Ciuman Pertama Aruna

III-81. Mantan Penyidik



III-81. Mantan Penyidik

0Tepat ketika pintu ruang perawatan terbuka dan penutup mata di turunkan oleh Mahendra, dua orang asing hadir di antara mereka. Salah satu dari mereka mendekati CEO Djoyo Makmur Grup, "kami minta waktunya sebentar," ungkapan tersebut membuat Mahendra menautkan alisnya.     

Bukannya menjawab Hendra malah bertanya pada yang lain, "Siapa mereka," seseorang yang kini paling dekat dengan Hendra ialah Surya, kawan dekat CEO DM grup lekas menjawab.     

"Penyidik kepolisian," singkat Surya mengamati diamnya mata biru.     

"Aku ingin istirahat," hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Mahendra. Menyadari rekannya sedang tidak mau di ganggu Surya secara sepihak bergerak bernegosiasi supaya penyidik kepolisian pergi.     

"Ini untuk membantu anda mengungkap pelakunya, harusnya anda memberi kami kesempatan," mereka tidak mau mundur, mengabaikan kalimat-kalimat negosiasi Surya.     

"Saya akan menyewa detektif swasta, kalau anda-anda ingin membantu saya persilahkan, sayangnya hari ini bukan hari yang mudah untuk saya lalui," di balik kata-kata yang tersusun oleh mata biru ada seorang ajudan yang mendekat, Herry mencoba menyusup di antara mereka. Demikian juga Andos yang mulai berdiri selepas kedatangannya dari Djoyo Rizt Hotel, "jadi saya sedang berusaha menenangkan diri yang artinya saya ingin istirahat," monolog Hendra membuat dua orang penyidik saling melirik.     

Mereka tahu yang di ajak bicara bukan orang sembarangan, terlebih orang-orangnya perlahan mengusung gerakan. Dua orang penyidik mulai mengurungkan niat, dan Surya melengkapinya, "Saya yang terakhir bertemu nona Aruna sebelum kejadian buruk menimpa. Silakan jika anda ingin menggali informasi dari saya," dan mereka mundur seiring ikut sertanya Surya bersama kedua penyidik kepolisian.     

Malam itu, lelaki Mahendra tak mampu memejamkan mata. Setelah keluarga istrinya berpamitan dan mommy serta opa Wiryo undur diri menyisakan Surya yang akhirnya di usir Mahendra sebab dia memang seharusnya pulang supaya tidak di khawatirkan istrinya. Tinggal Andos dan Herry di tempat ini.     

Herry dan ajudan Raka yang datang di minta untuk menjaga pintu ICU tempat istrinya di baringkan sedangkan pria ini kembali duduk dari tidurnya yang sama sekali tidak nyaman.     

"Aku sudah tidak tahan dengan cara kerja kakekku," ungkap Hendra membuat Andos ikut terbangun.     

Dia masih mencoba mencerna kalimat mata biru.     

"sampai kapan kita akan bertahan padahal musuh sudah jelas-jelas di depan mata. Dan bagaimana cara kita menghentikan ketika satu persatu anggota keluarga ini mendapatkan ancaman. Memaksa para perempuan bersembunyi sampai kehilangan kehidupan wajar," Andos mulai memahami arah pembicaraan ini.     

"Saya sudah berulang kali menyampaikan hal ini pada tetua Wiryo, tapi beliau masih saja memilih bertahan dari pada menyerang," balas Andos.     

Wajah Hendra mengeras di balik cahaya temaram, "bagaimana hasil penyelidikan Raka, ada perkembangan?"     

"Raka dan timnya masih bekerja," maksud Andos belum ada sesuatu yang bisa di laporkan saat ini.     

"Aku bisa saja membubarkan lantai D kalau mereka tak becus mengungkap kasus penyerangan terhadap istriku,"     

"Bersabarlah tuan, anda tahu lantai D baru pulih setelah kepergian Thomas. Sampai sekarang jasadnya juga belum di temukan, banyak spekulasi bertebaran di kalangan mereka dari ruang bawah tanah," Andos berusaha mereda gejolak hati Mahendra.     

"Sesuai dugaanku, tak meleset sedikit pun. Setelah bom itu mereka akan terjebak dalam kecurigaan dan saling merenggangkan satu sama lain," ekspresi lelah Mahendra menjadi berbeda detik ini, dia menyala-nyala.     

"Sungguh tidak profesional, lebih profesional karyawanku yang berada di permukaan, aku akan membubarkan kapan saja ku mau," dia berapi-api meletupkan kemarahan.     

"jangan gegabah," suara Andos sempat meninggi mengimbangi kemelut yang terpancar dari getaran kata-kata Mahendra, "kita tidak memiliki power struktur di luar sana, setuju maupun tidak setuju anda tidak bisa memungkiri ke digdayaan Djoyo Makmur Grup sebab sepak terjang lantai D. Jangan lupa tetua Wiryo membangunnya lebih dari 35 tahun,"     

"Aku tidak peduli! Yang tak berguna harus di singkirkan," suara Mahendra mengeras.     

"Anda harus peduli tentang ini! Tolong anda boleh kecewa, tapi tak boleh gegabah," Andos sama meningginya.     

Dan keduanya membuang nafas kekecewaan masing-masing, "istriku, istriku terlalu parah Andos," setelah diamnya akhirnya Mahendra kembali mengurai kata, ini ialah kalimat frustrasinya. Dia sedang mencari kawan untuk mengurangi beban. Terlalu berat kali ini. Paling berat sejujurnya, dia tidak pernah merasakan perasaan sehancur hari ini. Dulu mata biru lebih mirip robot hidup. Dibandingkan manusia, dia menjalani hari-harinya sesuai dengan prosedur yang sudah diatur untuknya. Jadi merasakan rasa kecewa yang teramat, atau pupus hati akibat orang yang kucintai mengalami hal buruk ialah pengalaman pertama dan amat mendalam baginya.     

"bersyukurlah istri dan bayi anda masih selamat, aku kehilangan keduanya," bibir Andos bergetar mengingat kematian sang istri dan putranya setelah penculikan mereka.     

Jantung Mahendra ikut berdetak, dulu dia merasa biasa saja setiap kali Andos menceritakan kepergian istri dan anaknya. Kini rasa-rasanya dia mengerti beban berat yang di pikul Andos selama ini.     

"Jika aku jadi anda akan aku gunakan kumpulan energi kemarahanku untuk melenyapkan lawanku," Hendra yang tadi berbicara tanpa menatap mata Andos yang tersembunyi di balik temaram lampu kini malah terpusat kepadanya.     

"buat mereka menyesal telah melakukan kebrutalan kepada istri anda, kalau perlu hancurkan sehancur-hancurnya sama dengan hancurnya hati kita," entah bagaimana kalimat Andos mirip sebuah motivasi. Dan Hendra tersenyum janggal mendengar stimulus Andos yang tampaknya berhasil menerbitkan sesuatu di dalam diri Mata biru, entah apa itu.     

"Pinta Raka menghadap padaku besok pagi," Andos mengangguk mendengarkan ini.     

"Kita butuh tenaga untuk membuat mereka menyesal -bukan? Aku akan tidur dan mengumpulkan energiku," kalimat Mahendra sebelum dia meletakkan kepalanya di atas bantal dan berusaha terpejam.     

_Akhirnya papa semakin dekat dengan misi papa, tunggu papa membalas perbuatan mereka_ Batin mantan penyidik.     

***     

"Ini sudah sangat malam, kalau aku meneruskan pengobatan luka.." sang dokter tidak tahu nama pasiennya, "Em.. siapa namamu," dia bertanya.     

"Thomas," jawab ringan Thomas sambil meringis menerima banyak siraman cairan untuk membersihkan luka yang mengalami peradangan akibat infeksi bakteri Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes.     

"Baik Thomas, aku akan menyelesaikan ini supaya kamu bisa tidur, dan besok kita lanjutkan lagi," lengkap sang dokter.     

"Tapi dok, rumahku jauh dan besok aku harus bekerja, belum menyiapkan sarapan ini itu untuk mereka," Kiki tidak pernah punya cara bicara yang menjenakkan telinga. Masih saja kalimat protes yang terdengar dari dia.     

"Maka dari itu Kiki, tidur saja di sini, besok pagi selepas subuh akan aku selesaikan sebelum berangkat dinas," ujar dokter merapikan peralatan.     

"Yang benar saja dok! Kenapa tidak di selesaikan sekarang?" tampaknya gadis ini memang suka bicara dengan intonasi melompat-lompat. Bikin gemas pendengarnya.     

"Huuss.." sang dokter meletakkan jari telunjuknya di atas bibir, guna mendiamkan si cerewet Kiki.     

"Lihat perawat-perawat itu, wajahnya jute sudah mirip wajahmu," dibalik ungkapan sang dokter, ada pria yang tersenyum mendengar kiki dikata-katai jute, "mereka juga punya keluarga, Kalau hari ini aku terus bekerja menyelesaikan luka Thomas, besok Klinikku bisa-bisa tutup. Karena aku kecapek-an dan para perawat cuti dadakan," dokter tersebut mengangkat bahu minta di mengerti dan Kiki tak mampu memprotesnya lagi.     

"Terus aku tidur di mana dong?" Kiki belum bisa terima.     

"nanti pembantuku akan mengantarkan alas tidur, selimut, dan bantalnya sekalian," rumah dokter ini di sebelah klinik, sebab klinik yang didirikan sang dokter memang klinik pribadi miliknya.     

"Huaaah," dokter tersebut menguap, "Aku capek sekali," memukul punggungnya dengan tangan mengepal, lalu menghilang di balik pintu.     

Tak butuh waktu lama dua orang pembantu rumah tangga mengantarkan alas tidur dari busa lipat, selimut beserta bantalnya. Yang pasti, kini Kiki sedang bingung. Dia ingin tidur di luar, sayangnya di luar cukup gelap. Kalaupun lampunya dinyalakan, suasana rasanya tetap mencekam. Entah bagaimana bau obat dan suasana klinik selalu menakutkan bagi siapa pun.     

"Aku akan tidur di sini," kalimat ini diucapkan dengan ringkas, tanpa menatap Thomas. Lalu gadis itu buru-buru masuk ke dalam selimut, "bukan karena aku takut di luar," dia yang berbicara sedang memunggungi lawan bicaranya.     

Posisi mereka berbeda, Thomas ada di atas, di ranjang pasien. Sedangkan Kiki di bawah, beralaskan busa lipat.     

"Tunggu sebentar, ... ... Kemarin kamu bilang ingin telepon seseorang -kan?" ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.