Ciuman Pertama Aruna

III-95. Hasrat Terpendam



III-95. Hasrat Terpendam

0"Jangan sentuh istriku sampai dia terbangun sendiri, seingatku belum lama dia akhirnya tidur dengan nyaman," Mahendra bangkit dari duduknya, meraih handphone dan sejalan berikutnya membuat panggilan. Sambil bercakap-cakap pria ini sempat menitipkan istrinya pada suster yang setia menunggu. Dan perempuan berbalik pakaian putih Mengiyakan permintaannya.     

[Sudah bisa aku temui sekarang?] Seseorang di ujung sana mengatakan iya.     

.     

.     

"Aku tidak mengerti, apa yang terjadi padamu," dokter dengan rambut bercampur hitam dan putih tersebut masih asyik mengamati ikan di dalam akuariumnya. Padahal sang pasien sudah duduk nyaman pada kursi yang dulu di tolak mentah-mentah.     

"Aku bahkan tidak mengerti diriku, wajar saja, dokterku tak tahu," Mahendra merebahkan punggungnya, santai.     

"Semalam Firman menunggumu, dia tidak tidur semalaman," sang dokter meraih pelet pakan ikan dan menaburkan di atas akuariumnya. Firman, salah satu tim Diana, Sempat membuat janji bersama Mahendra, menjalankan terapi dan menggali temuan terbaru terkait Mahendra yang ternyata tidak bisa dinyatakan benar-benar usai terhadap sindromnya.     

Apa pun yang berkaitan dengan ke sehat mental memang tak bisa serta-merta pulih 100% seperti orang normal pada umumnya. Penyakit ini mirip tipes, atau demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi yang menyerang usus. Penyakitnya boleh pergi, tapi seseorang yang pernah terjangkit tipes sewaktu-waktu dapat kambuh kembali. ketika imun tubuh lemah, bakteri tersebut mampu mendominasi dan mengacaukan fungsi pencernaan. Sebab bakteri salmonella yang menjangkit tubuh seseorang tidak akan pernah pergi, mereka akan tetap berada di sana. Menjadikan tubuh tersebut sebagai inangnya.     

"Aku sempat menghubungi firman, kuberitahu kalau aku tidak bisa menemuinya, istriku tidak mau ditinggalkan. Dia merengek dan menangis semalam," Hendra asyik memainkan sesuatu dengan handphonenya.     

"Anda sudah tidur dengannya?" Maksud Diana ialah Aruna, "apa yang terjadi semalam?" Diana meninggalkan ikan-ikannya. Dia berjalan mendekati Mahendra yang sibuk membuat sentuhan pada layar handphonenya.     

"Jawab dulu," Sang dokter memungut handphone dari tangan Mahendra.     

"Jawab apa?" pasien tersebut sejak tadi ternyata kurang begitu konsentrasi.     

"Apa yang terjadi padamu? bisa tidur dengan istrimu? Bukannya.. melihatnya saja tidak berani?" Diana merasa ingin menghujani lebih banyak pertanyaannya. Namun di tahan sebab sudah cukup banyak.     

"Ya, aku tidur dengannya, awalnya memang kututup mataku, tetapi Aruna memaksa dan melepas kain itu dari mataku," Sekarang Hendra malah bermain memanfaatkan tempat duduknya, dia memutar tempat duduk tersebut supaya condong ke depan daripada rebahan.     

"Reaksi apa yang terjadi setelah melihatnya?" Diana amat pemasaran. Perilaku Mahendra tumpang tindih kali ini.     

"dadaku seperti tertekan, sakit dan nyeri,"     

"tapi kamu baik-baik saja dan tidak pingsan?"     

"Memang tidak,"     

"heemm.." Diana berdehem, dia kesulitan memahami apa yang terjadi pada Mahendra. Mengapa reaksi tubuh Mahendra tidak konsisten.     

"Apa yang terjadi? Mengapa psikiaterku terlihat banyak pikiran" goda Mahendra terhadap dokter yang sempat mengatakan bahwa pasiennya sembuh 100% di hadapan persidangan.     

"Krisis mental memang aneh. Namun reaksinya konsisten,"     

"ketika tidak konsisten artinya?" Mahendra memenggal kalimat dokter Diana.     

"ada beberapa faktor yang mendorong menjadi berbeda," Diana melengkapi pertanyaan Mahendra.     

"Anggap saja seperti itu,"     

"jadi faktor apa yang mempengaruhi?" Diana memilih memahami kondisi Mahendra dengan terdiam mengamati pasiennya. Perempuan ini sabar menanti penjelasan Hendra.     

"yang mempengaruhi tubuhku hingga pingsan, masih sama," balas Mahendra.     

"kamu takut dia kesakitan dan pergi meninggalkanmu selamanya?" Mahendra mengangguk.     

"tapi Kenyataannya kamu pingsan ketika istrimu sudah tidak ada di lokasi kejadian," lurus Diana mencari tahu kronologi sesungguhnya.     

"Aku melihat gunting itu berlumuran darah, kau tahu itu sangat menyakitkan bagiku, Aku membayangkan bagaimana dia dianiaya. aku bertanya-tanya, memikirkan Apakah dia pasti selamat" suara berikut lambat dan bergetar.     

"Lalu semalam kamu bisa tidur dengannya? Aku yakin dia masih menunjukkan bekas luka di wajah maupun di tubuhnya," Diana bingung bagaimana Mahendra bisa melihatnya dalam kondisi yang tidak begitu baik.     

"istriku mencium, bernafas, bergerak, berbicara denganku. sejak awal, sejak dia masih di ICU. Sesungguhnya aku bisa melihatnya. Terlebih mata coklat itu tentu saja terbuka ketika aku datang,"     

"Lalu kenapa kamu menutup mata?,"     

"sebab aku pecundang," alis Diana mengerut, hampir menyatu mendengarkan kalimat ini.     

"Apa kamu lupa, Aku bukan laki-laki baik sampai aku bertemu istriku, ingatlah.. aku bisa kasar, pemaksa dan mampu berbuat apa saja," perlahan tapi pasti Diana mulai menemukan titik temu.     

"apa yang kamu rasakan ketika akhirnya berkesempatan melihatnya?"     

"Seolah hasrat terpendamku bangkit,"     

Deg     

Ini detak jantung dokter Diana, mengamati senyum janggal Mahendra.     

"hasrat yang ingin kamu tahan dengan berusaha tidak melihat penderitaan yang dia alami?" Diana mencoba menduga cara berpikir pasiennya. Seorang tuan muda yang dia ikuti perkembangannya baik secara fisik maupun mental.     

"Itu yang terjadi padaku sekarang. sayang sekali, Aruna menginginkanku membuka mata untuknya,"     

Diana terlihat lebih kalud dari pada pasien yang kini konsisten berbicara blak-blakan kepadanya.     

"sorry, Apakah artinya saat ini kamu membidik seseorang untuk di jadikan target?,"     

"bukan seseorang, akan tetapi sekelompok besar,"     

"sejauh mana hasratmu,"     

"Aku menginginkan kehancuran mereka, kalau perlu membunuh satu persatu," tangan Diana menggenggam, "maaf karena kau psikiaterku, aku harus menceritakan apa adanya, -bukan?" yang bicara tersenyum. Lawan bicaranya menatap penuh makna.     

"boleh aku membuat kesimpulan?" Diana mengkroscek ulang pemahamannya dengan pertanyaan yang akan dia ajukan.     

"Anda pingsan di tempat kejadian karena melihat benda tajam yang digunakan tersangka untuk menyiksa Aruna?" mata Diana melirik sejenak kepada Mahendra, setelah membacakan pertanyaan. Mahendra mengangguk membenarkan pertanyaan Diana.     

"Terlebih aku tahu dia di temukan tidak sadarkan diri. aku tidak melihat nafasnya, imajinasi di kepalaku cukup mengerikan," Tatapan Diana masih penuh makna. sang psikiater akhirnya sedikit demi sedikit mulai memahami sudut pandang pasiennya.     

"lalu ketika dia dinyatakan siuman, kamu merasa tidak berkenan melihatnya bukan sekedar karena kamu bisa jadi akan pingsan? Tapi lebih dari itu,"     

"Aku takut pada kemungkinan-kemungkinan yang ada pada diriku, bangkit dari diriku," Diana mematikan audio rekamannya.     

Melihat Diana yang mulai merapikan diri. Mahendra duduk lebih tegap.     

"tetap berusaha menjadi pribadi yang terbaik, ingat istrimu dan bayi yang ada di kandungannya, ketika kamu merasa dorongan itu semakin kuat," Diana melempar harapan kepada pasiennya, dia ingin melanjutkan ucapannya akan tetapi Hendra keburu bicara.     

"Masalahnya aku terlanjur melihat istriku dalam kondisi fisik seperti itu, aku tidak akan bisa mengendalikan diriku kali ini," Mahendra mengais handphone yang sempat di sisihkan Diana.     

"Fokuslah pada kebaikan yang ada padanya, jangan pada luka fisiknya, semoga aku dan timku mampu mencari sesuatu yang bisa kau jadikan pegangan," Diana berjalan menuju meja kerjanya.     

"Aku tidak butuh obat apa pun, aku sudah ditunggu Aruna," Hendra berdiri tegap di hadapan meja kerja Diana, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.     

"Lihatlah! Bocah kecilku sebentar lagi jadi ayah," Dr. Diana menggoda dengan senyuman, dan mata biru memerah.     

Sang dokter berkelana dalam ingatan jangka panjang, terkait perjuangan mereka berdua. Hingga akhirnya bocah keras kepala kini bukan sekedar dewasa, dia akan menyandang status ayah.     

"Harusnya dulu kau nikah lagi, mendapati keberkahan berupa penerus seperti keajaiban sedang menyapamu," Monolog Hendra menimbulkan anggukan kepala.     

"Aku membesarkan banyak anak, hal itu sama menakjubkannya," dokter tersebut selesai menuliskan resep.     

"Sudah aku bilang, aku tidak mau minum apa pun,"     

"cobalah patuh seperti mommy-mu, apa kau tidak merasa dia perlahan-lahan berubah," Diana berjalan mendekat lalu menempelkan kertas resepnya di dada mata biru.     

"Oh' dia.. akhirnya mau menjalani terapi?"     

"bukan cuma mau, Gayatri sangat antusias. Cobalah memberi kesempatan kepadanya berkomunikasi denganmu, aku yakin Gayatri pasti sangat senang," Mahendra akhirnya memungut resep sang dokter dan meletakkannya di kantong celana. Lelaki bermata biru tersenyum sebelum punggung itu menghilang di balik pintu.     

.     

Dokter dengan rambut campuran Antara Hitam Dan putih kini duduk di meja kerjanya, memperhatikan alat perekam suara. Sesaat kemudian tangan itu memencet sesuatu dan kembali mendengarkan wawancara yang barusan dia jalankan bersama Mahendra.     

Ada ingatkan yang turut terbang menuju masa lalu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.