Ciuman Pertama Aruna

II-147. Lubang Di Hati



II-147. Lubang Di Hati

0Pada detik ini, akhirnya Hendra mengerti maksud pria yang dulu menceritakan ketakutannya. Ketakutan nyata, tentang tak mau kehilangan manusia lainnya.      

Hingga satu persatu tim Pradita dan Raka silih berganti, sang pria yang berstatus suami masih setia di sana, menatap layar yang sama. Sampai rasa kantuk dan lelah mulai  menyapa manusia yang punya titik batas ketahanan dalam terjaga, suami Aruna tertidur di kursinya.      

***     

"Kenapa dia?" ini pertanyaan Damar pada Juan yang baru saja menunjukkan keadaan Aruna.     

"Jangan banyak bertanya, buka saja pintunya," si Hoodie telah melepas penutup kepala dan kain pembungkus wajah. Melangkah kokoh sambil membopong tubuh perempuan yang masih enggan terbangun.      

Pada putaran hendel pintu tanda terbukanya rumah Damar. Pria ber-Hoodie buru-buru menyelinap ke dalam dan Damar membimbingnya naik menuju lantai 2. Lantai yang dulu juga pernah singgahi Aruna pada kondisi yang sama, hilang kesadaran.  Bedanya yang dulu berasal dari pertikaian dua lelaki yang saling bersaing mendapatkan hatinya (Volume I)      

Ruang yang di kelilingi alat musik serta hal-hal nyentrik khas Danu Umar. Ruang dari rumah yang dulunya di beli dengan harapan besar, sebuah harapan tentang dia yang akan pulang ke pelukan sang pujangga alias pemuda yang menyabda dirinya sebagai pemuja. Dan telah menyiapkan segala hal untuk masa depan sang gadis pujaan, termasuk rumah ini.      

Sayang kepulangannya tak lagi membawa rasa yang sama. Si rona kemerahan tertawan cinta pria yang membelenggunya di dasar samudera biru.     

Anehnya, malam ini  si rona kemerahan terbaring di situ. Di tempat yang dulu sering kali mengajaknya berimajinasi. Imajinasi mendalam hingga tersusun narasi berupa keyakinan akan terisinya rumah dan ranjang ini oleh dia pemberi lubang di hati.        

Damar terdiam, menatap gadis yang tak memberinya balasan cinta.      

"aku tidak bisa lama-lama, mereka akan mempertanyakan keberadaanku, kalau aku tidak lekas kembali, apalagi dalam kondisi segenting ini.. hai, kau mendengarku?" Hoodie hitam protes melihat pria terdiam, sejak memilih mendudukkan dirinya di kursi.      

"Em.. kau bilang apa tadi?" giliran di tegur baru pemuda ini terbangun, mencoba mengais pemahaman yang di lontarkan lawan bicaranya.      

"Gue kebelet boker!" jawab se-kenanya.      

"Hais' bukan itu kayaknya!" Damar menyatukan alis. "Em.. kenapa Aruna tidak bangun-bangun?"     

"Nona butuh dokter, sepertinya bukan sekedar tidur?!" Sama-sama bingung.      

"Ayo kalau gitu, Kita bawa dia ke rumah sakit? Atau Klinik?"      

"Jangan! Sejujurnya.. (ragu-ragu) kau tidak akan mengerti situasi ini. Tapi, nona sedang di buru. Jadi sebaiknya kita amankan dia,"      

"Di buru?, Lagi?" ini suara Damar. Juan salah sangka, Damar tahu gadis ini dulu adalah buruan lelaki yang kini jadi suaminya.      

"oh' (ternyata kau paham) baguslah.. jangan bawa dia keluar sampai benar-benar sehat. Akan ku carikan dokter  untuk nona," Juan mulai mengawali panggilan. Sedangkan Damar melengkapi rasa khawatirnya dengan mendekati tubuh lemas lunglai. sambil memeriksa Aruna dengan sesama. Termasuk menemukan kaki bengkak.      

_kenapa kamu sering sakit?_ sapa Damar pada gerakannya menyentuh kaki Aruna.      

.     

.     

"Dia harus di bawa ke rumah sakit," ini Helen dokter pribadi keluarga Juan.      

"Helen," Juan mendekat, "nona ini tidak bisa ke mana-mana. Bisakah kita usahakan dia di rawat di sini saja?" lobi Juan.      

"carikan aku infus dan kalau perlu beberapa resep yang aku minta. Termasuk tiang infus," pinta sang dokter.      

"Separah apa dia?" Damar penasaran.      

"Nona ini kekurangan cairan dan tekanan darahnya di bawah batas normal. Mulutnya kering, tampaknya dia kurang makan dan minum," Dr. Helen memberi penjelasan.      

"Sial' kakakku sudah mencariku, aku harus segera kembali," Juan buru- buru meraih Sling bag-nya.      

"Em.. maafkan aku, aku sudah katakan aku tidak punya banyak waktu,"      

"Pergilah! Terima kasih sudah mempercayakan Aruna padaku," lengkap Damar membalas ke panik kan Juan.      

"Okey.. Aku serahkan nona padamu," dan si Hoodie hitam berlari menuruni anak tangga.      

"Tolong ulangi apa saja yang harus aku beli?" Damar menanyakan kebutuhan Aruna sekali lagi.      

"Em.. menurutku lebih baik kita bawa dia ke rumah sakit, kakinya butuh diperiksa. Atau.. " belum usai Helen bicara, si hoodie datang lagi.      

"Dokter Helen, aku minta maaf. Tolong jangan beritahu siapa pun, tentang apa yang anda lihat hari ini, anggap saja anda  sedang menolong gadis malang," Helen merengut, akan tetapi sekejap kemudian berusaha membangun pemahaman. Pria yang memberinya pesan adalah anak yang terkesan paling berbeda dari balik keluarga penuhi misteri (Diningrat).      

"jadi dia benar-benar tidak boleh ke rumah sakit?" Ini pertanyaan Dr. Helen, si hoodie buru-buru mengangguk. Sesaat berikutnya, kembali berlari menuju arah yang sama seperti tadi.      

"baiklah belikan sekalian kursi roda. Prediksiku, dia akan kesulitan berjalan,"     

"Ada lagi," tanya Danu Umar.      

"kalau dia bangun, pasti kan dia makan dengan benar," kembali sang dokter berujar     

.     

Malam itu seluruh peralatan yang membantu kesadaran Aruna terpasang. Diagnosa awal masih seputar dehidrasi, akan tetapi aruna tak kunjung membuka matanya.      

Damar membiarkan dirinya terjaga, dia ingin menyapa Aruna tepat ketika gadis itu berkenan membuka matanya. Sayang sang rona kemerahan tidur terlelap sampai fajar menyapa.      

Tanpa sadar Damar pun ikut larut di bawa kantuk, menyandarkan kepalanya di dekat punggung tangan Aruna.      

***      

"anda sudah bangun?" Sapa Andos.      

Mata biru mengerjap sesaat, bergerak perlahan sambil memegangi bahu kirinya yang terasa kurang nyaman.      

"Kakek anda meminta anda pulang ke rumah induk,"      

"aku belum bisa.."      

"Beliau akan memaksakan diri datang ke mari. Jika anda tidak hadir di sana, menemuinya," maksud Andos, tetua Wiryo akan nekat menemui Hendra walaupun jelas-jelas dia masih dalam perawatan. Dan hal tersebut tentu tidak diinginkan Hendra atau oleh siapa pun yang sedang menyembunyikan kondisi asli presiden direktur Djaya makmur group.      

"Nanti anda juga punya jadwal penting. Bertemu dengan para penerima bantuan. Menangkap Pangki sama pentingnya bukan? Sama-sama menjadi senjata kita untuk melumpuhkan Tarantula," Andos kembali memberi arahan.      

"Aku bahkan tidak yakin, aku bisa berdiri dari kursi ini," desah Hendra, kali ini memegangi pelipisnya.      

Tiba-tiba dia berubah ekspresi,     

"Oh' semalam siapa yang mengikuti perkembangan pencarian istriku?? Laporkan padaku sekarang," Hendra melepas tangannya dari pelipis, matanya menjelajah satu persatu pekerja yang terjaga di ruang utama Pradita, mencari tahu siapa yang bisa memberinya penjelasan.      

Salah satu dari mereka segera berlari menghadap Hendra: "mobil mereka berakhir di rumah utama keluarga Diningrat, mereka bahkan masih bersembunyi di sana, kalau sampai kita membuat penyergapan di tempat itu. Artinya, perang besar bisa saja pecah hari ini," Hendra menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya memilih bangkit. Mengikuti permintaan kakeknya, bertemu dan berbicara dengan tetua Wiryo. Entah mengapa seolah akan jadi solusi terbaik untuk saat ini.      

Dia baru menyadari sesuatu kenapa lelaki tua itu sangat berhati-hati menjaga para perempuannya.      

***     

"kenapa aku di sini?"      

"Syukurlah.. akhirnya kamu bangun,"     

.     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.