Ciuman Pertama Aruna

III-99. Untuk Pertama Kalinya



III-99. Untuk Pertama Kalinya

0Aku baru saja membuka mataku, menatapnya yang sedang merapikan barang-barangku yang tak seberapa. Senyumnya merekah melihatku terbangun. Aroma parfumnya yang wangi menyapa hidungku. Sepertinya dia baru mandi ketika aku tertidur.     

Sudah menjadi kebiasaan Mahendra mengusap rambutku, "Aku tak menyangka rambut baru membuatmu tambah cantik," aku tahu bagi Mahendra rambut panjangku lebih sempurna. Aku tahu dia suka sekali menyisir rambutku sambil menelusurinya. Aku juga tahu dulu waktu kami belum menyatu akan tetapi terpaksa berada dalam satu ranjang yang sama. Sembari menyentuhi denyut nadiku dia akan diam-diam memunguti rambutku yang terurai berserakan. Dia suka rambutku yang panjang. Dan pria itu sekedar berupaya membuatku nyaman.     

"kita mau ke mana?" dengan senyumnya yang khas berbumbu lesung pipi, Hendra menjawabnya.     

"kita akan pulang," Ada rasa resah yang menghimpit, jantungku berdetak ingin kukatakan aku tidak mau, nyatanya aku tak punya alasan.     

"Aku ingin tinggal di lantai Djoyo Rizt Hotel," Dia menggeser kursi lalu duduk di hadapanku sambil memegangi dua telapak tanganku, di mana yang satunya masih terlengkapi infus, lelakiku mencium di antara keduanya.     

"Kamu boleh tak percaya," Hendra menatapku dengan tatapan yang itu, tatapan yang susah kulupakan, tatapan yang membuat Damar tak mampu mengisi kehangatan pada hatiku kembali. Tatapan dingin dibalut kornea mata biru yang berpadu antara haru serta pengharapan. Tatapan yang sama seperti ketika aku izin pulang untuk selamanya, mengakhiri honeymoon kami di Bali.     

"-aku akan cuti dari aktivitasmu sampai istriku pulih total," bersama menyusupnya suara ke dalam gendang telinga, tak terasa air mataku tumpah dari wadahnya.     

Mahendra putra tunggal keluarga, dia menggerakkan banyak hal, beberapa keputusan-keputusan penting hanya dirinya dan kakeknya yang memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan, aku tahu itu semua. Walau dulu dengan sengaja aku mengubur dalam-dalam pemahamanku karena kami punya rencana bercerai, saat ini ku upayakan membuka lebar-lebar mataku.     

Aku mencoba ikhlas kalau memang dia harus bertugas. Nyatanya Mahendra memilih menghentikan aktivitasnya.     

.     

.     

"Bisa?" selepas kursi roda yang membawaku mendekati mobil telah usai tugasnya. Mahendra kembali menanyakan kemampuanku, "Hehe, aku tak selemah -Argh" dia merengkuhku dalam ke hati-hatian. Meletakkanku pada kursi yang sengaja di sajikan rebahan. Dengan jeli pria ini meletakkanku miring ke kiri masih sambil mengelusi rambutku dia memintaku lekas menutup mata.     

.     

.     

"Nanti, kalau sudah sehat kita jalan-jalan ya.." itu caranya menghiburku setelah tahu aku enggan menutup mata. Dan lebih suka mengamati jalanan di luar dari pada memperhatikan dirinya.     

Ketika kami berhenti pada lampu merah, hal yang hampir mustahil terjadi, membuat mataku terbelalak. Mendengar dirinya meminta ajudannya turun dan berlari ketepian jalanan lalu tergopoh-gopoh memburu lampu lalulintas membawa sebuah cup berisikan bubur putih lembut bercampur dengan bulatan-bulatan kecil berwarna pink yang sering di sebut mutiara.     

"Mungkin Istriku merindukan jajanan ini," tawarnya padaku.     

Aku tidak mengerti apa yang di pikirkan Mahendra, dia seperti lelaki yang sedang meratapi kegagalannya, membuka pembungkus cup berupa gelas besar dengan sendok putih yang ia amati berulang kali, "siapa bilang aku rindu makanan itu," dia melirikku. Lirikan yang berubah menjadi tatapan hangat dan elusan pada rambut pendekku hingga kesadaranku hilang di bawa mimpi.     

.     

.     

Ketika kubuka mataku aku merasakan suara berat sedang membisikan harapan agar aku terbangun. Kembali ada kursi roda di sana, dan dua pasang mata yang menatapku dengan binar kebahagiaan, termasuk satu pasang mata yang mengupayakan senyuman terpaksa.     

Mungkinkah ini hanya kecurigaan semu atau kah memang aku merasakan ada perbedaan dengan senyumannya. Instingku memintaku menatap awas perempuan yang kini juga memasang wajah cerah dan senyum kepada suamiku.     

Aku tolak kursi roda itu mentah-mentah.     

Sedangkan Hendra, masih dengan kesibukan memegangi infusku, dia memastikan diriku berdiri tegap dengan mengikat lengan kananku. Hendra tahu aku tidak bisa mendapat gendongan menggunakan kedua tangan atau rengkuhan di punggung. Dia juga tahu aku sering nyeri ketika terlalu lama berdiri.     

Aku tidak sedang egos ketika diriku menggelengkan kepala menolak permintaan yang terdengar rayuan. Seperti caranya menolak asisten rumah induk yang berharap infus di tangan tuannya berpindah tangan. Aku tahu diriku perlu berdiri tegak, ingin menunjukkan pada seseorang; tidak akan mudah membuatku tumbang. Mungkin para lelaki tidak mengerti ada guratan pada tatapan samar yang hanya bisa di pahami oleh kami, sesama perempuan.     

Tatapan janggalnya kian membuatku berhasrat untuk melangkah lebih kuat. Sampai aku memasuki ruang yang bernuansa hangat dengan sajian foto-foto suamiku sejak dia balita hingga dewasa, kulihat ada foto lain yang mendorongku menerbitkan senyuman. Dengan alasan ingin melihatnya lebih lama aku meminta duduk sejenak, padahal jujur punggungku kini nyeri dan tenagaku tak sekuat tekatku.     

Untungnya terdapat foto berbingkai kayu jati semburat coklat kekuningan, foto pernikahan kami terpasang megah di tengah-tengah ruangan, menggeser foto tunggal Mahendra yang mengenakan toga kebesarannya.     

"Kau suka?" katanya membangunkanku dari kekaguman tentang begitu indahnya gaun yang dulu ku benci, gaun berwarna biru mengembang serta lelaki bertuksedo senada. Hendra tampak gagah di sana dan aku terlihat tersenyum, tapi memaksakan diri. Foto yang di ambil pada sela-sela pesta blueoceans kami.     

Manusia memang begini, aku baru menyadari suatu kalimat yang terasa familier, 'yang kita benci saat ini belum tentu akan kita benci di kemudian hari, demikian juga sebaliknya'. Bisa jadi aku mendengar kalimat ini dari kelompok diskusi hangat bersama teman-teman sesama volunter atau dari petuah ayahku. Apa pun itu aku berjanji tidak akan membenci apa pun lagi. Sampai kutemukan pelaku penganiayaan yang membuatku merasakan betapa sakitnya sebuah alat pemotong kertas menancap di punggungku. Aku akan membuatnya mempertanggungjawabkan rasa sakit yang hari ini membuatku tak lagi bisa menapaki tangga untuk menuju kamar utama tuan muda Djoyodiningrat.     

Hendra resah bukan main, hingga dia menemukan cara menggendongku tanpa menyentuh punggungku. Lelaki bermata biruku tertawa kecil, menyadari kebodohannya.     

"Ya tuhan.. punggungku buat apa??" dia menyerahkan infusku kepada asisten rumah induk, selepasnya menunduk menawarkan punggungnya untukku naiki. Mahendra membawaku sambil berceloteh. Tentang dirinya yang sedang menggendong dua manusia sekaligus.     

"Ya masak bayi kecil kamu hitung?" dia terkekeh.     

"Baby anak manusia, -kan," tanyanya mendorong pintu kamar kami menggunakan kaki.     

"bukan, dia anak raja hutan," candaku.     

"Ibunya ratu hutan," dia kembali tertawa. Menurunkanku di dekat ranjang kami.     

Ketika aku duduk di ranjang sulur bunga Lily yang teramat ku rindu, sebab demikian banyak debaran yang di sajikan. Hendra merunduk menyentuhkan salah satu lututnya ke lantai dan kepala bermahkota rambut coklat keemasan tersebut mendekat.     

Mahendra menyapa bayi kami, "Hai sayang.. mommy bilang kamu anak raja hutan, menendang lah.. beritahu mommy-mu kamu tak setuju," katanya membuat pemintaan yang mustahil.     

"Hendra jangan lupa ukuran baby masih segini," kutunjukkan jempolku.     

"sebenarnya dia lebih kecil," ternyata Hendra lebih dari tahu, "lalu kenapa kamu memintanya menendang,"     

"aku mengajarinya sekarang supaya baby tahu Daddy-nya ingin cepat-cepat berjumpa-"     

"Hendra.. Keluarga Aruna datang," Mommy menyapa di ikuti asisten yang sering mengekor kepadanya. Dan dia yang di sapa menampilkan raut muka bertolak belakang, Hendra lelaki yang mudah di tebak guratan dukanya.     

"Kenapa?"     

"tak apa-apa aku turun dulu," aku tahu mommy Gayatri juga menangkap duka yang di semburat-kan Mahendra. Dia menatapku sejenak sebelum pintu ukir khas Jepara tertutup sempurna.     

"Mommy boleh aku melihat cermin?" aku menemukan masalahnya, tatapan terakhir Hendra jatuh pada tangan kiriku dan wajahku.     

Kuminta mertuaku meminjami make up dan dia buru-buru menyuruh asisten tersebut berlari membawa peralatan make up miliknya. Aku masih ingat aku tidak punya apa-apa di laciku. Namun setelah ibu suamiku menarik laci lebar milik meja riasku dia menemukan segala yang baru. Hendra sudah melengkapi kebutuhanku ternyata.     

Dada ku ikut berpacu ketika kupaksakan diriku menutup lebam dan bengkak di wajah. Dan sang ibu menyerobot caraku, Mommy begitu interaktif membantuku, ibu Mahendra yang tak memiliki ekspresi, tertangkap bersemangat memoles wajahku.     

"Aruna sayang.. tengok kiri,"     

"Sakit tidak?"     

"say, if it hurts baby,"     

.     

"Arunaa.. " teriakan kakakku, untuk pertama kalinya membuatku bisa melihat betapa paniknya ibu Gayatri merapikan meja riasku.     

"thanks mom," dia tersenyum, lesung pipinya mirip Mahendra.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.