," kalimat tantangan Hendra di sambut senyuman perempuan. Aruna benar-benar meletakkan sendoknya dan berjalan cepat mengitari meja makan lalu naik di pangkuan suaminya.      

      

"Kenapa kau sibuk sekali?" keluh Aruna.      

Hendra terdiam, dia lebih senang mengamati perempuan yang kini sedang menyentuh rambutnya.      

      

"Apa kalimat tanya yang ini juga tidak boleh aku sampaikan," kembali keluhan perempuan ini terbit.      

      

Hendra tidak membalas pertanyaan Aruna, malah tenggelam memeluk perempuan tersebut.      

***      

      

"Apa kau yang merusak ruang kerja Vian?" Nana belum sempat duduk ketika dia akhirnya berjumpa dengan lelaki yang begitu dekat dengan adiknya, Leona. Lelaki tersebut sangat kecewa saat Leona terpaksa harus di asingkan dengan pergi ke luar negeri untuk selamanya.      

      

"Aku harus menyelamatkan diriku," suara Lelaki ini datar seolah tidak melakukan kesalahan besar. Padahal perilakunya jelas fatal.      

       

"Vian memasukkanku dalam agenda penyelidikannya, tampaknya dia sudah mengumpulkan banyak bukti untuk menginvestasi kebocoran informasi itu. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja," dua orang yang saling berkomunikasi tersebut tahu siapa saja yang masuk ke dalam lingkaran penyelidikan Vian akan sangat sulit meloloskan diri. Pilihannya hanya seputar mengaku atau tertangkap. Pria ini tidak mau keduanya.      

      

"Membocorkan informasi ruang sidang dibandingkan dengan merusak lantai D?. Apa kau tidak sadar?! Merusak lantai D jauh lebih fatal andai kamu ketahuan?!" Nana di landa gusar luar biasa. Lelaki dengan luka pada permukaan tangan ini malah tersenyum.      

      

"Kau pikir aku bisa di curigai, melihat kondisi yang seperti ini," senyuman itu melebar dan tertangkap mengenaskan berpadu ekspresi mengerikan.      

      

"Segala sesuatu bisa saja terjadi," Nana memperingatkannya.      

"kenapa kamu tidak memikirkan kalimat itu ketika menyuruhku melakukan kebodohan kemarin," pria yang terbaring pada ranjang pasien bergerak duduk.      

"Aku pikir kau akan menolakku waktu itu," ucap Nana.      

"He.. hehe, kau bisa mengelak setelah mendesakkan keinginanmu?" dia mengamati Nana dengan raut wajah jenuh, "sekarang giliranmu menepati ucapanmu, buat Leona kembali ke Indonesia," lelaki ini mendesak Nana.      

"Atau aku, akan membuka tabir yang sesungguhnya. Kaulah yang berhasrat menjadikanku alat," ucapan lelaki ini terlontar datar, akan tetapi matanya terlihat menatap kuat Nana, tanda dia menagih janji Nana dengan serius.      

"Jangan sembarangan bicara, apalagi mengancamku, aku akan jadi nona keluarga Djoyodiningrat," Nana seperti biasa dia menunjukkan ambisinya yang berlebih.      

"Cih!" wajah jenuh lawan bicara Nana kian tampak, "Bisa jadi kamu akan mendapatkan statusmu tapi tidak dengan hatinya, tak semudah itu menghapus kenangan perempuan yang mampu menyembuhkan Mahendra, aku dengar mereka sempat bertemu selepas pernikahan Surya," keterangan pria ini menyentak Nana, Hendra menghilang berhari-hari selepas pergi dari acara pernikahan Surya. Perempuan ini buru-buru keluar dari kamar inap rumah sakit. Dia punya misi baru mengungkap ke mana perginya Hendra selama ini dan di mana dia menghabiskan istirahat malam, sebab hunian Hendra yang terletak di lantai teratas Djoyo Rizt Hotel kosong.      

***      

Herry memandangi dengan gelisah jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Tuannya bilang mereka berdua perlu berangkat lebih pagi, nyatanya sekarang si tuan masih di dalam mansionnya, sudah hampir satu jam terlewati dan tuannya belum juga keluar dari sana.      

Harry kembali menyalakan musik, tangannya menepuk-nepuk tepian melingkar setir mobil.      

'Aku sedang ingin bercinta karena.. Mungkin ada kamu di sini..'      

'Aku Ing??'      

      

Dendang riang ajudan yang sedang asyik menirukan kalimat Ahmad Dhani terhenti seketika. "Ah' lagi-lagi?!" dia menepuk setir mobil yang tak bersalah. Menyadari dirinya di jadikan obat nyamuk untuk ke sekian kalinya oleh sang bos. Buru-buru dia matikan musik itu.      

      

Dan terbukti sudah dugaan Hery. Lelaki tinggi tegap dengan mata biru, terlihat menatapnya sekilas.      

      

Mahendra baru usai melepas pegangan pintu dari sentuhan tangan kanannya. Sejenak berikutnya tangan itu naik ke rambut lalu berusaha merapikan rambutnya yang tertangkap berantakan. Sedangkan tangan kirinya menjadi tempat bersampir jas yang belum sempat dia kenakan dengan jemari tangan memegangi iPhone. Hendra berjalan tergesa menuju mobil. Pria bermata biru konsisten terkesan sempurna dari ujung rambut hingga kaki, kecuali hem yang dia kenakan tampak koyok pada sisi depan.      

      

"Anda sungguh-sungguh akan berangkat dengan Hem ini," Herry tahu tuannya tidak mungkin membiarkan dirinya terlihat berantakan apalagi Hem-nya kusut.      

"Aku akan merapikan diriku di hotel, jadi melajulah lebih cepat," jawaban Hendra tidak memuaskan Herry.      

"kenapa kau masih melihatku?" Hendra keberatan dengan tatapan tertegun Hery, "cepat jalankan mobilnya! Kita sudah terlambat."      

Hery menggerakkan mobil masih sambil tersenyum, "celana anda, aku rasa ada yang belum benar,"      

      

"Hais'," dia yang dikomentari Hery memerah seketika, menarik resleting-nya dengan memiringkan tubuh ke sisi lain, sungguh terlihat sekali mata biru di landa malu.      

Baru usai mobil mundur dan siap melaju. Suara perempuan yang tadi di marahi karena baju tak terkancing sempurna, sekarang tampaknya sudah berganti pakaian. Dia mengenakan kaos oblong dengan luaran plus aksesoris nyentrik yang melingkar pada pergelangan, khas Aruna yang unik berpadu sederhana.      

"Nanti pulang -kan?" nyaring Aruna melempar pertanyaan yang menghasilkan gerakan menurunkan kaca mobil.      

"Kemarilah sayang," suara nyaring Hendra memanggil Aruna, perempuan tersebut berlari mendekati pintu mobil bentley suaminya.      

"Herry tutup matamu," bisik perintah Hendra kepada ajudannya sebelum istrinya mendekat.      

_Ah' lagi-lagi nasibku begini_ gumaman Herry yang tidak berani melawan perintah tuannya, ajudan tersebut memejamkan mata.      

"Akan aku usahakan, dilarang menungguku seperti kemarin," Aruna mengangguk mendengar kalimat suaminya.      

"Tidur di kamar dengan benar, tidak usah gelisah, kalau aku belum bisa pulang aku pasti –kan akan menghubungimu," Kembali mata biru menegaskan permintaannya, sambil memegangi pipi perempuan.      

"Tapi kamu pulang -kan? Aku tidak suka di mansion sendirian," perempuan ini merengek.      

"Aku juga tidak suka tidur sendiri," ini ungkapan Hendra.      

_Kalau aku sempat tidur_ gumam Hendra seiring gerak ibu jarinya mengusap bibir perempuan.      

"Berikan aku sarapanku," pinta mata biru, kalimat implisit yang menyatakan keinginannya mendapatkan si merah yang dia buru tiap saat.      

"Tadi -kan sudah," jawaban polos ini tidak bisa mengendalikan gelitik tawa pria memejamkan mata. Herry menutup mulutnya, menahan tawa.      

"Sekali lagi," suara sang bos membuat Herry menekan hasratnya ingin tertawa.      

"Tadi sudah berkali-kali, aku sudah pakai lips bam males pakai lagi," kalimat jujur istri tuannya kali ini, mendorong pemuda tersebut untuk kelepasan tertawa. Tawa Herry membuat dua orang yang akan menautkan kecupan jadi canggung sendiri, keduanya hanya berakhir melambaikan tangan.      

.      

.      

"Lain kali kalau kamu tertawa di waktu yang tidak tepat, aku akan menghukummu," Hendra mengancam pengemudi mobil yang membawanya menuju kantor pusat Djoyo Makmur grup.      

"Anda jangan rakus, kasihan tuh nona, terlihat kelelahan, hehe," untuk pertama kalinya Herry berani menggoda tuannya.      

"Beraninya kau mengomentariku!" suara Hendra meninggi.      

Herry menatap tuannya sambil mengangkat bahu, senyumnya menyatakan bahwa si bos terkategorikan maniak.      

"Oh' jangan-jangan kamu belum punya pasangan ya, aku memaklumi betapa irinya dirimu," Hendra sedikit sialan, mata biru tahu ajudannya tak punya cewek.      

"Cepatlah menikah, supaya nasibmu bukan sebatas komentator," kalimat pedas Hendra mampu mengubah raut wajah Herry. Dan si mata biru merasa menang, entah kemenangan model apa, yang pasti dia berbangga berhasil membuat Herry murung.      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

.      

.      

__________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

1. Lempar Power Stone terbaik ^^      

2. Gift, beri aku banyak Semangat!      

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan      

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.