Ciuman Pertama Aruna

III-83. Senyum Kecil



III-83. Senyum Kecil

0Seorang suster masuk, memberi kabar gembira, "istri anda siuman, apa anda ingin menjenguknya?" tawar suster.      

Hendra tidak memedulikan lagi lawan bicaranya, Raka. Pria itu bangkit dari tempatnya duduk, melangkah ke arah nakas dan sebuah gerakan membuka laci dia pertontonkan. Ternyata pria bermata biru tersebut mengais penutup mata, sebuah sapu tangan persegi yang di lipat menggulung tergenggam. Ini sapu tangan yang kemarin dia kenakan untuk memasuki ruang perawatan istrinya.      

Lelaki yang tadinya mengikuti langkah ringan suster, kian lama kian tidak tahan dia berjalan cepat karena di pacu oleh rasa yang membuncah di dada. Mahendra ingin segera berjumpa istrinya.      

Sambil setengah berlari dirinya merasa mendengar panggilan, suara Anantha yang datang bersama bunda indah memanggilnya, nyaring menyapa suami Aruna, "Hendra.. hai.. Mahendra.." dan lari lelaki bermata biru terhenti, tubuh tinggi tersebut berputar 180 derajat.      

Anantha mendekat dengan gerakkan cepat, di susul perempuan berbalut sweter yang sibuk dengan barang bawaan, "ada apa? Mau kemana?" tanya Anantha.      

"Aruna sudah siuman aku ingin melihatnya sekarang," suara ini beradu dengan nafas naik turun efek berlari.      

"Oh, tuhan.. syukurlah," ini suara bunda indah di sertai mata yang perlahan menampilkan semburat merah.      

"Baiklah segera lihat dia," Hendra mengangguk mendengarkan ucapan Anantha, "Tunggu sebentar," baru saja dia berbalik kembali Anantha menghentikannya, "kami membawakan sarapan untukmu dan para penjaga, kita letakkan di mana?" Hendra mengamati dua tangan Anantha masing-masing membawa kantong besar demikian juga pada tangan kanan bunda Indah.      

"Kamar tempatku mendapat perawatan, kamu masih ingat?" Anantha mengangguk dan lelaki ini bergegas pergi. Termasuk kakak Aruna berserta ibunya yang terlihat bergegas menuju tempat yang di maksudkan Mahendra sambil masih kesulitan dengan barang bawaan.      

.      

Hatinya resah, luar biasa resah, terutama ketika memasuki ruang ICU pembaringan sang istri. Dan untuk kedua kali bersama di pasangnya lapisan baju prosedural medis menutup mata tersebut terpasang pada tempatnya. Beberapa suster menatap aneh, mereka bertanya-tanya mengapa pria perpaduan Jawa-England tersebut punya permintaan yang tidak wajar.      

.      

Ketika sosok lelaki bermata biru di tuntun tenaga medis perlahan tertangkap keberadaannya. Perempuan yang tidur dengan posisi miring tersebut memperlihatkan senyum kecil di sudut bibir sayang sekali sang pria tidak bisa melihat ini. Dia pasti bahagia andai bisa melihatnya. Melihat Aruna yang berusaha menerbitkan senyum manisnya.      

Detik ini serasa dunia berhenti, dia mulai meraba, meraih tangan dan merundukkan kepalanya membuat kecupan. Ketika tangan tersebut di genggam ringan, genggaman lain menyapa. Genggaman yang lebih halus berasal dari tiga buah jari menyentuh lembut tangan yang menggenggamnya. Sentuhan yang tak begitu jelas akan tetapi teramat kuat di benak Mahendra, sebuah rasa yang sangat luar biasa. Istrinya benar-benar siuman.      

"Kamu sudah bangun sayang?" Hendra bertanya berharap bisa mendengarkan suara Aruna, sayangnya jawaban berupa senyuman yang sudah di usahakan sang istri tidak bisa dia lihat. Dan pria yang tidak mendapatkan jawaban ini mencoba peraih wajah istrinya.      

"Terima kasih.. Terima kasih, sayang," suara lelaki tersebut bergetar, "Sudah berjuang untukku dan bayi kita," Aruna yang tidak menyadari dirinya sedang mengandung sempat melebarkan matanya.      

Pria yang meraba dengan lamat tiap sudut wajah istrinya, merasakan mata perempuannya basah. Aruna sedang menangis, menangisi harapannya mengandung buah hati bersama Mahendra telah terwujud. Tangan kanannya yang lebih mampu bergerak menapaki perut, merasakan sesuatu yang di dalam walaupun tidak benar-benar ada rasanya tapi dia teramat bahagia.      

"Hen.." dia memanggil dengan suara lirihnya dan lelaki itu mendekat, mengusahakan wajahnya tidak jauh dari wajah istrinya, "Aku baik.." suara ini sempat hilang sejenak, "baik saja.." dan nafas Aruna berhembus hangat "jangan bersedih.." suara tersebut menghilang lagi, "Senyum.. Tersenyumlah.." bukannya tersenyum lelaki ini membasahi penutup matanya, dua hari ini hatinya di landa remuk luar biasa.      

"Dia ingin melihat papinya tersenyum.." Aruna tahu pria dalam penutup mata sedang berduka. Tangan Hendra yang bergetar tiap kali merabanya ialah simbol kegelisahan yang tak perlu di konfirmasi lagi.      

Pria berduka tersebut berusaha tersenyum, tepat ketika tangannya meraba perut sang istri, keduanya kembali saling bersentuhan tangan. Mahendra mendapati jemari tangan kanan Aruna yang lebih mudah di gerakkan membimbingnya mendekap dan mengelus janin di perut.      

Laki-laki ini sungguh tak tahan, rasa bahagianya terlalu mengharukan. Sembari mengelus perut istrinya sang calon ayah mendekati wadah tempat janin bersemayam. Mahendra mencium perut Aruna yang terbaring miring ke arahnya.      

Rambut pria yang menciumi perut istrinya mendapatkan sentuhan berupa elusan di kepala. Dia akhirnya bisa menerbitkan senyum walau terpaksa.      

.      

"Tuan sudah waktunya Anda keluar," seorang suster mengingat waktu pendampingan telah usai.      

"Hen.." tapi perempuan sakit ini menerbitkan suara keluhan. Panggilan yang mengisyaratkan tidak ingin lelakinya pergi. Ujung jari Mahendra ia genggam.      

"Kenapa aku harus keluar?" Mata biru ikut keberatan.      

"Kami akan melakukan pemeriksaan pada nona," jawab suster.      

"Aku tidak akan melihatnya, artinya aku masih bisa di sini kan?" dia yang bicara sedang mengusahakan sesuatu yang sebenarnya cukup mustahil.      

"Anda akan melanggar peraturan Kementerian Kesehatan NO. 69 tahun 2014," canda dokter Martin mengurai ketegangan pasien VVIP yang bersih kukuh ingin mendampingi istrinya.      

Mahendra yang masih dalam balutan penutup mata di dekati sang dokter, dia di bimbing untuk keluar. Sayangnya masih saja keras kepala, "Aku tahu Anda tidak akan bisa mendengarkan rintihannya," bisik sang dokter di telinga tuan muda, "kami akan membalut ulang lukanya, Anda yakin bisa berada di sini?" dorongan sang Dokter akhirnya di terima oleh Mahendra dengan lapang dada. Demikian juga Aruna yang di tenangkan para suster.      

***      

Kiki sudah rapi pagi ini. Akan tetapi dia enggan masuk ke dalam ruangan. Dia tak mau bertemu dengan Thomas, hatinya masih terbakar sebab pertengkaran semalam. Parahnya mata gadis ini bengkak karena rasa takutnya semalam berada di ruang terbuka klinik sungguh menakutkan di benaknya. Kiki tidak bisa tidur dengan benar. Semua karena lelaki tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih.      

.      

"Dimana Kiki dok?" Thomas bertanya.      

"Di luar," jawab singkat sang dokter sambil kembali merapikan perban untuk Thomas.      

"Dia masih marah padaku ya.." Thomas sadar dialah yang bersalah semalam.      

"Kalian bertengkar,"      

"ya, sempat berdebat,"      

Setelah usai perawatan yang di jalankan sang dokter, pria berambut sebahu tersebut mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.      

"Untuk apa?" tanya dokter melihat sebuah tangan besar meletakkan gelang jam pada mejanya.      

"Aku hanya punya ini dok," lelaki ini berdiri dengan bantuan penyangga, "Anda boleh teka percaya, tapi benda ini asli," benda yang di serahkan Thomas adalah Ballon Bleu de Cartier watch 42 mm, steel, leather senilai enam ribu dollar.      

Dokter tersebut hanya tersenyum, "dari pada kamu menyerahkannya padaku kenapa kau tak meringankan beban Kiki," sang dokter menggeser Cartier watch ke arah berdirinya Thomas, "Klinikku bisa mengklaim tagihan pengobatanmu dengan memanfaatkan tunjangan kesehatan yang di miliki Kiki," lengkap sang dokter, dan pria tersebut kembali mengantongi benda miliknya ke dalam saku celana.      

Dia keluar dengan canggung menemui Kiki yang duduk terdiam. Saking canggungnya Thomas bahkan tak berani menyapa duluan. Thomas memastikan dirinya tertangkap Kiki, dia mendekat supaya tertangkap mata dengan berdiri di depan Kiki. Sehingga pandangan menunduk Kiki masih bisa melihat ke datangnya dan ketika mendongak wajah Thomas sudah ada di sana.       

"Huuh," Kiki membuang nafas kekesalan, meninggalkan tempat duduknya memimpin lelaki tersebut keluar dari klinik.      

.      

"Kiki maafkan aku," dari arah belakang seorang pria mendekati telinga perempuan yang saat ini sedang fokus mengendarai motor berkecepatan tinggi. Kiki mengejar jam kerjanya yang sesungguhnya hampir mustahil terkejar.      

"bisa diam nggak?" sang perempuan seperti biasa ketus tiada obatnya. Lampu hijau hampir berubah merah dia meningkatkan kecepatan supaya masih bisa terkejar.      

"Kiki aku sungguh minta maaf," dengan sepenuh hati pria ini mengujarkan kalimat permintaan maaf.      

"Sial," umpat si gadis seiring decit ban motor bergesek kan kasar dengan aspal. Lampu hijau tidak terkejar dan matanya terus saja menatap jam tangan.      

"Aku.. Em.. Aku juga ingin berterima kasih karena-" Thomas masih belum mau diam dia ingin perempuan di depannya memahami ketulusan hatinya.      

"Kau mau berterima kasih??" Suara kemarahan malah terbit dari mulut Kiki.      

"iya.."      

"Kalau kau mau berterima kasih turun dari motorku sekarang juga!" galak Kiki.      

"Em.. Maksudmu?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.