Ciuman Pertama Aruna

II-156. Relate!



II-156. Relate!

0"Aku akan pergi dari Jakarta," kata Danu menyingkirkan tangan Aruna lalu kembali memainkan karya Sebastian Bach.      

"Bagaimana dengan kuliahmu?"     

"Jangan kau pikir aku tidak kuliah dengan benar seperti sebelum-sebelumnya,"      

"Kau bilang memperpanjang cutimu?"      

"Tidak jadi,"      

"Lalu?"      

"Aku bahkan sudah menyelesaikan skripsiku,"     

"Benarkah?"      

"Kisah lelaki kecil pemain piano adalah bagian dari skripsiku," pemuda ini menangkap ekspresi keheranan Aruna, "Aku penulis yang melahirkan lima buku, tiga di antaranya trilogi kisah yang sama, artinya skripsi bagiku bukan apa-apa, hanya soal niat saja," lengkapnya memadamkan ekspresi ke tidak percaya-an Aruna.     

"Begitu ya . . Lalu kamu akan pergi ke mana? Jangan bilang entah -lah!" Dulu kala Damar meninggalkan suatu tempat dan akan pergi ke tempat lain demi menghindari Amai-nya kalimat yang paling sering di perdengarkan ialah kata berakhiran 'entah -lah'.      

"Kali ini aku punya rencana," Aruna masih tidak percaya, "jangan curiga!" dia sempat terkekeh menuduh Aruna yang masih belum yakin bahwa si manusia santai ini punya tujuan hidup berarti, "aku sudah beranjak dewasa, kulihat kamu juga," dia memalingkan muka menangkap Aruna yang sedang penasaran padanya.      

"jangan mengalihkan pembicaraan, banyak hal yang perlu kamu perbaiki di kampus," Aruna langsung memangkasnya.      

"Hem..," Danu berdehem, "banyak pula yang perlu ku perbaiki sebagai lelaki yang memiliki hati," lalu tersenyum bodoh. Berniat menghentikan percakapan akan tetapi Aruna menatapnya dengan serius.      

Keseriusan yang menyiksa, "baiklah akan aku jelaskan rencanaku, jangan melihatku dengan cara seperti itu, atau Aku akan minta pelukanmu," dia masih suka gombal.      

"Cih!" desahan Aruna mengiring tawa ringan berikutnya.      

"Aku harus menjauhi bakteri berbahaya," bicaranya aneh lagi, tapi bagi Aruna hal tersebut tidak jadi masalah.     

Gadis ini sudah terbiasa.      

Suatu ketika bahkan dia pernah di persepsikan sebagai 'bunga anggrek tak tahu diri' sudah menumpang di batang tiba-tiba  terpaksa pergi. Padahal luka sayatan dari cara mengambilnya saja masih ternganga. Ah' Aruna sama sekali tidak paham kata-kata implisit mahasiswa sastra yang terlalu luar biasa ini.      

Jadi 'bakteri' lebih mudah di mengerti dari pada Anggrek dan sayatan di batang. Aruna mendengarkannya dengan sesama.      

"Aku sempat berpikir akan memperbaiki nilai-nilai beberapa mata pelajaranku yang kurang oke, sayangnya setelah ku pikir-pikir, apalah arti sebuah nilai kalau karyaku saja sudah menggambarkan kapasitas diriku, toh nilai standar yang aku dapatkan hanya karena jarang masuk saja. Jadi aku tidak akan memperbaikinya, kemungkinan aku akan langsung ke Jogja," Damar bermonolog panjang lebar.      

"Kenapa ke Jogja?"      

"Melanjutkan kuliah sastra," singkat Damar, masih enggan melepaskan permainan tangannya dari not-not piano.      

"Jadi kau yakin bisa lulus tahun ini??"      

"Teman-teman seangkatanku sudah mulai wisuda bahkan sudah dari tahun kemarin," Damar kakak kelas Aruna, "aku ikut kloter terakhir tahun ini," suara permainan pianonya kian melembut.      

"Aku yakin kamu bisa jadi pria hebat," puji Aruna jujur dari dalam hatinya.      

"Hee.." si Padang tersenyum seiring tangannya berhenti menyentuh not-not piano, dia bergerak merengkuh tubuh Aruna dari samping, memeluknya.      

Gadis bersuami ini mengerjap-ngerjapkan mata, dia ingin mengelak. Sayangnya rasa iba sudah turut masuk mempengaruhi perasaannya, larut teraduk oleh mantra-mantra pujangga. Aruna membiarkannya, memberikan jeda istirahat sejenak.      

Gadis ini mengerti Damar sudah menyatakan diri akan mundur dari pertempuran antar dua lelaki yang sama-sama menghasratkan dirinya.      

Walaupun Aruna masih belum mengerti, bagaimana itu semau bisa terjadi? Dia hanya merasa pemuda di sampingnya layak mendapatkan jeda.      

"Apa aku boleh bertanya padamu?" tanya Damar dan Aruna mengangguk.      

"Jawab jujur."      

"Ya,"     

"Kau pernah menyukaiku?"     

"Bahkan aku pernah membayangkan akan menikah denganmu,"      

Damar terbungkam, melepaskan pelukan.      

"Aku pernah membayangkan banyak hal, salah satunya mungkin saja kita akan menikah dan mungkin saja akan mirip dengan ini keadaannya," Aruna berceloteh seiring pemuda itu menatapnya lebih santai.      

"Setelah kujalani tampaknya tak seindah bayangku," kalimat ini terlempar dengan bumbu senyum menyeringai.      

"Maksudmu??"      

"Ku pikir punya suami tak bisa masak akan membuatku kian memesona, soalnya bisa berlagak penting, tiga kali dalam sehari. Kenyataannya akan jadi repot kalau salah satu sakit,"      

Damar tertawa mendengar penjelasan Aruna. "Relate!" Bahasa muda-mudi milenial mengusung arti 'sesuai kisah' atau 'sejenis dengan kenyataan yang di alami'     

"Terima kasih," katanya setelah tawa lepas itu terhenti. "Singgahmu sudah membuatku kaya,"      

"Maksudnya??" lagi-lagi bahasa Damar sulit di mengerti.      

"Ding!" dia memencet lagi not-not di hadapannya, "Kaya karya, kaya pengalaman, kaya kenangan, bahkan kaya uang," nekat jadi musisi pendatang baru, banting stir paling gila dalam hidupnya.     

Aruna tidak tahan mendengarkan keterangan Danu Umar, gadis ini mengurai tawa: "Relate!" dan kata baru yang di ajarkan Damar turut serta dia gunakan sambil masih tersenyum lebar.      

Kini pemuda itu kembali memainkan pianonya dengan ritme lebih riang, not-notnya berloncatan asyik, se-asyik gerakan tangannya menari-nari tangkas di atas tombol berwarna Hitam Putih.     

"Kaya sakit hati, Ah' aku lupa yang ini," candanya, mengiring senyum Aruna berikutnya.      

"Kaya kebodohan, jangan lupa itu juga terjadi padaku,"      

Gadis ini bukan lagi tersenyum dia tertawa di buatnya.      

"Apa kalian lupa?? Dia milikku..!!" Aruna menunjukkan kebodohan relate pemain piano di sampingnya.     

"bridal shower terkejam!!" Damar tertawa dan nada pianonya sempat berantakan.     

"Jangan ingatkan itu lagi!! Adegan paling konyol dalam hidupku, Ah' sial!!" mereka terpingkal-pingkal saling mengganggu seperti dulu.      

***     

Dia datang lagi malam ini, tak melewatkan semalam pun tuk tidak menjenguknya. Walau kadang-kadang pemilik rumah sedikit menjengkelkan, sengaja mendiamkan lama dalam penantian di luar sana dengan berpura-pura ketiduran atau berbohong bahwa Aruna belum terlelap. Sebagai upaya untuk menilik sejauh mana daya tahan lelaki yang dulu terkesan arogan mampu mengubur ego. Uniknya si arogan bersabar tanpa kata kemarahan yang dulu identik dengannya.      

Hendra datang tiap malam ke rumah Damar, menaiki tangga melintasi Damar yang menunggu di lantai bawah sambil main game, makan, kadang kala bermain gitar se-kenanya. Obat hati mereda gejolak iri yang sering di istilahkan cemburu kalau ini tentang cinta.      

Suami Aruna akan berada di lantai dua sepanjang 30 menit atau kadang 1 jam. Damar pernah mengintipnya sekali dua kali. Pria itu lebih banyak menatap wajah perempuannya seperti sedang mengumpulkan daya bagi peralatan elektronik. Ya, dia mirip handphonen yang sedang di charger.      

Menatap lamat-lamat wajah Aruna sambil mengelus lembut helai demi helai rambutnya. Kadang kala tangannya ikut serta memijat kaki atau lengan si gadis yang tidurnya terlihat tenang.      

Giliran dia menggeliat maka Hendra akan buru-buru memberikan puk-puk ringan sebagai jalan menenangkan. Terkadang sempat merunduk di bawah ranjang karena mata gadis itu takutnya terbuka.     

Seperti hari ini dia berada di atas sana selama satu jam. Damar bahkan telah membuat siaran sederhana di akun media sosialnya dengan menyanyikan lagu-lagu penghantar tidur menggunakan petikan gitar.      

Entah ini lagu ke berapa?, penyanyinya saja lupa, sampai-sampai riuh ramai komentar menghujani siaran tanpa konsep dan rencana, ternyata di anggap bonus istimewa bagi para penggemarnya.      

Lagi-lagi Damar tergelitik juga untuk mengintipnya. Melambaikan tangan pada sekelompok orang di dunia maya tanda dia akan mematikan siaran. Beberapa penggemarnya sempat protes, masih ingin bersua. Tapi, pemuda Padang tidak peduli, buru-buru menanggalkan telepon selulernya lalu mengendap-ngendap naik ke atas.      

Memandang Hendra yang duduk di tepian ranjang sambil memegangi jemarinya, jemari Aruna.      

"Aku akan lebih lama malam ini," ternyata Hendra tahu Damar mengendap-endap mengintipnya.      

"Maaf, aku hanya khawatir! Aku sarankan kau istirahat, bukankah besok jadwal.." kalimat ini terhenti sebagai bentuk saling menghargai.      

"Karena besok jadwal sidang perceraian paling penting (mendatangkan saksi inti) aku tak bisa memejamkan mataku, ... ... ...      

.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      

__________     

Novel saya di bawah GRATIS TIS!! NO GEMBOK, NO CUAN==>     

1. IPK : Inilah Perjanjian Kita, Antara Aku Dan Kamu     

2. CPLM : Mr. CEO, Please Love Me     

3. YBS: You Are Beauty Selaras     

Dengan gaya menulis berbeda dimasing masing novel.     

INFO : Instagram @bluehadyan, fansbase CPA, YBS, IPK & CPLM.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.