Ciuman Pertama Aruna

II-166. Kurang Dekat



II-166. Kurang Dekat

0"Kalau ayah yang pertama lalu dia siapa?" Lesmana mengarahkan matanya pada pria Jawa-England yang mematung kebingungan tertangkap mata di perhatikan ayah dan putrinya secara bersamaan.      

Gadis ini memerah menunduk setelah di tatap berulang pria kebingungan yang berada di ujung sana.      

"Kamu ingin pulang dengan ayah? Atau dengannya?" Kembali Lesmana bertanya. Aruna tersenyum malu-malu.     

Lesmana mengurai senyum melihat polang tingkah putrinya, dan sejalan kemudian dia berdiri mendekati pria yang masih canggung karena tatapan Lesmana. Sang ayah tertangkap menepuk pundak Mahendra, bercakap sejenak lalu berjalan menuju pintu keluar, sempat dia menatap putrinya sambil tersenyum ringan berpamitan pada Aruna.      

Dan lelaki bermata biru kini mendekat dengan langkah canggung sambil menggaruk sudut leher, dia lebih merah dari si perempuan.      

"Ayah bilang apa," tanya Aruna.      

"Tak ada,"      

"Ayolah jangan pelit,"      

"Rahasia laki-laki,"      

"Apa'an sih,"      

Sang pria menarik bibirnya membuat tawa kecil, "Yang pasti dia mengizinkanku untuk memelukmu,"      

"Haha," Gadis ini tertawa lalu membuka lebar kedua tangannya dan sang pria menyejajarkan tinggi, dia memeluk sang istri lekat-lekat. Beberapa kali pria ini bersembunyi di ceruk leher perempuannya, tentu saja dengan tujuan mencium harum wanita yang sudah porak-porandakan hati, tubuh wangi yang sekian lama tidak tercium. Memang penggoda paling ampuh.      

"Aku bau sekarang Jangan lakukan itu," Aruna keberatan. Hendra merenggangkan sejenak pelukannya lalu menatap gadis ini. Dia sempat melebarkan senyumnya, hingga lesung pipinya tertangkap sempurna. Sejenak kemudian memeluk lagi lebih lama.      

"Mas jangan lewat depan, di depan sangat ramai," Raka berjalan cepat tergesa-gesa menghampiri kedua pasang suami istri yang baru saja melewati masa paling berat dalam perjalanan pernikahan mereka.      

"Ada apa? Wartawan masih banyak?" tanya Mahendra.     

"Bukan masih banyak, tapi bertambah banyak," Raka berjalan ke sisi pintu khusus yang seharusnya diperuntukkan sebagai jalan keluar untuk para hakim. Setelah memeriksa keadaan beberapa saat, sejalan kemudian pimpinan ajudan itu membuka pintu lebih sempurna, Raka kembali bersuara, "Anda berdua lewat sini saja," kalimatnya meminta Hendra dan Aruna mengikutinya.      

"Kau bisa berjalan sayang?" tanya mata biru.      

"Sebenarnya bisa, sayangnya tidak akan lama," Aruna mulai berdiri dan terpincang-pincang dengan satu kaki belum bisa menumpu dengan benar. Hendra buru-buru menopang tubuh itu dalam dekapannya.      

Raka mulai berjalan gesit, disusul Mahendra sambil membawa tubuh istrinya di atas kedua tangan, turut berjalan cepat membuntuti Raka.      

Sedangkan Aruna memastikan dirinya nyaman, mengunci tangannya di leher Hendra untuk berpegangan.      

Mereka menyusup keluar diam-diam lewat pintu belakang, berupaya agar tidak terlihat oleh siapa pun terutama oleh para pencari berita. Syukurlah keduanya bisa lolos. Tentu saja didukung  mobil bentley Continental mendekat cepat, melaju berhati-hati, membungkus keduanya agar segera berada pada posisi aman.     

Aruna sempat memperhatikan kegemparan yang tertangkap matanya di depan balai pengadilan agama. Mobil yang mencoba menjemput Tania dan Damar tidak bisa masuk ke dalam. Lebih khawatir lagi ketika gadis ini memperhatikan sahabatnya Damar diburu beberapa wartawan yang mendesaknya untuk bicara, menyodorkan perekam suara yang beberapa kali dihalau oleh orang-orang Hendra yang tertangkap sedang berupaya membantunya.      

Damar belum apa-apa dibandingkan Tania yang dikerubungi lebih banyak orang, tidak bisa bergerak sama sekali.      

"Hendra Apa yang terjadi? Apa mereka baik-baik saja?" Gadis ini mengurangi rasa Was-Was.     

 Mobil yang ditumpangi Mahendra dan Aruna masih bisa bergerak, sebab kemungkinan besar mereka tak tahu siapa yang berada di dalam.      

"Tidak masalah, tenang saja, orang-orang ku akan mengawal mereka dengan baik," laki-laki di sampingnya, kini kembali terlihat sibuk, dia membuat panggilan kepada beberapa orang sekaligus. Padahal barusan Hendra mengatakan untuk 'tenang saja'.     

Ucapan Hendra tidak sejalan dengan perilakunya yang dia perlihatkan. Seperti sedang mengajukan berbagai pertanyaan kepada seseorang. Meminta penjelasan secara paksa dan memburunya, sebuah kebiasaan yang sering Aruna lihat kalau dia sudah memegang laptop dan handphone nya kala mengerjakan sesuatu yang penting.      

"Aku tunggu penjelasan mu," ini kata-kata Hendra sebelum akhirnya menutup handphone.      

"Ada apa Hendra?" Pria ini tidak membalas pertanyaan Aruna. Dia mendekat, mencium pelipisnya lalu tersenyum.      

"Kita ke rumah sakit," perintah cucu Wiryo kepada ajudan yang mengemudikan mobil.      

"Aku tidak sakit?" Tampaknya Aruna keberatan.     

"Kakimu perlu diperiksa,"      

"Pernah enggak kamu keseleo, lalu bengkak, butuh waktu seminggu untuk menghilangkan bengkak itu dan beres,"      

"Sayangnya aku bukan tipe orang yang mau menunggu. Memeriksa, Apakah terjadi sesuatu serius pada kakimu atau tidak, jauh lebih masuk akal,"     

Aruna menekuk mulutnya mendengar pernyataan Mahendra yang konsisten tak bisa di negosiasi.      

***     

"Apa benar? orang ketiga itu kamu? Danu..? Tolong dong dijawab?"     

"Jadi selama ini semua gosip yang berseliweran, bukan Cuma isapan jempol? Bukan omong kosong?"      

"Jangan-jangan anda berhenti jadi musisi, karena skandal ini ya?"     

"Danu bicaralah!"     

"Ayolah sedikit saja!"     

"Danu..!!"     

Pria ini tetap diam membeku, berusaha terus melangkahkan kakinya, berjalan seiring gerak langkah orang-orang Hendra membantunya hingga mencapai pintu mobil. blitz foto, perekam suara sampai kamera terus-menerus disodorkan kepadanya.      

Baru saja masuk mobil dan mulai tenang, ternyata mobil itu masih saja terhalangi dan sulit untuk bergerak maju.      

"Tuan kami, tuan Hendra, benar-benar meminta maaf, atas kejadian yang anda alami" salah satu orang Hendra yang membantu Danu Umar mengiringi pemuda ini di dalam mobil, masih sambil mengutarakan kalimat maaf yang dititipkan Mahendra, kepada bawahannya.      

"Tak masalah, aku sudah mempersiapkan diri dan memprediksi kejadian ini," Damar tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi padanya. toh Dia tidak punya keinginan untuk kembali ke dunia itu, dunia entertainment. Jadi, seheboh apa pun yang bakal diceritakan di luar. Dia bisa membentengi dirinya dengan sikapnya yang cuek. Mungkin Amai-nya yang akan sok beberapa hari. Tentu saja Amai bakal mendapat penjelasan dari bang Bay, beliau lebih paham tentang situasi entertainment. Amai-nya akan baik-baik saja.      

***     

"Tan, jawab dong!" Desak salah satu wartawan.     

"Iya iya gue jawab,"     

"Nah.. Gitu dong,"      

"Gue tahu nyari berita itu juga sulit,"     

Tania lebih santai menanggapi para wartawan yang sedang' memburunya. Dia bahkan berdiskusi dengan mereka. di antara orang-orang Mahendra yang berusaha membuat kondisi aman bagi mantan artis drama series ini.      

"Jadi kamu suka sama CEO DM grup sejak SMA?" tanya salah seorang wartawan. Tadinya mereka sempat bertanya secara bersamaan tanpa gantian. artis drama series ini tidak mau menjawab kalau mereka berisik. Jadi sempat ada kesepakatan untuk pertanyaan satu persatu.      

"Iya lah! Dia ganteng, gue cewek normal, mata gue normal juga," sempat bercanda, "temenan deket pula. Emang gak boleh suka sama orang waktu SMA," Tania tidak pernah berubah, perempuan yang penuh rasa percaya diri, dan ceplas-ceplos dalam beberapa hal, tanpa beban.      

"Cintamu bertepuk sebelah tangan dong?" Tanya yang lain.      

"Emang kamu nggak pernah ngalamin itu? Di dunia ini satu juta- satu yang jalan cerita cintanya mulus-mulus aja sampai akhir. Benar -kan yang aku katakan?? yang terjadi padaku B aja -lah,"     

"Selama ini kasus ciuman dengan CEO, ternyata kamu juga yang mengharapkannya,"      

"dari mana sih kalian tahu apa yang aku katakan di ruang sidang?"      

"Potongan videomu sudah di ugah di media sosial," jelas salah satu wartawan.      

Disisi lain orang Mahendra mendekat membisikkan sesuatu, "Nona, Tuan Mahendra minta maaf," perasaan Tania sudah tak enak, "Sepertinya ada yang merekam diam-diam dan meng-share potongan video ke beberapa media sosial. Tuan Mahendra dan tim kami masih berusaha mencari tahu,"     

Tanpa banyak basa-basi Tania tidak lagi menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari rekan-rekannya. Dia mengikuti permintaan Para ajudan Mahendra untuk segera menyingkir dan memasuki mobil.      

***     

"Istirahat yang nyenyak, okey," dia tersenyum, membuat gerak lambat mengusap rambut Aruna yang sedang terbaring di ranjang pasien. Hendra memiringkan tubuhnya mengarah pada Aruna, setelah mengamati gadis ini beberapa saat. Lelaki bermata biru meraih handphone di nakas. Menggerakkan tubuhnya bangkit dan mulai merapikan pakaian yang dia kenakan.      

Ini adalah kebiasaan ketika dia akan pergi, "tidak lama, tapi jangan ditunggu," tanpa menoleh mata biru berjalan begitu saja.      

"kau melupakan sesuatu," protes Aruna.      

Ketika Hendra akhirnya menoleh, gadis ini memasang wajah ngambek mengemaskan.      

Hendra sempat terkekeh, menghela nafas terpaksa menuruti lagi permintaannya. Duduk kembali, lalu mendekati gadis ini.      

"Kurang dekat," pinta Aruna.      

"Lebih dekat lagi.." dia memerintah.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.