Ciuman Pertama Aruna

III-104. We all make choices



III-104. We all make choices

0"Hen.."     

"Jangan membuatku marah! Please!" suara nafas beradu raut wajah merah padam.     

Mata perempuan yang rambutnya tak lagi panjang, menatap penuh makna kepada suami.     

"Mari kita kembali ke kamar," lelaki bermata biru menawarkan tangan kanannya, dia berharap tangan itu segera disambut istrinya. Sayang sekali sang perempuan memalingkan wajah.     

"Aku tidak selemah yang kamu bayangkan," desah Aruna menolak permintaan suaminya. Adegan ini di amati beberapa penyantap hidangan, walaupun pembicaraan mereka sebenarnya kurang jelas untuk sampai ke meja makan.     

"Aruna.." wajah berbinar bunda indah yang tak tahan mendapati kedatangan putrinya. Dia mendekat, menjadikan dirinya hadir di antara dua pasang suami istri yang sedang berdebat termasuk ajudan perempuan yang di landa kebingungan menghadapi nona dan tuan mudanya.     

Sorot Mata Mahendra jatuh ke bawah, selanjutnya menatap Aruna penuh kecewa.     

Ketika tangan perempuan itu ditarik bundanya perlahan-lahan menuju meja makan, Mahendra tidak bisa berbuat apa-apa.     

"Susi ambilkan bantal untuk alas duduk dan penyangga punggung," titah Mahendra. Buru-buru Ajudan dengan rambut pendek ala Ledy Diana ini menjauh memenuhi permintaan tuan mudanya.     

Setiap langkah Aruna yang terkesan lambat mengandung pengamatan. Dua perempuan yang menyuguhkan wajah serupa, enggan berkedip menatapnya.     

Anehnya istri Mahendra pura-pura tidak mengetahui tatapan penuh minat dari keduanya.     

"Kenapa kalian melihat adikku seperti itu?" Aliana memecah konsentrasi dua pasang mata.     

"Aku baru pulang dari Milan, ternyata nona Aruna banyak berubah," Leona lah yang sedang bicara. Menanggapi pertanyaan Aliana.     

Baru juga Aruna duduk dengan bimbingan bunda Indah. Lelaki bermata biru mengusiknya. Dia minta Aruna bangkit dari kursi tempatnya duduk. Keribetan Hendra ditangkap oleh yang lain, pewaris tunggal Djoyodiningrat sedang sibuk memasang alas duduk di atas kursi meja makan yang sebenarnya sudah cukup empuk. Termasuk penyangga punggung berupa bantal menggembung. Setelah bunyi tepukkan dua kali pada bantal yang telah terpasang. Mahendra baru mengizinkan istrinya kembali menikmati kursi, rasanya lebih nyaman.     

Selebihnya dia meminta maaf kepada bunda Indah. Sebab mengincar kursinya. Tentu saja Indah rela memberikan kursi tersebut dengan senang hati. Dia sadar Aruna lebih membutuhkan suaminya, indah berpindah di dekat putrinya Aliana, lebih tepatnya pada kursi mbak Linda yang kini sedang sibuk menggendong bayi Alan, jalan-jalan keluar ruangan.     

Setelah keadaan kembali kondusif, Opa Wiryo meminta yang lainnya segera menyelesaikan makan malam mereka.     

.     

Mahendra memesan piring baru kepada asisten rumah tangga, selain itu dia juga menanggalkan makanannya, mata biru tidak lagi terlihat menyentuh piringnya sendiri. Pria tersebut ripuh dengan kesibukan baru, mencawiskan peralatan makan beserta isi piring istrinya.     

"Jangan banyak-banyak, aku belum bisa makan banyak," keluh Aruna ketika piring yang ada di depannya dipenuhi makanan, munjung ke atas.     

"Tenanglah, aku yang akan habiskan," mata biru bukan lagi menghadap ke depan. Dia lebih fokus menghadap ke arah istrinya. Nasi di piringan perempuan mungil kesayangan sengaja di tekan-tekan supaya lebih lembut.     

"sudahlah.. aku ingin makan sendiri," suara ini berupa bisikan di telinga laki-laki yang menghadap kepada Aruna. Laki-laki yang teramati paling sibuk.     

"Tidak, tanganmu sakit,"     

"aku tidak makan dengan tangan kiri," tangan Aruna sakit di tangan kiri bukan di tangan kanan. Artinya dia bisa menyantap makanan itu sendiri.     

"Punggungmu terluka," mata biru mengunci ujaran protes sang istri. menaikkan sendok yang berada di tangannya. Kini ujung sendok tepat di depan mulut Aruna.     

"Jangan begini Hendra!" kalimat protes lagi dan lagi terdengar di telinga laki-laki keras kepala.     

"kembali ke kamar sekarang!" Dia bertitah sambil menatap tajam ke arah istrinya, "atau kau memilih membuka mulutmu,"     

"Huuh," hanya desahan nafas Aruna yang bisa mengartikan rasa malunya di perlakukan berlebih.     

Dan senyum itu terbit bersama lesung pipi, ketika perempuannya membuka mulut dan berkenan menelan makanan yang dia sodor kan. Makanan di atas sendok di suguhkan penuh paksaan.     

.     

.     

"Apa kamu sudah terbiasa dengan adegan semacam itu, -kak?" Leona bertanya di sela-sela makanya.     

"dulu kau juga sering melihatnya, -iya kan?" Anna bukan menjawab tapi berbalik bertanya.     

"Ya, tapi.. aku rasa ada yang berubah," jawab Leona.     

"Maksudmu?" Anna menoleh kepada adiknya. Dia tergelitik pada kata 'berubah'     

"Aku tahu Hendra memendam hasrat yang berlebih kepada gadis itu, sayangnya anak ajudan itu sering mengabaikannya, sampai-sampai ia sering kali mengalami frustasi," kalimat ini sejalan dengan cara Leona memotong daging di atas piring, "aku yakin walaupun anak itu kembali, dia tetap gadis sederhana yang sama, sulit beradaptasi di rumah ini, terlebih Hendra dipandang menakutkan olehnya," monolog Leona melengkapi penjelasannya.     

"kamu salah, dia sudah mengandung bayi Mahendra," suara Anna mendesah rendah.     

"Benarkah??" Leona lupa mengontrol volume suaranya. Beberapa orang menoleh, sebab lengkingan kata yang ia ucapkan.     

"Maaf," buru-buru perempuan yang selera fashionnya cenderung ala chic style atau serupa dengan gaya Serena van der Woodsen dalam serial Gossip Girl, menutup rasa terkejut pendengar dengan kata maaf.     

"Dia membuat Hendra tidak mau pulang hampir sebulan, kabur dari rumah induk. Giliran kembali, perempuan itu dibawa pulang dan akhirnya merusak semua rencana pertunanganku, gara-gara perutnya terisi bayi Mahendra," ada tawa kecil, janggal, pada susunan kata yang diujarkan Anna.     

"Sudah kubilang kan, Hendra belum tentu bisa kembali kepadamu, -kak. walaupun kau bersih keras meninggalkan semuanya dan pulang ke Indonesia," Anna memutar kepalanya menatap Leona. Perempuan tersebut menarik bibirnya lurus.     

"We all make choices, but in the end our choices make us." dia berujar meminjam kalimat mutiara Ken Levine     

(Kita semua membuat pilihan, tetapi pada akhirnya pilihan kita menjadikan kita)     

"Biar aku menjadi diriku, Aku senang mengejarnya,"     

Deg     

Dada Leona berdetak.     

.     

.     

"Dek kamu nggak apa-apa, kan?" berulang kali kata tanya Ini diucapkan Aliana ketika keluarga Lesmana memutuskan undur diri, berpamitan pada penghuni rumah mewah Djoyodiningrat.     

"Aku di rawat oleh manusia keras kepala -kak, jadi tenang saja, sebentar lagi juga sembuh," Aruna menghiasi bibirnya dengan senyuman.     

"Ayo kembali ke kamar," Hendra mulai bermasalah, dia kembali uring-uringan berharap segera membawa Aruna baring di kamar utama mereka.     

"Sayang, ayo.." Aditya menggendong putranya memperingatkan Aliana bahwa adiknya butuh istirahat.     

"Kak dekatkan baby Alan, aku mau menciumnya," Aruna yang dilarang banyak bergerak oleh mata biru, Hanya duduk terdiam sambil menggerakkan tangannya berharap diizinkan mendekap sejenak baby Alan.     

Giliran sudah mendekat, lagi-lagi Mahendra melarangnya menggendong baby Alan, "ingat punggung sayang.. punggungmu belum kuat," sehingga Aditya hanya mendekatkan tubuh baby Alan tanpa mengizinkan Aruna menggendongnya.     

"lucunya.." ini suara Oma Sukma menyusup di antara mereka bersama sekelompok asisten rumah tangga membawa bungkusan pada masing-masing tangan mereka.     

"Sering-sering main ke sini.." sudah berulang kali perempuan paruh baya nan anggun ini merayu Aliana supaya meninggalkan baby Alan. Atau meminta baby Alan sering-sering datang ke rumah induk.     

"Oma yang sabar.. sebentar lagi juga dapat cucu," canda Aliana. Sukma mengurai senyumnya.     

"Huuh, doakan adikmu lekas sehat," Oma memandangi Aruna. Nenek Mahendra terdengar bergetar ketika meminta doa pada kakak ipar cucunya sendiri.     

Perempuan paruh baya ini sedang bersedih, saat tamu yang datang berencana pulang. Rumah Megah Djoyodiningrat sangat sepi dibanding prediksi orang lain.     

"Apa-apaan ini?" Indah mendatangi Oma Sukma dia terkejut dengan bawaan yang disuguhkan nyonya besar keluarga besannya. Setelah salah satu asisten rumah induk mengabarkan mobil keluarga Lesmana tidak muat menampung pemberian Sukma.     

"mohon maaf, kami tidak bisa     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.