Ciuman Pertama Aruna

II-171. Warna-warna Pastel



II-171. Warna-warna Pastel

0"Aku hanya ingin menyelamatkan Adikku, aku tahu tanggung jawabmu sebagai pewaris tunggal keluargamu bukan perkara mudah," pria ini mengunci Mahendra di dalam bola matanya. Tanda bahwa dia sedang serius.     

"Tradisi kalian menjaga para perempuan sedikit memprihatinkan. Sedangkan aku mengenal adikku dari kecil melebihi ayahku. Aku kira dia akan bahagia ketika dibebaskan, aku lupa gadis dewasa bisa jatuh cinta," Anantha terlihat tersenyum, dia merasa bersalah yang sekaligus tertangkap manis di mata Hendra.      

"Kalau kau, ingin hidup dengan adikku, jangan sekali-kali memaksakan keadaanmu. Pastikan dia sendiri yang memilihnya, sebab paksaan tidak akan menghasilkan kebahagiaan. Aku ingin adikku sukarela, jadi dia akan tetap bahagia, itu inginku selama ini. Si kecil, mutiara bagiku, tidak boleh ada yang menggoresnya" kalimat terakhir Anantha demikian dilematik untuk pewaris tunggal Djoyodiningrat.      

***     

[Sekarang]     

"Ini aku yang sebenarnya. bisa melukai siapa saja. Kecuali kau, perempuan yang jadi kelemahanku,"     

"Jadi yang di handphone itu.." belum usai Aruna bicara.      

"Aku ingin mengelaknya. Sayang, aku tak bisa berbohong. Fakta, terlanjur kau temukan,"      

Deg'     

"Bungker itu ada?" tanya Aruna.     

"Bungker??" Ini Hendra.      

"Tempat yang kabarnya tidak akan bisa di temukan, tapi ada. Siapa pun yang di bawa ke sana tak mungkin bisa kembali, kecuali di kembalikan," telisik Aruna menghasilkan kerutan di dahi Mahendra.      

"Harus -kah aku menjawabnya?"      

"Harus! Agar aku bisa mempercayaimu dan menyerahkan diriku padamu,"      

Pria ini mundur: "Maaf aku tidak bisa,"     

"Butuhku hanya penjelasan,"      

"Butuhku hanya di percayai tanpa pertanyaan,"      

"Yang seperti itu tak akan ada,"      

"Benar kata kakekku pilihan untuk perempuan kami hanya dua, tenang mengikuti aturan yang sudah kami buat agar mereka aman dengan ikhlas tanpa banyak bertanya seperti oma Sukma. Atau pergi sesuka hatinya,"      

"Apa salahnya bertanya?" mereka mulai berdebat, suara Aruna bergetar tak terkendali kali ini.     

"Aku punya banyak tanggung jawab, harusnya kamu sudah mengerti ini Aruna! Tidak semua  hal bisa aku beberkan! cukup percaya padaku," lelaki bermata biru menjulurkan tangannya, "Kamu bukan gadis muda lagi. Kau harus berusaha memahami ini," Hendra tak lagi memanggilnya sayang dan itu menyakitkan.      

"Percayalah padaku?!" . Meminta Aruna mendekat, menawarkan kepada gadis ini agar berkenan meraih telapak tangan yang ia suguhkan.     

"Aku belum yakin aku bisa menjalani hidup seperti mommy Gayatri dan Oma Sukma, Hen.." sejujurnya tiap perempuan hanya butuh di dudukkan, di ajak bicara lebih dalam. Sayangnya itu bukan Hendra, gadis ini lupa Hendra agak berbeda dalam hal mencapai kemauannya.      

"Ya sudah. Datanglah padaku kalau kau sudah siap, dan sudah mau menyerahkan dirimu seutuhnya. Ini penawaran ke tiga kalinya dariku. Kau tahu artinya apa? Tidak ada penawaran berikutnya," Hendra benar-benar berbalik melangkah meninggalkan putri Lesmana.      

Gadis kalut ini merobohkan tiang infus yang tadi tergenggam, sampai terlepas dari punggung tangannya. Menarik perhatian lelaki yang menjauh darinya.      

Dia hanya memerintahkan ajudannya untuk membantu Aruna dan tetap menuruni tangga hingga punggungnya menghilang.      

***     

[Dua Bulan Kemudian]     

Pagi ini taman sebuah rumah yang ter bilang mewah di hiasi bunga-bunga aneka ragam, empat kursi dan sebuah meja terhias sempurna tepat di tengah-tengah. Lengkap dengan sepaket peralatan shalat bersama pigura besar lambang mahar.      

Warna-warna pastel tertangkap demikian indah pada tiap pernak-pernik hantaran, berjejer rapi di bawa rombongan dari mempelai laki-laki.      

Sebenarnya rumah ini ialah rumah yang di siapkan sang laki-laki, kabarnya akan langsung di tempati bersama manten perempuan.      

Setelah para undangan yang terdiri dari keluarga, rekan kerja dan sahabat dekat mengisi kursi-kursi kosong. Pengantin perempuan melangkah keluar, berbalut gaun kebaya modern menjuntai membentuk lingkaran lebar menutupi seluruh tubuh, warna peach soft menjadi pilihannya.      

Sejenak seluruh tamu undangan berdiri menyambut kedatangan perempuan yang hari ini kecantikannya naik berlipat ganda. Langkah kaki gadis berhijab ini turut di dampingi para pengiring pengantin yang tak kalah cantiknya, Aruna, Lily dan Laras termasuk kak Andien berbalut gaun memanjang hingga di bawah lutut.      

Mereka membawa bunga putih di tangan yang kemudian tertawa melihat pengantin pria membeku kaku seolah tak bisa bernafas seketika. Saat  Dea akhirnya berdiri di dekatnya. Tawa para pengiring pengantin ini sampai menular ke seluruh tamu undangan mereka ikut-ikutan senyum melihat pak Surya begitu grogi merapikan duduknya berkali-kali, termasuk beberapa benda yang berada di atas meja.     

Padahal tiada kesalahan dari peletakan benda-benda di hadapannya, sampai-sampai pengantin perempuan tersebut malu melihat polah tingkah calon imamnya. Menepuk  ringan tangan si pria  supaya lebih tenang, dan geligi tawa lirih hadirin tak bisa terhindarkan lagi.      

Pak Surya dan Dea menikah hari ini. Semua bersuka cita kecuali hati seorang wanita, gadis merona yang padam sedang mengamati sekitar memastikan dapat berjumpa seseorang.      

Namun, yang di cari tidak tampak sama sekali.      

_Bolehkah aku menginginkan perjumpaan ini?_ berulang kali dia berbisik kepada dirinya sendiri. Merunduk gelisah dan layu. Ketika prosesi pernikahan yang sempat di ulang satu kali lagi di karenakan prianya terlalu grogi, telah terlewati. Ucapan 'Sah' menerbitkan senyum cerah semua wajah.      

Tapi tidak untuk wajah gadis ini. Perempuan yang menunggu seseorang datang, begitu kalut hingga air muka dan air matannya ingin jatuh saja.      

Dua bulan ini dia sudah berusaha sekeras-kerasnya melewati hari-hari tanpa nama Mahendra, sibuk seperti orang gila. Kuliah, kerja dan selebihnya membenamkan banyak waktunya mengajar sekaligus menjadi relawan di rumah belajar. Belum lagi berbagai kegiatan sosial yang dengan sengaja di ikutinya.      

Dia mencari cara untuk menemukan rasa damai dan bahagia. Sayang, tetap ada yang kosong. Hatinya terlanjur di bawa seorang lelaki sebagian dan belum juga di kembalikan.      

.     

.     

Hingga pada titik dia tak berharap lagi.      

Aruna mendapati Lily berlari kepadanya dan menarik lengan meminta dirinya berbalik. Larinya sahabat berkacamata ini mengabaikan  permintaan pengantin berfoto bersama.     

Sebuah mobil mewah baru saja terparkir. Sejenak berikutnya bersamaan dengan langkah sekelompok pengawal ber -jas hitam dengan lubang telinga tertutup sebelah oleh alat pendengaran. Lelaki bermata biru terbalut coat gelap berjalan di memimpin dan terlihat tergesa-gesa.      

Aruna hanya bisa melihatnya dari kejauhan saja, ketika pria di ujung sana menepuk pundak sahabatnya kemudian memeluk sekejap. Mereka terlihat saling bercakap-cakap, lalu meminta para ajudan untuk berbaur mengambil hidangan. Sedangkan mata biru masih melanjutkan tawa ringannya bersama Surya.      

Tidak menyadari ada gadis yang menatap dari kejauhan sambil menahan duka nestapa akibat rindu luar biasa besarnya. Murung merasa terabaikan, Hendra tidak ada tanda-tanda mengarahkan pandangannya ke sudut lain kecuali berbicara dengan Surya.      

"Kau tak ingin menemuinya?" ini Dea yang tadi mengajak teman-temannya berfoto bersama yang kemudian sengaja di urungkan,  dengan niatan mendekati Aruna. Untuk berbicara mengenai kemurungan yang melanda gadis ini.      

.     

|"Kau tidak ingin menemuinya? Menemui suamimu?"|     

.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan fansbase CPA, YBS, CPLM, IPK     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.