Ciuman Pertama Aruna

II-170. Keahlian Fatal



II-170. Keahlian Fatal

0"Bersemangat -lah nona. Ayo, makan yang banyak,"      

Di hari berikutnya gadis ini bukannya kian pulih dia kian parah saja. Sebenarnya awal datang di tempat ini dirinya tidak benar-benar sakit, sayangnya perilaku pria yang enggan menemuinya membuat gadis ini makin pucat tak berdaya melawan rasa susahnya.      

Aruna tidak tahu dan tidak mengerti mengapa Mahendra begini?     

Dia hanya tidak tahu pria itu sedang membereskan ke bocoran video di ruang sidang yang belum juga tertemukan siapa bilang keroknya. Sambil menata hati, atas apa-apa yang akan terjadi. Memastikan apakah dirinya sanggup di tinggal pergi gadis itu lagi.      

Bernegosiasi semacam mata pisau yang dimainkan, arahnya bisa ke mana saja. Bisa menggores salah satu dari mereka bahkan keduanya sekaligus, secara bersama-sama. Lebih klisenya bisa berhasil bisa pula gagal.      

Ingatan pewaris tunggal ini terbang melintasi waktu menuju percakapan yang pernah terjadi antara dirinya dan kakeknya.      

("Apa anda marah?")      

("Kau bukan anak kecil yang harus aku teriaki! Apa alasanmu?")      

("Aku tidak ingin kehilangan hangatnya nenek, ibu, istri termasuk putriku kelak.")     

("Ternyata pola pikirmu sebatas itu saja,")     

("Aku tidak mau menggadaikan kepercayaan, cinta dan harapan mereka hanya demi rasa tenang palsu,")     

("Apakah kamu berpikir mereka akan menemukan ketenangan setelah melihat bahwa ayah, suami dan putra mereka memiliki rahasia pahit?")     

("Aku mengerti para perempuan mudah khawatir, tapi mereka tak selemah yang anda pikir. Mungkin saja mereka akan syok sementara, selanjutnya ku yakin mereka akan meneguhkan dukungan untuk anda dan untuk saya,")     

("Itu mustahil,")     

("Mustahil karena anda belum pernah mencobanya,")     

("Bagaimana bisa mereka mau menerima tangan kotor yang pernah menghilangkan nafas orang lain? Aku tidak yakin para perempuan akan kuat menerima ini,")     

Apa yang di alami kakeknya, kini Hendra menghadapinya juga, secara nyata menjadi masalah berat untuknya.      

Kata 'mustahil' yang diucapkan sang kakek, sekarang menjelma menjadi keraguan dilematik baginya. Setelah melihat ekspresi Aruna, yang ketakutan dan ingin berlari pergi. Membuat lelaki bermata biru memikirkan ulang kalimat-kalimat sang kakek.      

Argumentasi yang dulu sempat digunakan untuk meruntuhkan keyakinan kakeknya. Sayang sekali tidak bisa meruntuhkan kebimbangannya sendiri. Sudah tiga hari dia hanya mengawasi putri Lesmana dari kejauhan.      

Kabarnya Sang perempuan sudah mulai bisa berjalan. Sayang kondisinya kian menurun, seiring dengan caranya membelenggu yang sama persis seperti dulu.      

Dia tahu Aruna tak suka ini. Tapi, apakah mungkin dia siap di tinggal pergi untuk kedua kali?       

Bimbang sungguh menyakitkan.      

[Aku akan kabur, jika kau tak menemuiku] pesan ini di kirim nomor asing. Gadisnya pasti sudah meminjam telepon genggam seseorang.      

***     

Dia kembali melakukan hal yang sama dan aku mulai kecewa. Aku tidak suka, aku hanya butuh jawaban dari kecemasanku. Ini sederhana, aku bertanya, dia menjawab. Tapi, kenapa separah ini perilakunya?      

Lagi-lagi cara Hendra menyesakkan dada. Apakah mengungkung perempuannya sudah jadi habit permanen? melekat?     

Aku hanya bisa menghela nafas lelah, akhir -nya di perlakukan seperti ini lagi dan lagi.      

.     

.     

"Nona, anda mengirim pesan pada tuan?" Rollan berlari menemui nonanya.      

"Iya kenapa?" Jawab singkat, Aruna yang sesungguhnya sambil mulai merapikan barang-barangnya, yang tertangkap hanya sepasang baju, menggeletak di ranjang siap untuk diajaknya pergi dari tempat ini.     

"tuan datang menemui anda," wajah sumringah itu tersaji sedikit aneh di raut muka ajudan yang seringnya memasang ekspresi datar. Menularkan se-cerca harapan bahagia akhirnya bertemu Mahendra, suaminya.      

Aruna segera meletakkan kesibukannya, menarik gesit tiang infus beroda, sambil harap-harap cemas mengikuti langkah Rollan.      

Setelah menaiki satu lantai, Aruna dapati sebuah lorong yang di apit dua bentangan kaca di ujung sana. Menyajikan punggung laki-laki yang tengah berdiri. Mahendra dengan segala hal yang membungkusnya, menatap kosong hamparan kesibukan kota metropolitan di bawah sana.      

Lelaki ini tak menoleh sampai Aruna berdehem, tampaknya dia terlalu larut dalam lamunannya sendiri.      

"Kau sudah datang?" suara ini dingin memunggungi gadis yang berharap mendapat tatapannya.      

"kata ingin melihatku?"      

"Aku tidak ingin membuatmu takut,"      

"Kau bukan moster," dada perempuan yang kecewa memang amat perih terasa.     

"Bagaimana kalau aku benar-benar moster?" dia berbalik dan menatap lekat Aruna. Membuat jantung gadis ini berdetak kencang seketika.  Mengerjap-ngerjapkan mata berusaha mencari keberaniannya. Entah mengapa Hendra tertangkap menakutkan seolah akan menyergapnya, sejalan dengan caranya mendekat, gadis ini mencengkeram kuat tiang infus dalam genggaman tangan. Berusaha untuk tidak mundur selangkah pun.     

"Kau takut?"      

Aruna menggeleng.     

"Kau bohong!" Hendra menyentuh jemari kaku Aruna, pada tiang besi yang tergenggam.      

"Gadis biasa, akan lebih parah dari pada Surya," lamat dia berucap, gerakan matanya bahkan ikutan lambat. Ungkapan yang di suarakan Hendra punya arti bahwa gadisnya akan jauh lebih takut dan terkejut dari pada yang di alami sahabatnya Surya, kalau Surya saja sampai menutup diri untuk hal-hal tertentu bagaimana dengan gadis polos ini.     

"Apa maksudmu?" Aruna mencari pemahaman.     

"Ini aku yang sebenarnya. bisa melukai siapa saja. Kecuali kau, perempuan yang jadi kelemahanku," Kalimat Mahendra bertolak belakang, seolah dia tidak ingat malam mengharukan ketika dirinya merintih mendekap Aruna.     

Sayangnya gadis ini tidak tahu patahan kalimat kaku ini cara Hendra memberanikan diri menepis kata 'Mustahil kakeknya' dan menjalankan argumentasinya.      

Menguji coba adalah keahlian fatal, lelaki bermata biru.      

Terlebih Di dorong sudut pandang kakak Aruna yang sempat saling jumpa dengan Mahendra. CEO DM grup memang mengatur pertemuan dengan Anantha. Pria ini menemui sang kakak ipar untuk menyerahkan berkas yang dia rampas dari pengawal pribadi Rey. Berkas yang di gunakan Rey untuk mengancam Aruna, berkas beramplop coklat ini berisikan surat akuisisi perusahaan Anantha.      

Ternyata akuisisi sudah terjadi dan pria yang bercakap dengan Hendra sudah jadi pengangguran di waktu singkat. Aset yang dia perjuangkan dari nol merelakan kesenangan masa muda dan banyak hal tak terkira amblas begitu saja, sampai-sampai karyawan setia yang turut serta membelanya, di rumahkan bersama dirinya. Semua ter renggut tak bersisa.      

Hendra turut kalut, dia menawarkan DM delivery yang dulu di pegang Ayah Lesmana. Mata biru bilang bukan untuk menghina. Kali ini dirinya mengerem ego besar, menjaga dengan hati-hati ucapannya. Hendra memaparkan penjelasan tentang keadaan Anantha bisa jadi efek dari persaingan Djoyo makmur grup dengan Tarantula  dan  berupaya memberikan arahan bahwa tidak ada niat apa pun pada penawarannya kali ini. Dia menceritakan harapan membangun kembali hubungan keluarga yang sempat tercerai berai.      

Pria ini kembali menggelengkan kepala, Anantha mengatakan kepuasannya bukan tentang mendapatkan jabatan. Melainkan membangun sistem dari rangkaian koding yang ada di kepalanya.      

Pada percakapan terakhir sebelum saling pamit satu sama lain, kakak sulung Aruna mengungkapkan alasan utama, mengapa dia menjauhkan adiknya dari keluarga Djoyodiningrat.      

"Aku hanya ingin menyelamatkan Adikku, aku tahu tanggung jawabmu sebagai pewaris tunggal keluargamu bukan perkara mudah," pria ini mengunci Mahendra di dalam bola matanya. Tanda bahwa dia sedang serius.     

.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.