Ciuman Pertama Aruna

II-149. Semburat Merah



II-149. Semburat Merah

0"Kemana dia?" Mata biru memejam, menenggelamkan dirinya beserta seluruh kepalanya ke dalam bak air. Mungkin ini caranya mendinginkan isi kepala yang sejak semalam di ajak bekerja keras. Pada gerakannya muncul membelah permukaan zat cair yang sempat tenang, tangan kirinya meraba tepat handphone berada. Sedangkan tangan kanan ikut spontan menyibak ke belakang rambut coklat keemasan, menghasilkan bulir-bulir air menetes merambati tubuhnya.      

Hendra kembali membuka mata birunya, tak secemerlang biasanya. Mata itu semalam sudah di ajak bergadang, dua bulatan yang warnanya kontras dengan rambut keemasan kini sedang semburat merah.      

[Surya, minta Dea memberitahu Anantha. Aruna belum pulang, terakhir di bawa Rey. Aku ingin tahu apa reaksi Anantha dan apa alasan yang akan di gunakan Rey] Di ujung sana Surya lekas mengiyakan permintaan atasannya.      

[Gantikan aku dalam pertemuan donasi, aku mau Pengki tertangkap!] Sedangkan permintaan kali ini di tolak Surya.      

Sahabatnya bilang dia belum memiliki mental sejauh itu untuk ikut andil dalam misi yang diusung Hendra dan kumpulan penghuni lantai D. surya masih syok dengan kejadian semalam. Dirinya tidak sanggup untuk kembali merasakan getaran hebat melihat betapa ngerinya perilaku Hendra. Surya menyadari dirinya manusia 'biasa saja' yang hidup seperti kebanyakan orang.      

Hendra memakluminya, mengubah mandat tersebut untuk Andos. Sejenak memeriksa galeri foto di Handphone-nya, menamatkan pengamatannya pada sketsa wajah gadis yang hilang.      

"Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan tanpa jawaban.     

Sejenak kemudian kembali membuat panggilan. Kali ini untuk Dr. Tio dan Raka, Hendra sedang bergulat dengan kecepatan. Dia sedang menyusun rencananya sendiri. Meminta orang Raka membantu, Dr. Tio mengawalnya menjadi lelaki tidak tahu diri.      

Jika menggoyangkan fondasinya tidak bisa maka tiang-tiang penyangga yang harus di goyahkan. Mangsa Mahendra kali ini  masing-masing putra Tarantula beserta orang tua mereka. Dia harus menggerogoti dari luar satu persatu.      

Dia bahkan meminta Thomas memungut butiran-butiran saham tak berarti dari pecahan-pecahan kecil perusahaan di bawah naungan Tarantula. Ternyata Thomas mengatakan tidak perlu, kakeknya sudah melakukan itu jauh-jauh hari.      

Hendra berdehem dan tenggelam lagi ke dalam bak mandi. Sampai perutnya keroncong lalu bangkit.      

.     

"Nana? Kau masih di sini?" Hendra mengerut kan alisnya, melihat Nana setia menanti di dalam kamar. Pria ini membuka mata lamat-lamat, mengapa perempuan ini kian mirip Aruna?      

Oh' kali ini rambutnya di kucir kuda mirip istrinya.      

"Iya.. aku ingin menemanimu makan,"      

"Heem..  kau benar-benar menyerupai istriku,"     

"Em? Apa?" pura-pura tidak dengar, memilih sibuk membuka penutup hidangan untuk Mahendra.      

***     

"Hai' Itu garam!"      

"Oh iya" mencolek sedikit lalu menjilat ujung jarinya. Damar salah lagi.      

"Bagaimana ini? makanannya hancur semua hehe" sudah ketiga kali dia gagal total. Sarden bau sangit, nugget gosong dan yang paling parah, sayuran harusnya di finishing dengan sedikit gula biar sedap malah kemasukan garam banyak. Jujur! Tak layak makan.     

Aruna hanya bisa tersenyum, melihat rambut gondrong Damar yang terikat sembarangan kembali terurai dengan tangan berlepotan serta ekspresi penuh penyesalan. Dia sudah berjuang keras, semampunya.      

"Minimal tidak di racun. Aku rasa salah satu dari kita tidak akan di temukan berbusa di mulut," sarkasme Aruna melihat kreativitas Damar yang tidak kreatif (banget).     

Tiba-tiba pemuda di hadapan Aruna menjatuhkan spatula di tangannya, kejang-kejang seperti orang kesurupan. Otomatis membuat gadis ini tertawa terpingkal-pingkal.      

"Kau salah makan apa?"      

"Keracunan elemen perasaan,"      

"Jangan gila! Haha,"      

"Gitu dong tertawa. sedih mulu dari tadi,"      

Gadis ini tersenyum, sayangnya berubah kikuk.     

"Mikirin apa lagi sekarang?" Damar berujar sambil mendekat.      

"Aku pasti merepotkan ya?"      

"Sangat!"      

"begitu ya.. maaf,"      

"Iya! Tolong jangan di ulangi," dan lagi-lagi pemuda itu berperilaku aneh, menengadahkan kedua tangannya. Aruna bingung, tersudut meletakkan kedua tangannya di atas telapak tangan Damar.      

Kian bingung ketika telapak tangan itu digenggam oleh Danu Umar, lalu ditarik mendekat dan sebuah kecupan mendarat di pelipis Aruna.      

"Damar!?" dia terkejut bukan main dengan kelakuan temannya kali ini.      

"Hehe," pemuda itu tertawa renyah, mengatakan bahwa yang barusan merupakan imbalan untuk kerja kerasnya menyiapkan makan siang.      

Aruna tidak bisa marah, hanya menekuk mulut lalu menunduk.     

.     

"Kau tidak suka?" Tanya Damar.      

"tidak ada yang lain, hehe," Gadis ini tersenyum, "dinikmati saja."     

"bukan makanannya. Tapi, kelakuanku tadi?" pertanyaan ini tidak terjawab. Aruna memilih menyibukkan diri, menyendok makanan di piringnya.      

"Maaf, ya," pemuda itu menatap Aruna yang enggan melepaskan tatapnya pada piring saji.      

"Harusnya aku tidak bermain-main seperti tadi, Ah' kenapa kita jadi canggung," Damar mencoba mencairkan suasana.      

"Aku hanya sedang berpikir," akhirnya Aruna mengimbangi celoteh pemuda yang mengharapkan balas kata dari rona kemerahan.     

"Bolehkah aku berada di sini lebih lama? Tapi, kalau.."      

"Tentu, silakan saja. Aku selalu ada untukmu," Damar memotong kalimat Aruna.      

"Sayangnya tidak ada imbalan yang bisa aku tawarkan,"      

"Kenapa kamu bicara seolah aku orang lain? Oh' karena kenakalanku tadi?" Damar menatap gadis itu sambil mengerut kecewa. "Percayalah aku sedang bercanda tadi,"      

"Aku hanya menyesal, sejak awal aku selalu melibatkanmu dalam hidupku yang.. (dia menangis)"      

"Ayolah, jangan menangis, ini menyiksaku," Damar memeluknya untuk ke sekian kali.      

***     

Bip!     

Sebuah foto di terima Mahendra.      

[Bukti terakhir yang kami temukan] demikian Raka mengirimkan pesan untuk Mahendra. Sebuah gambar sepasang  sepatu yang terlepas pada salah satu talinya.  Tanda Aruna  mungkin melepasnya cepat-cepat hingga koyak, atau jangan-jangan terjatuh sampai benda tersebut rusak.      

[Tidak ada saksi mata?]      

[Kami sedang berupaya melanjutkan penyidikan, mohon menunggu]     

[Aku akan ke sana] Hendra buru-buru menyelesaikan makannya dan kembali membuat panggilan. Meminta Hery menyiapkan mobil.      

***     

"Sekarang aku tidak suka pantai, kenapa kau membawaku kemari," Gelisah Aruna ketika roda kursi yang menopangnya tidak mau bergerak lagi. Benda berbentuk lingkaran tersebut terbenam ke dalam pasir pantai.     

"Kenapa? Bukankah kamu menyukai senja dan pantai?"      

"Terakhir kali aku melihat senja, sejak hari itu, aku tidak menemukan matahari dalam hidupku,"      

_Hidupku semakin gelap dan suram, malam tidak mengizinkan fajar datang_     

"tenanglah, di tempat ini tidak akan kamu temui matahari tenggelam, pantai ini menghadap ke Utara bukan barat," canda Damar, lagi-lagi menghasilkan tawa.      

"Kau tidak akan memberi kabar kepada siapa pun?" Damar mulai menghawatirkan keputusan Aruna.      

Apakah gadis ini mulai belajar egois, karena lelah? Apa yang sebenarnya terjadi? Banyak tanda tanya di dalam otak pemuda ini. Akan tetapi dia enggan untuk bertanya. Sebagai bentuk rasa menghargai kehendak Aruna.      

"Aku tidak punya Handphone,"      

"Kau bisa pinjam milikku -kan? Jika kamu mau," tawar pemuda jangkung ini, duduk di atas pasir tepat di samping kursi roda Aruna terparkir.      

"Kenapa kamu sangat baik? Apa kau masih menyimpan harapan padaku," pertanyaan Aruna terdengar santai. Hanya kedengarannya, sebab keduanya tahu ini bukan sekedar pertanyaan. Kalimat tanya Aruna ialah konfirmasi mendasar terhadap motif Danu Umar Chaniago. Pria yang cintanya bertepuk sebelah tangan setelah lebih dari tiga tahun dia mengharap.      

"Aku bukan lelaki munafik, aku masih mencintaimu hingga sekarang. Tapi jangan khawatir, aku sudah mencukupkan harapanku. Aku percaya jatuh cinta tidak harus memiliki," Aruna tertegun dengan jawaban Damar, menatap pemuda yang melempar penglihatannya ke arah laut tepian ibukota yang tak begitu menawan. Namun, embusan anginnya mampu mengibarkan rambut Damar yang kini memanjang sampai bahu.      

"Em.. boleh aku bertanya?" Damar menoleh kepada Aruna yang ternyata mengamatinya.      

"Silakan," jawab singkat si rona kemerahan yang kini benar-benar memerah, di timpa cahaya cakrawala semburat merah.      

"Mengapa kamu masih enggan kembali kepadanya?"      

"Entah -lah,"      

"seorang yang jatuh cinta akan menyerahkan dirinya secara utuh?" Damar sedang  mengenang keadaannya dulu, "dan suka rela," serta memahami keadaannya saat ini.      

"Ada orang yang berkenan menjadi merpati, di kurung dalam kandang sempit sesak pun dia akan tetap bahagia asal bersama pasangannya. Sedangkan aku, Aku adalah Cikalang. Hidupku di sana (Aruna mengacungkan telunjuknya ke langit di atas lautan) di awan-awan, terkurung ialah siksaan mengerikan,"      

"Aku pernah membaca buku, bahwa tubuh ini juga belenggu. Kau mau mendengar cerita yang kubaca?"     

.      

.      

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.