Ciuman Pertama Aruna

II-142. Gontai



II-142. Gontai

0"Nana.. Nana.. kenapa kau pergi.. kita main lagi yuk..!"      

"Tapi ini sudah sore Hadyan.. aku harus kembali ke yellow house,"      

"Apa aku boleh ikut?"     

"Rumahmu -kan di sini?"      

"Aku ingin main sama Nana terus.."     

"Em.. kalau malam kita harus tidur, nggak boleh main,"     

"Kalau gitu kamu tidur denganku, aku mau sama Nana terus,"      

"Pak sopir yang mengantarku sudah menunggu,"      

Memori itu terngiang dalam mimpi perempuan yang kini pelipisnya ter basahi oleh keringat.       

"Kamu sembunyi dulu di almari nanti aku panggil kalau aku sudah mengusir pak sopir,"     

.     

"Ah'," mata bulat membuka lebar, buru-buru meraba nakas mencari air minum lalu meneguknya.      

***     

Tap Tap Tap     

Ini suara lari, lari seorang perempuan berhijab menaiki tangga sambil meneriakkan panggilan.      

"Aruna.. Arunaa..." Tampaknya dia tidak melihat Mahendra yang juga menunggu kedatangan perempuan yang sedang Dea cari. Dea langsung saja menuju pintu tempat tinggal sahabatnya, mengetuk berulang-ulang menimbulkan suara "Brank! Brank!" pukulannya cepat tanpa ritme, cukup mengganggu.      

"Aruna.. kenapa kau tak angkat teleponku.. balas WA-ku! Bikin khawatir saja!" begitu gadis ini meneriaki rumah kosong.      

"Aku juga menunggunya, dia belum pulang!" Hendra mendekati Dea yang terlihat panik.      

"Oh! Hendra??" Dea tampak terkejut, sejujurnya dia lebih terkejut lagi tatkala mendengar kata 'belum pulang'.      

"Tunggu.. tunggu.. sejak kapan anda di sini?" demikian pertanyaan memburu Mahendra.      

"Sudah aku bilang jangan lari-lari! Kau bisa jatuh!" ini suara yang tidak asing, seorang laki-laki baru selesai menaiki tangga.      

"Surya?!" Hendra mendapati rekan kerjanya yang sekaligus sahabatnya.       

"Sebentar jawab saya!" terlihat jelas ekspresi kepanikan Dea, dia mau pertanyaannya segera terjawab.      

"Em.. dari jam delapan,"     

"Jadi begitu?? Artinya dia belum pulang sama sekali sejak siang!"     

"sejak siang?"      

"Iya.. sore tadi WA dariku sama sekali tidak terkirim, Ah' pasti dia di paksa melepaskan Surat Ajaib dan Aruna bersikukuh tidak mau.. aduh.. bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk? Ups?! Maksudnya kurang baik" kalimat panik Dea meluncur begitu saja.     

 "Ini sudah jam berapa?! Jam berapa INI!?" kalimat minta jawaban ini pun Dea lempar dengan cara mengesalkan.  Mengesalkan, karena suaranya naik turun tidak terkendali. Menarik jam tangan Surya sembarangan untuk melihat jam tangan monolog yang melingkar pada pergelangan kekasihnya. Tak peduli bahwa di sampingnya  ada pria yang lebih khawatir.      

"Apa?? Sudah lebih dari jam sepuluh?? Duuh aku bilang juga apa!! Pak Surya sih! Suruh aku tenang-tenang terus! Wah.. gimana ini!" Dea bukan lagi panik gadis ini kacau. Sempat mengabaikan pertanyaan Mahendra: "terakhir kali bertemu Aruna di mana? Siapa yang menginginkan Surat Ajaib?"     

"Dea.. tenang. Aku akan mencarinya. Kendalikan dirimu! Jawab aku!" Suara cucu Wiryo mulai serius. Melangkah lebih dekat pada kekasih Surya.      

"Dengar!" Lelaki bermata biru meminta Dea mendengarkan baik-baik ucapannya, "Kapan terakhir kali kamu lihat Aruna?"     

"Di kampus, waktu jam istirahat, dia di bawa pergi Rey,"     

"Siapa Rey?"     

"Teman kak Anantha, yang ingin menanam modal besar untuk Surat Ajaib,"      

"Bukankah orang itu bernama Gibran?"      

"Bukan.. namanya Rey,"     

"Naik mobil?" Tanya Hendra. Dea mengangguk.      

"Kau ingat pelat nomornya?"      

"Enggak.." gadis berhijab mulai berlinang air mata, bingung.      

"Ah' sayang sekali," Surya turut berkomentar, mengusap hijab Dea menenangkan calon istrinya.      

"Beritahu aku seperti apa ciri-cirinya!" Hendra masih memburu keterangan dari Dea. Walaupun terlihat tenang, pria ini sejujurnya sedang dilanda rasa khawatir teramat dalam.     

"Dia.. wajahnya.. campuran, seperti keturunan Jepang, rambut halus berbelah tengah, eh' sebentar!" gadis ini mengeluarkan handphone dari dalam bag-nya. "Rey sering bersama Kak Anantha," pasti ada di Instagr*m milik kakak Aruna. Tak butuh waktu lama gadis berhijab menemukan wajah seseorang yang di maksud. Dalam satu feed foto bersama kak Anantha dan beberapa orang lain.      

"Yang mana?" tanya Mahendra setelah Dea minta mata biru memperhatikan  handphonenya.     

"Yang ini, pakai pakaian abu-abu."      

"Bukankah namanya Gibran?"      

"Bukan dia Rey," Dea bersikukuh. Membuat cucu Wiryo merasa ada yang tidak beres.      

"kau bisa pulang sendiri -kan Dea?" ini suara Mahendra.      

"Aku bisa mengendarai mobil kalau pak Surya mengizinkan,"      

"Oh.. tidak..tidak tidak, kualitas berkendaramu masih buruk!" surya yang mengajari Dea menyetir mobil, gadis ini belum lulus versi Surya.      

"Sudah! Berikan kunci mobilmu! Kau ikut aku!" Permintaan Mahendra tidak memberikan waktu Surya untuk berpikir, pria yang sudah terbiasa menuruti bos yang sekaligus sahabatnya ini terpaksa menyerahkan kunci mobilnya pada Dea. Sambil mendesah kan ungkapan pasrah, dia lekas memburu lari Mahendra menuruni tangga. Lalu berteriak keras "Dea.. ingat! Hati-hati! Kalau terjadi sesuatu hubungi aku," begitu besarnya rasa khawatir pria ini pada calon istrinya.     

.     

Mahendra meminta Surya mencari informasi tentang foto Rey kepada Pradita.      

Dan meminta Hery buru-buru menuju kantor polisi.      

"Hilangnya nona Aruna belum 1 kali dua puluh empat jam Hendra, kau belum bisa melaporkan berita kehilangan," demikian akal sehat Surya memberi penjelasan.      

"Aku tidak peduli!" Balas Hendra mulai tak sabar, "Hery pacu mobilnya lebih cepat."     

"Ya.. Tuan,"     

"Tunggu! Tepikan mobilnya," pinta Surya.      

"Apa maksudmu Surya," cucu Wiryo mulai kesulitan mengendalikan emosinya.      

"Lihat! Lihat ini," Surya menyerahkan Handphone yang berisi dua foto serupa. Rey yang berada dalam satu bingkai foto dengan Anantha dan Rey Barga putra dewan Tarantula.      

Pria bermata biru lekas-lekas membuat panggilan kepada Pradita, mendesak lelaki itu segera menyisir ke mana perginya pria ini membawa Aruna.      

Bukan sekedar menghubungi Pradita. cucu Wiryo juga membuat perintah lain yang lebih mengkhawatirkan. Dia minta sekelompok anak buah terbaik Raka untuk turun melakukan pencarian pada tempat-tempat yang di sebutkan Pradita.      

Dan sebuah tempat yang Pradita sebutkan sebagai klub malam milik Heru Admojodjo ialah  tempat terakhir yang di kunjungi Rey barga bersama istrinya. Sudah dapat di bayangkan bagaimana pewaris tunggal Djoyodiningrat menginstruksikan tim Raka harus sampai di sana sebelum dirinya.      

.     

.     

"Rey.. aku ke kamar mandi dulu," Aruna mengerutkan keningnya. Dia baru mendapatkan air mineral, sayang pusingnya belum menghilang. Rey sudah di minta menanggalkan tembakaunya, sayang sekali pria itu masih asyik menghisap batang rokok bernikotin, begitu juga lawan bicaranya. Hanya tanggapan, "iya, sebentar lagi, nunggu ini habis dulu."      

kalimat itu membuat Aruna pasrah dan di satu sisi gadis ini kian mual, bau rokok bercampur alkohol terlalu asing baginya. Terlebih perutnya kosong.     

Pada langkah gontai si gadis kelaparan ingin mencari udara dan mencuci mukanya, dia bingung dan linglung ke mana Arah kamar mandi.      

Baru saja istri Mahendra memutuskan menuju ke arah kanan, langkahnya terhenti sebab ada seorang pria yang lengkap dengan penutup muka dan hoodie hitam membungkus dirinya hingga kupluk kepala. Pria misterius itu sengaja menabrakkan sebagian tubuhnya pada Aruna.       

"Nona ikut aku!"      

.     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.