Ciuman Pertama Aruna

III-97. Sapuan Kuas



III-97. Sapuan Kuas

0Dari pagi membantu bunda masak. Menjenguk si bungsu, berjalan-jalan dengan Nabila supaya akrab, Yang terakhir dia yakin sekedar meletakkan kepalanya di atas sofa. Setelah capek tersedak kopi tanpa gula.     

Lepas kesadarannya pulih Ananta bangkit dari duduknya, secara beli-bet dengan menubruk beberapa benda pria itu buru-buru masuk kamar mandi.     

Tentu saja Ini kamar mandi perempuan, dominasi utama warna dan benda-bendanya menuju warna pink. Yang paling menyulitkan, pria ini tidak menemukan handuk. Dalam kondisi badan masih basah, ia gunakan kembali bajunya. Lalu buru-buru keluar dari apartemen Nabila, termasuk mengantongi kunci ke dalam saku celananya.     

Sebuah tanda tanya besar di dalam kepalanya. Bagaimana cara dia memasang ekspresi ketika bertatap muka dengan Nabila? Apakah dirinya perlu malu, canggung, cuek, atau seolah tidak terjadi apa-apa. Tampaknya pilihan Anantha pura-pura tidak terjadi apa-apa.     

Sayang sekali ide itu tidak akan terealisasi sebab kini ada lelaki berkumis yang sedang berdiri mengamati Anantha selepas ia membalik tubuhnya dari pintu kamar Nabila.     

"Mati aku, apa lagi ini," gelisahnya lirih.     

Baru juga punya pacar ribetnya amit-amit.     

***     

[Semalam di cluster Thomas]     

"Jelas sekali ada yang menyusup ke dalam, lihat kain ini," salah seorang yang merupakan anak buah Pradita memberitahu Vian. Vian mendekat, membuka lebih lebar jendela lalu matanya menelusuri jatuhnya kain yang berjuntai hingga di bawah sana.     

"periksa, Apakah ada yang hilang?" perintahnya kepada mereka yang secara sigap mengamati tiap-tiap jengkal ruangan.     

Lampu kembali dinyalakan menyajikan ranjang berantakan sebab lapisan dasar berupa kain putih ditarik oleh pelaku untuk jadi jalan melarikan diri.     

"Di ruang baju, aksesoris pakaian, dan benda tertentu hilang," yang lain berkata pada Vian.     

"Apakah ini murni pencurian?" Vian bertanya.     

Lalu pria itu membuat panggilan untuk anak buahnya. Mereka yang lebih ahli dalam melakukan penyidikan. Sedangkan anak buah Pradita mulai melakukan pengecekan terhadap password cluster Thomas yang dibobol dengan mudahnya.     

"mereka makan sebelum melakukan pencurian," pantry itu turut diamati.     

"kita perlu memeriksa sidik jarinya, pelaku mengetahui password cluster ini tanpa uji coba," artinya tanpa memencet berulang sang pelaku langsung menemukan PIN yang sesuai.     

"Andai ini pembobolan sepertinya hampir mustahil. Pelaku yang masuk ke tempat ini sudah pasti tahu dengan detail berapa nomor PIN ," kembali anak buah Pradita memberikan informasi.     

"Apa mungkin mereka para pekerja yang biasa membersihkan rumah Thomas?," Aku tidak tahu, orang-orang mu lebih pandai melakukan penyelidikan forensic daripada kami.     

Malam Tanpa bintang perlahan bertemu pagi. Sekelompok tim Vian menemukan pemahaman yang kian janggal. Bekas kedatangan pelaku pembobolan rumah Thomas. Menyajikan dua alas kaki dan sebuah baju seragam penyedia jasa service kendaraan bermotor. Anehnya ada bekas percikkan darah sekilas. Kamar mandi basah baru digunakan untuk mandi. Bekas kasa, yang melambangkan pelaku membuka balutan luka sebelum mandi. Peralatan makan yang belum dicuci. Yang paling unik pencuri tahu letak benda-benda tertentu bahkan letak parfum kesukaan Thomas.     

Tim Vian akan mengetahui segalanya setelah jejak yang menempel di atas sebuah alat berbentuk kotak persegi panjang yang menyajikan tombol-tombol password pembuka pintu telah ditaburi bubuk halus putih yang berpadu dengan sapuan kuas menghasilkan sidik jari.     

.     

.     

"Thomas sangat pandai di bidang negosiator, memprediksi nilai sebuah perusahaan bahkan masa depan perusahaan, tapi tidak dengan aksi penyusupan macam begini, terlihat sekali pelakunya sangat amatir. Mungkinkah si amatir itu pemilik rumah sendiri?" selepas Pradita mendapatkan laporan dari anak buahnya yang juga di perdengarkan oleh Raka. Pria bertubuh kekar itu membuat konklusi di dalam otaknya sendiri. Raka punya insting yang berbeda. Dia hidup dalam dunia yang kini dilakukan oleh Thomas.     

"kita lihat saja hasil sidik jari besok," Pradita memilih realistis dengan melihat bukti.     

"Sejujurnya aku tidak ingin percaya, sayangnya kau selalu yakin Thomas masih hidup, bagaimana kau berpikir seperti itu?" tanya Pradita. Meeting malam menuju dini hari yang mengusung penyelidikan terkait penyerangan terhadap nona keluarga joyodiningrat, dalam sela-selanya ditumbuhi diskusi tentang hidup atau meninggalnya salah seorang rekan kerja yang ditumbuhkan dalam satu kartu keluarga.     

"di kamar perawatan Thomas, terdapat benda tumpul yang tergeletak pada posisi janggal," lengkap Raka.     

"kenapa kau tidak membuat laporan tentang temuanmu?" Pradita mengerutkan alisnya menatap Raka.     

"ini tugas Vian, aku yakin Vian tahu segalanya, aku juga sedikit kecewa kenapa Vian tidak memunculkan temuannya. Mungkinkah dia merasa tidak memiliki bukti yang cukup? Atau Vian terlanjur sakit hati atas perilaku Thomas?" Thomas meluluhlantakkan ruang kerja Vian. Raka dan Pradita terbungkam pada ruang pikirnya masing-masing.     

***     

"Kita istirahat di sini dulu," katanya selepas menyerahkan uang paling akhir yang ada di dompet Kiki kepada pemilik montel. Sebuah penginapan murah tempat beberapa orang melakukan yang iya-iya.     

"Huh.. apa kehidupan mu begitu berat?" Kiki melempar sarkasme pada pria berambut gondrong di depannya.     

"mungkin iya," langkah itu berhenti sejenak membalik tubuhnya menatap keberadaan Kiki, yang lelah secara batin dan mental.     

Gadis biasa harus menjalani adegan film action, begitu Thomas mendefinisikan raut muka Kiki yang ingin ambruk dari tempatnya berdiri. Kenyataannya gadis itu lebih kuat. Sekuat dia yang masih konsisten memasang wajah galaknya.     

"Kalau kehidupanku mudah, tidak mungkin aku akan dibunuh orang lain," Thomas melepas tas panggul dari punggung Kiki.     

"Mana ada orang yang hidup di cluster semewah itu, sulit makan sulit minum bahkan sulit hidup," suara ini tergolong makian. Kiki masih bisa membuat Thomas tertawa dalam keadaan lelah nya mengendarai motor seperti orang hilang akal. Memapah pria yang tingginya beda 10 cm dan berat tubuhnya mungkin beda 20 kilo. Itu pun masih harus berlari-lari.     

Selepas memasuki kamar yang nyala lampunya setengah-setengah. Menyala tapi masih tergolong remang-remang. Kiki merebahkan tubuhnya. Menikmati kelelahan berpadu dengan rasa kantuk.     

"Kenapa kau duduk di ranjang ini?!" gertak Kiki kepada Thomas. Pria yang mengenakan celana pendek. Thomas belum sempat berpakaian dengan benar ketika pelariannya tadi.     

"Tidak mungkin ada adegan Adult di sini, aku tidak bisa melakukan saat ini," lelaki berambut sebahu menunjukkan lukanya yang perlahan mulai menampilkan semburat merah.     

Seolah memahami kalimat Thomas, tubuh Perempuan itu bergulung, menepi dan berbagi. Dia memberi tanda perbatasan kekuasaannya dan kekuasaan lelaki di sampingnya menggunakan guling.     

***     

[Menuju siang, pada ruang perawatan Aruna]     

Mahendra memilih duduk di luar ruangan Aruna, ketika sekelompok suster beserta dokter kembali membuka luka yang ada di punggung dan tangan istrinya. Kabarnya mereka akan mencari cara supaya bekas penganiayaan tersebut 100% hilang. Tentu saja pemulihan yang lebih diutamakan.     

Sehingga bersama tahapan pemulihan dokter kulit mulai melukis pola yang bisa menjadi gambaran tindakan berikutnya.     

Sejalan dengan perginya tim kesehatan yang bertugas membantu pasien VIP menerima pelayanan terbaik Rumah sakit mereka. Mahendra kembali masuk dan menutup pintu kamar rawat istrinya.     

Terbaring pada posisi yang sama, masih konsisten menerbitkan senyumnya.     

Siksaan macam apa ini?     

Jantung mata biru menyajikan rasa sesak. Dulu Aruna menyiksanya dengan cara memasang ekspresi pasrah terhadap pernikahan mereka. Sekarang pun dia masih pandai menyiksa. Padahal raut wajah yang di sajikan bertolak belakang.     

.     

Penyiksa perlahan tertidur pulas, mungkin saja pengaruh obat-obatan yang masuk ke tubuhnya.     

.     

Bip Bip Bip     

_Alia?_     

[Hallo]     

[Beraninya kau melarang bunda melihat Aruna!!] Bukan sekedar bernada keras, dia yang sedang berbicara membentak.     

[Huuh, Aku..]     

[Aku apa?] Hendra belum sempat bicara, Kakak istrinya sudah mengumpatnya dengan celetukan bernada sengak.     

[Aruna..]     

[Aruna, Kenapa?] Benar-benar menyebalkan, Aliana memperlakukannya seperti bawahan yang tidak mampu mencapai target penjualan.     

[Aku boleh bicara atau tidak?!] Akhirnya yang awalnya sedang meratapi kebingungan atas tiap-tiap alasan mengapa dia tidak mengizinkan mertuanya melihat anaknya sendiri. Kini hilang sudah rasa bingung itu.     

[Nanti sore, Aruna Aku pindahkan ke rumah induk kami]     

[Adikku sudah sehat..] tanpa melihat wajah yang berada di ujung telepon. Mata Hendra bak menangkap gambaran raut muka bahagia Alia.     

[Belum..]     

[Bun... Bunda.. Aruna sudah sehat..] kata belum Mahendra terabaikan, Aliana berteriak-teriak memanggil ibunya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.