Ciuman Pertama Aruna

II-157. Simfoni Kiasan



II-157. Simfoni Kiasan

0"Karena besok jadwal sidang perceraian paling penting (mendatangkan saksi inti) aku tak bisa memejamkan mataku, andai aku masih bisa egois ingin rasanya kubawa dia pergi dari sini bahkan pergi dari semua hiruk-pikuk yang menghimpit kami," tutur Hendra seolah di mengerti dan di hayati Damar. Dulu dia juga ingin mengambil Aruna dan berakhir di bawa ke rumah ini sampai datangnya tragedi akan di tembak kepalanya. Semua itu buah dari pikiran yang sejenis keinginan Hendra sekarang.      

Tanpa kata pemuda ini memilih pergi, merelakan laki-laki yang harusnya dia benci karena merebut gadis yang lebih lama dia cintai untuk mereda rasa rindunya.     

Agaknya sang juara pertama tidak memiliki nasib sempurna. Dia sama saja, sedang dilanda keadaan yang tak mudah.      

Keluarga Aruna menginginkan perpisahan mereka, dan memaksa si pria yang jatuh hati pada istrinya untuk merelakan pernikahan mereka.     

Entah bagaimana cerita ini tidak jauh-jauh dari kasus yang di alami Amai-nya dulu. Di mana keluarga terhormat karena masih bau-bau pejabat. Memaksa anak muda yang menikah karena kenakalan remaja untuk berpisah.      

Keluarga pak Amar mendesak anak perantauan dari Padang merelakan bayi kecil dalam kandungan. Sampai berulang kali bertengkaran dan tekanan hebat datang silih berganti. Ujung-ujungnya si kecil Danu harus tersembunyi rapat. Lamat-lamat sang Amar sendiri yang tidak kuat, dengan istilah ingin meraih masa depan yang lebih baik dia pergi melanjutkan studi keluar negeri.      

Tentu saja usia muda mereka rentan sekali perkara ketika jarak sudah tak bisa lagi di kira pakai mode transportasi darat. Mereka terpisah atau di pisah? Bahkan misteri itu belum bisa di mengerti Danu Umar hingga hari ini. Yang dia tahu ibunya hancur sekali. Membentengi diri dengan menjadi pekerja keras, bersumpah ala perempuan patah bawa dia pasti bisa mengantarkan putranya menuju hidup yang lebih hebat dan lebih layak. Lupa menyembuhkan dirinya sendiri. Hingga minuman dan tembakau jadi pelarian ternyamannya.      

Akhir-akhir ini walau semua telah terurai menjadi kian baik-baik saja. Sampai-sampai pak Amar mulai berani membuat janji jumpa kala pergi ke Jakarta, termasuk sempat menawarkan secara mendesak dan berulang agar Umar (panggilan dari Amar) mau tinggal serta melanjutkan sepak terjang keluarga sang ayah yang konon kabarnya terpandang.       

Danu mencukupkan diri, tersenyum hangat menolak secara halus tapi pasti. Bagaimana pun juga sang Amai-lah pahlawannya, sepahit apa pun masa kecil hingga remajanya dilewati bersama perempuan yang berantakan tetap Amai hero sejati. Tak mungkin dia akan se-enaknya pergi meninggalkan Amai lalu bernaung di dunia lelaki yang baru akhir-akhir ini berani datang menemui putranya.       

Untuk itu dia akan ke Jogja, sejuta rencana tentang jadi ahli tata bahasa akhirnya terpilih sebagai jalan hidupnya.      

.     

Kini pemuda yang menamatkan diri melihat televisi tergelitik untuk menyelamatkan dua manusia yang sedang kalut di atas sana.      

Danu Umar bahkan sudah bisa memprediksi. Andai mereka akhirnya terpisah, dari membaca perjalanan hidup Amai-nya, dia tahu salah satu dari dua orang itu akan hancur berkeping-keping.      

Bayangannya kepingan yang paling berantakan bukan pada sisi perempuan melainkan laki-laki yang tertangkap mau mati saja tiap kali baru tiba untuk menemui istrinya.      

Ya, Hendra akan lebih hancur dari Aruna. Pria itu ketika di amati mendalam, ternyata lebih gila dari segala dugaan Danu Umar.      

Cara mencintai tak punya harmoni. Tak bisa di katakan lembut, kasar juga tidak. Dia mirip notasi yang meletup-letup ke segala arah sesuai aura yang di bawanya. Akan tetapi pada tiap ujung ritme simfoni kiasan Mahendra melambat, bahkan lebih lamat dari semua lagu sendu yang pernah di dengar sang pencinta dan pencipta lirik lagu ini.     

Jika dirinya, Danu Umar mencintai makhluk mengesalkan itu dengan mengusung ritme indah hingga berujung rela mengalah. Sedangkan pesaingnya tertangkap tak punya nada yang layak di nikmati, tapi Hendra punya sesuatu yang berbeda. Tekatnya seperti manusia yang siap mati.      

"Hah!" Danu Umar benci terhadap perenungannya kini.      

.     

.     

Ketika laki-laki itu menuruni tangga membawa raut muka sendu tak matching dengan perawakannya.      

Danu meminta Hendra berhenti sejenak.      

"Aku bilang tak perlu," sepertinya dia masih menolak bantuan Danu Umar.      

Ini terkait masalah yang sering mereka diskusikan di akhir perjumpaan, sebelum dia kembali bersama mobil mewahnya.     

" Yang berhak memutuskan aku mau mengungkap fakta atau tidak, diriku sendiri," ini suara Danu.      

"sudah kukatakan! aku tidak mau mendapat bantuan darimu!" sedangkan ini gertakan Hendra.      

Belum ada yang mengerti apa yang mereka pertengkaran -kan. Sepertinya masih berkaitan dengan jalannya sidang esok hari.      

"Bersaksi atau tidak akan jadi urusanku dan konsekuensinya pun akan menjadi bagian dari keputusanku. Kau tidak bisa menghentikan orang yang mau bicara bukan?" Danu Umar mendebatnya.      

"Sidang perceraianku, tanggungjawabku dan urusanku. Tidak ada yang boleh bicara se-enaknya sendiri," Hendra masih belum mau menyetujui permintaan Danu Umar.      

"Kita lihat saja besok, jika aku harus bicara. Akan ku ungkap fakta yang sebenarnya, orang lain  perlu tahu dan mengerti kejadian yang asli," tampaknya gertakan Hendra tak begitu berarti bagi Damar. Pemuda ini punya jalan pikirannya sendiri.      

"Mengertilah! aku tidak begitu suka kata-kataku ini, tapi.. Jujur, aku tidak ingin orang memandangmu negatif. Aku tahu kau yang sekarang tak begitu tertarik dengan dunia entertainment, tapi penggemarmu masih banyak. Aku tak mau menyelamatkan pernikahanku dengan menghancurkan dunia orang lain," Mata biru memandang tajam pemuda yang kini menyibak rambutnya, "aku tidak mau punya hutang budi padamu!" ungkapan Hendra kali ini lebih kepada canda agar suasana tidak kian menegang,  bisa juga dia demikian.     

Damar mencukupkan diri mengamati pria yang memilih langkah pergi.      

"Aku sudah punya rencana, mungkin setelah ini kau tidak akan menemukanku di Jakarta."     

Kalimat ini mampu menghentikan gerakan mata biru.      

"Aruna mencintaimu melebihi yang kamu pahami, atau ini hanya kalimat kliseku sebagai laki-laki yang memilih kalah," kata-kata Danu menggerakkan tubuh Mahendra, mata biru memutar arah pandangannya, "Aku mau menjadi laki-laki yang baik hati, mengantarkan perempuan yang kucintai menuju kebahagiaan yang dia inginkan,"     

"Hah!" Mahendra gerah mendengar kata-kata pria yang terkesan manis secara nyata.      

"Izinkan aku melakukannya,"     

"Andai Aruna tahu, aku yakin dia tidak akan setuju,"      

"Dirundung bukan masalah besar untukku, aku masih punya daya untuk memikat banyak wanita,"      

"Hais!" Hendra spontan kesal. kata-kata congkak pemuda di hadapannya konsisten menyebalkan, padahal kondisi saat ini mereka sedang berdebat dengan tema berat.      

"Pikirkan matang-matang sebelum bertindak, sekali kamu salah bicara. Bukan cuma kamu yang akan buruk di mata orang lain, tapi istriku juga," Hendra merendahkan suaranya. Mengajak si Padang untuk merenungi sekali lagi.      

"Kau lupa aku pandai merangkai kata, Ah' kalau aku mau aku bisa kembali bikin istrimu luluh padaku. Sayangnya aku punya moral,"      

"Haah!" Hendra membuang nafas, dan benar-benar pergi meninggalkan pemuda yang tersenyum resek kepadanya.      

.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.