Ciuman Pertama Aruna

III-108. Terlalu Rumit Di Pahami



III-108. Terlalu Rumit Di Pahami

0"mual dan muntah, gejala umum yang di alami perempuan hamil muda," mommy Gayatri secara mengejutkan hadir di antara mereka, berjalan mendekat membawa kursi dan buru-buru dibantu asisten rumah tangga.     

"Aku nggak apa-apa," kalimat ini beradu dengan desah nafas, untung sekali kursi berada di dekatnya saat ini. Aruna terduduk, menikmati lelahnya menuruti rasa mual.     

"Kau yakin?" calon Ayah mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan membuat konfirmasi, perempuan di hadapannya mengangguk ringan. Lalu meraih ujung jari mata biru, mengelus ringan jemari lelaki yang saat ini berdiri di hadapan kursi tempat Aruna duduk.     

"Aku sangat baik," ucapnya sambil memainkan jemari milik suaminya.     

.     

.     

Malam panjang mengantar tidur perempuan telah terlewati . Mahendra turun dari ranjangnya setelah mengusap dan mengecup ringan pelipis istrinya. Pintu kamar dia buka lalu menutupnya rapat-rapat dengan sangat hati-hati supaya tak menciptakan suara.     

Mahendra tak ingin istrinya terbangun ketika dia terpaksa harus meninggalkan tempat nyaman di samping perempuan terlelap.     

Mata biru melangkah menuruni tangga, berjalan melewati ruang tengah lalu menyusuri lorong hingga dirinya berhenti pada sebuah pintu, tak jauh dari pintu tersebut terdapat perempuan yang tengah tersenyum untuknya.     

"terima kasih," ucap Mahendra, Terima kasih di peruntukan bagi sekretaris yang berhasil menyelesaikan mandat. Mengkoordinasi terciptanya ruang kerja untuk malam-malamnya, tepat di samping ruang kerja tetua Wiryo pada rumah induk.     

Mahendra tahu Sudah saatnya dirinya memiliki ruang kerja di rumah ini, seperti yang dimiliki kakeknya. Dia juga sadar, keputusannya menemani pemulihan Aruna bukan berarti seluruh pekerjaannya terhenti. lelaki ini perlu memindahkan jam kerjanya di malam hari ketika istrinya beristirahat. Ada banyak hal yang tidak bisa diputuskan oleh orang lain kecuali dirinya atau kakeknya. Sebab perusahaan ini milik keluarga tunggal.     

"Ada lagi yang bisa kubantu," tawar sekretaris Nana yang saat ini berdiri menyambut kedatangannya.     

"sudah cukup," Mahendra memutar handle pintu. Tak lama setelahnya dia menyusup ke dalam. Memilih mengamati, mata biru mencoba mengenali ruangan barunya. Dengan melihat beberapa benda di sekitarnya termasuk mengamati furnitur yang di siapkan untuknya.     

"kau suka pilihanku?" sempat terkejut, sekretaris Nana ikut masuk ke dalam ruangan.     

"Ya," ringkas Mahendra berharap perempuan tersebut segera keluar dari ruangan. Pria ini terganggu dengan aroma di tubuh Nana, terlalu mirip dengan Aruna. Baju yang melekat di tubuhnya pun serupa.     

"Kau boleh kembali istirahat," Mahendra berjalan menuju meja, meraba kayu jati yang mempertontonkan pola-pola lingkaran tahunan di permukaannya.     

"aku dengar kau mengundang tamu malam ini?" tampaknya Nana enggan pergi.     

Mahendra tidak menjawab pertanyaan Nana sebab ia sedang fokus pada sesuatu, foto berbingkai yang diletakkan di atas meja. Hendra mengerutkan keningnya.     

"aku bisa menyiapkan secangkir kopi untukmu, untuk tamu yang akan datang," _terutama untuk dirimu_     

"Tidak perlu, mereka datang bukan untuk minum kopi," ujar Mahendra meraih bingkai foto.     

"Kau yang meletakkan foto ini di atas mejaku," Mahendra mengangkat foto tersebut dan memutar arah foto, supaya Nana tahu foto apa yang dia maksudkan.     

"desain bingkainya bagus, dan ku rasa foto kita tidak buruk," Nana membela diri.     

"Singkirkan!" Hendra meletakkan bingkai foto di atas meja. Semacam keputusan tegas tanpa celah. Lelaki ini tidak menyukai foto mereka.     

"Aku rasa kau dulu sangat menyukai foto ini, kamu selalu menyimpannya di galeri handphone,"     

"tidak untuk sekarang," Mahendra kembali menyeleksi benda-benda di sekitarnya. Sayang sekali alisnya hampir menyatu lagi.     

"Apa kamu ingin aku menggantinya dengan foto istrimu,"     

"Boleh," menyetujui ide Nana sambil meraih sebuah aksesoris, boneka yang sengaja diletakkan di tempat yang cukup ganjil. Buat apa ada Teddy bear pada deretan lemari buku.     

"Aku juga tidak suka ini," Hendra meletakkannya di meja, "itu juga, tolong diturunkan!" lukisan pazel abstrak mirip siluet laki-laki dan perempuan saling berpelukan.     

"Tumpukan pewarna? berbagai motif?" Hendra benar-benar mengerutkan dahinya kali ini, "apa kau pikir aku akan membuat gambar lalu mewarnainya seperti anak kecil?" dia menatap tajam Nana.     

"aku dengar kau menyukai rumah mungil istrimu, di atas Rooftop?" kalimat Nana sepertinya ada hubungannya dengan hal-hal berbau aksesoris.     

"Ya, rumah mungil yang dipenuhi hasil kerajinan tangan istriku, tapi bukan benda-benda aneh seperti ini?" Mahendra bicara apa adanya, tentu saja pria ini konsisten dengan cara bicaranya. Terbuka dan apa adanya.     

"bukan karena kau membenci aksesoris? Kamu hanya membenci masa kecil kita," lengkap Nana. Benda-benda yang ia sisipkan pada interior ruang kerja Mahendra ialah kenangan masa kecil mereka.     

"Aku membenci semua masa laluku, terutama masa kecilku yang menyedihkan, bukan sekedar antara kita," monolog Mahendra ingin membuka mata Nana.     

"Aku tidak akan mendapat kesempatan?" selama ini Nana melayani Mahendra sebagai sekretaris dengan sangat halus, tidak pernah berbicara langsung tentang harapan yang ia redam. Dan sepertinya malam ini Anna mulai menunjukkan niat aslinya. Terkait kisah masa lalu mereka.     

Hendra menggeleng ringan, memutuskan duduk pada kursinya, meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri.     

"aku tahu, perpisahan kita waktu itu sangat mengecewakan," Nana menggeser kursi ikut duduk di depan meja Mahendra. Secara tidak langsung mereka duduk berhadap-hadapan, dengan meja di antara keduanya.     

"bukan karena perpisahan yang mengecewakan, atau masa lalu yang sengaja aku lupakan," Mahendra bicara ringan bergerak mendekat meletakkan kedua tangannya simpul di atas meja.     

"Tapi, karena anak itu hadir di kehidupanmu, gadis biasa yang memberimu bayi?" suara Anna berpadu dengan keberanian menatap Hendra.     

"kau boleh mengganti kata 'gadis biasa' menjadi Aruna, itu nama istriku"     

"Huuuh.. Hadyan," Anna menyipitkan matanya, gigi putih tertata rapi ditampakkan kepada Mahendra, "Apa kau tidak sadar? Kamu memperlakukannya seperti dirimu dulu memperlakukanku,"     

"Benarkah? Aku tidak ingat apa pun," senyum Hendra mengembang, bergeser, menyadar kursinya.     

"Kamu menyarankan baju yang sebaiknya ia kenakanl," Nana mencoba menunjukkan kesamaan perilaku Mahendra terhadap dirinya dengan perilaku terhadap istrinya, Aruna.     

"Salah, Aku tidak pernah menyarankan baju untuk Aruna," Hendra mengangkat bahu.     

"Kau melakukannya," kekeh Nana.     

"Aku tidak pernah menyarankan baju untuk istriku, aku menyiapkan apa yang harus dia kenakan," Mahendra meraih handphone yang berada di dalam saku, "semua yang ia kenakan, dari yang tersembunyi di dalam hingga tiap aksesori yang terpasang di tubuhnya sesuai kehendakku," Mahendra menunjukkan foto, di mana dia pernah menyiapkan satu paket lengkap pakaian dan aksesoris yang harus dikenakan Aruna. Padahal foto itu diambil asisten rumah induk ketika Aruna di izinkan Mahendra ikut agenda kerjanya dalam peninjauan awal pembangunan Dream city.     

Mendengar monolog Mahendra mata Anna menajam, mencoba mengusir pertanyaan di dalam benaknya. Terkait, Apakah Mahendra lebih maniak terhadap istrinya daripada dirinya?     

"kau juga menyiapkan make up untuknya?" Ana tahu Mahendra melakukan itu, mereka pernah belanja bersama. Belanja make up yang dia kira di peruntukan kepada dirinya, tapi ternyata benda-benda tersebut untuk istrinya.     

"bukan sekedar make up, sabun mandi, sampo, semua kebutuhan tubuhnya, wajib sejalan dan sesuai keinginanku," kenyataannya Hendra tidak semengerikan itu. Laki-laki ini sekedar membual dengan tujuan tertentu. Menakut-nakuti Anna, sesekali terlihat bibirnya di tarik menahan senyum.     

"Sebab Aruna tidak pernah protes, kau perlahan menyukainya?" Anna penasaran apakah Aruna benar-benar inferior seperti dugaannya.     

"Tentu saja,"     

"Seburuk apa pun yang kulakukan, Aruna bersedia menerimaku," sejujurnya Hendra merubah beberapa poin kata 'menerimaku' lebih tepatnya 'memaafkanku' entah apa yang berada di benaknya.     

"Bukankah aku sudah menjadi seperti istrimu ketika bekerja sebagai sekretaris. Mengapa kamu tidak setuju dengan rencana kakekmu," mata biru memicing, bergerak mendekat menamati Anna. Lelaki itu meraih dagu perempuan di hadapannya dan Anna memejamkan mata. Sejenak lelaki bermata biru menatap perilaku Anna.     

"Malam ini, malam terakhirmu," bisik pewaris tunggal Djayadiningrat pada telinga kiri Anna, nafasnya terasa dan mata Anna terbuka.     

"Terakhir?"     

"sekretaris! bukan jabatanmu lagi," suara dingin itu membekukan seseorang.     

"terserah kau mau bekerja sebagai apa, silakan bernegosiasi dengan kakekku, tapi tidak untuk menjadi sekretarisku," raut wajah Hendra menegang, tersenyum sinis. Melepas dagu Nana, lalu berdiri menuju pintu keluar.     

"Kenapa? Apa salahku?" Anna bertanya-tanya, dia seolah terjebak. Pada poin mana dirinya 'salah bicara'. Anna tahu laki-laki di depannya pandai membuat penilaian.     

"keluarlah dengan cara terhormat, menyakitkan seandainya aku sampai mengusirmu keluar dari ruangan ini," Hendra tersenyum sinis sekali lagi.     

Hadyan terlalu rumit untuk di pahami dan di taklukkan, inilah salah satu daya tarik yang di rindukan Anna.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.