Ciuman Pertama Aruna

III-79. Menggali Kenangan



III-79. Menggali Kenangan

0Sang kakak memungut handphone dan mendorong infus, menyusul langkah Mahendra yang sekarang tertangkap mata sedang berlari.     

Tepat ketika Mahendra telah sampai pada ruang tunggu, tempat di mana istrinya masih di beri pertolongan pada balik pintu. Terlihat dari kejauhan sang ayah bangkit dari duduknya, berjalan menuju Mahendra, "bagaimana ini semua bisa terjadi!? Apa kau kekurangan ajudan untuk menjaga putriku," suara ayah Lesmana memekikkan telinga. Beliau sedang kecewa dan tidak peduli menantunya kini berada dalam kondisi paling nadir.     

Hendra terdiam seribu bahasa, bersama gerak kaki gontai mendekati pintu di ujung sana.     

Dia yang sedang berada dalam titik terendahnya, tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk membalas kemarahan Lesmana. Tubuh Mahendra diguncang berulang, sang mertua sedang menagih janjinya; menjaga putri kecilnya sebaik mungkin. Mereka sama frustrasinya, dan sang ayah sesungguhnya sedang mencari pijakan untuk meluapkan rasa khawatir yang membelenggu dada. Perilaku Lesmana membuat hati tiap mata yang menatap kian getir. Opa Wiryo membuang muka, dia tidak bisa membantu cucunya. Apalagi mommy Gayatri.     

Untungnya Anantha segera datang, menarik mundur tubuh ayah Lesmana agar menjauh dari Mahendra. Seorang bapak sedang mengintimidasi anak mantu yang tidak mampu melindungi si bungsu.     

"ayah! Hentikan!" Ananta menyeret tubuh Lesmana supaya menjauh dari Mahendra, "apa Ayah tidak sadar, Hendra lebih kacau dari siapa pun," gesit Anantha menyadarkan Lesmana. Sang ayah yang kacau tersebut dipaksa duduk oleh putra sulungnya.     

Setelah selang beberapa lama, terlihat pintu terbuka. Para penghuni tempat duduk di depan ruang operasi langsung berdiri menyambut suster yang keluar dari balik pintu. Kenyataannya perempuan berbaju putih tersebut sedang meminta tambahan kantong darah.     

"Ada keluarga yang bisa memberikan darah untuk pasien?" Lesmana dan Anantha yang sempat berdiri mendekati suster bersama Hendra dan yang lain. Bukannya menjawab pertanyaan, tetapi malah terpaku dan membeku tanpa kata.     

"Akan kami carikan darahnya," inisiatif Lesmana berikutnya menjawab pertanyaan suster.     

"Ada apa ayah?" bunda indah ikut berdiri menanyakan keadaan yang mendorong suaminya buru-buru meraih jaket dan mengenakannya di badan termasuk Anantha yang turut panik dan bersiap ikut sang ayah.     

"tidak ada apa-apa bunda, bunda di sini dulu,"     

Seiring mengamati gerak-gerik Ayah dan Kakak istri, Hendra menerbitkan kalimat tanya "Apa golongan darah istriku?" Tanya Hendra pada suster, dia merasa firasat lamanya terkonfirmasi detik ini.     

"A," jawab suster sebelum akhirnya kembali menghilang di balik pintu.     

"Tunggu!" Hendra menghentikan langkah Lesmana beserta Anantha yang bergegas membuat keputusan tanpa berdiskusi dulu dengan yang lain.     

"adakah di sini yang memiliki golongan darah A?" Mahendra bertanya, bukan Anantha, bukan ayah Lesmana, bahkan bukan pula sang bunda Indah yang memberi jawaban pasti terkait golongan darah A. Mommy Gayatri yang berdiri menyatakan dirinya memiliki golongan darah yang sama dengan Aruna.     

Sejalan berikutnya Gayatri menghilang di antara kerumunan, dia menjalani prosedur transfusi darah. Hal tersebut kian menjadikan suasana di seputaran pintu tempat Aruna berjuang kian senyap tanpa suara.     

Masing-masing dari mereka terkurung, masuk ke dalam perenungan, tiga orang keluarga Lesmana menggali kenangan lama, sedangkan keluarga Djoyodiningrat yang kini menyisakan opa Wiryo serta Hendra, telah menemukan fakta yang tampaknya tak begitu mencengangkan bagi mereka.     

^^^     

Apa itu pernikahan?.     

Begitulah catatan buku kecil Aruna di ingat Mahendra, catatan pada bait-bait awal sebuah buku berharga yang dia bawa kemana-mana untuk memahami hati sang istri.     

Tentu saja aku tidak tahu apa itu pernikahan, karena kami tidak benar-benar menikah. Aku pikir aku akan menangis seharian, membuat penghayatan tentang nasib buruk ter-rampasnya kehidupan masa mudaku karena terpaksa menerima perjanjian pernikahan yang dengan berat hati di gulirkan ayah kepadaku.     

Aku jalani saja. Toh aku sudah sangat bahagia selama ini, di pilih oleh ayah untuk jadi putri yang sangat dia sayangi. Apa aku layak protes ketika kakak-kakakku juga mencintaiku seolah-olah aku berasal dari tempat yang sama. Apalagi bunda, jadi buat apa aku menangis kalau bunda saja sering membuatku lupa aku siapa.     

Untuk itu aku akan tetap memutuskan menjadi anak, putri dan adik yang baik untuk seluruh keluargaku sebagai rasa terima kasihku.     

_Apa maksud tulisan Aruna?_ ini tanda tanya Mahendra yang terbit di batinnya saat itu. Dan kini ia bisa menjawabnya, sang istri alias Aruna-nya, fajar bagi kehidupannya. Benar, bukan anak kadung keluarga Lesmana.     

Dalam kebekuan yang menyiksa, tiba-tiba sang ayah sudah berdiri di hadapan menantu yang pikirannya menghilang dalam kekosongan, dibawa pergi untuk berlari mengembara ke sana kemari.     

"Apa ayah perlu menjelaskan sesuatu padamu," Hendra menyadari kali ini bukan saatnya membahas hal-hal di luar konteks keselamatan janin dan istrinya. Si lelah fisik dan mental menggelengkan kepala.     

"Aku sudah tahu yang anda maksud, sejak dulu," Jawab Hendra mengunci kecanggungan yang membelenggu masing-masing manusia di sekitarnya. Dan Lesmana mengakhiri kekhawatiran dengan duduk di sebelah suami si bungsu.     

"maafkan ayah tadi,"     

"Tak apa, kita semua dirundung cemas,"     

Terdiam lama.     

"Apa Aruna yang memberi tahumu?" kembali Lesmana membuka percakapan.     

"Secara tidak langsung, -mungkin iya," Mahendra akhirnya mengangkat arah pandangannya.     

"dia pasti bisa melewati hari ini," kalimat optimis berikut berasal dari Lesmana.     

"aku yang tak sanggup menerima keadaan ini," mata Mahendra kembali menerawang kosong.     

"benar," Lesmana menarik bibirnya lurus, lambang Kegetiran, "walaupun aku seorang ayah, tetap saja, aku tak sehebat dia. Maaf kan pria yang mencari kambing hitam atas kecelakaan yang menimpa putrinya," dia yang bicara mengutuki perilakunya tadi.     

"aku pasti bakal melakukan hal yang sama, ketika aku jadi anda," Hendra kembali menundukkan pandangan, "aku tak tahu harus bagaimana?" dia benar-benar kembali kosong.     

"Aku bodoh sekali,"     

"mengapa aku tidak bisa menjaga anak dan istriku, "yang bicara mengangkat kedua tangannya dan kembali memegangi kepala.     

"Tenanglah nak," Lesmana menepuk bahu Hendra, "Hei, tegakkan punggungmu!" sang ayah kembali menepuk punggung menantunya sambil menerbitkan kalimat perintah.     

Hendra seketika tersadar dari kemelut kacau yang bersemayam di dirinya. Setelah mendengar nada perintah keras dan tegas meluncur dari ucapan ayah Lesmana.     

Lesmana berinisiatif menceritakan hal-hal indah tentang putrinya, masa kecil si bungsu yang turut mengkhiri hari-hari kelam keluarganya, "kami mengambilnya dari yellow House," Mahendra membuka lebar matanya setelah mendengarkan kalimat ini. Dari awal Lesmana bercerita, Hendra tidak fokus mendengarkan kecuali bagian ini. Bagian yang mengatakan bahwa Aruna berasal dari lembaga kesejahteraan sosial anak yang didirikan kakeknya.     

"Dia menggantikan putriku yang meninggal," bagian akhir kalimat ini ada tawa miris Lesmana, "Putri kandungku meninggal karena terlambat mendapat pertolongan, ayahnya terlalu sibuk bekerja. Kamu sudah tahu -kan' inilah latar belakang Kenapa Anantha sangat membenci ayahnya," tampaknya Lesmana berhasil mencuri perhatian suami si bungsu yang terlihat kacau bukan main.     

"Kau tahu Kenapa istriku memilihnya?" Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban, tapi Lesmana ingin Mahendra menggelengkan kepala. Sebagai wujud bahwa dia berhasil mengurai beban batin menantunya.     

"Karena anak 2 tahun itu fasih sekali menyebut kan namanya. Ketika Indah bertanya 'siapa namamu?' dengan riang dia menjawabnya 'Alruna', dan kami jatuh cinta hari itu juga." Sempat terdengar hela nafas Lesmana. Sebelum dia melanjutkan kalimatnya,     

"aku sempat menolak pilihan istriku, si kecil 2 tahun itu punya banyak luka bakar di tubuhnya, dari usianya 4 tahun hingga 5 tahun, beberapa kali kami menjalankan prosedur operasi," Lesmana akhirnya mendapat tatapan, mata biru yang ingin di curi perhatiannya,     

"harusnya ketika dia dewasa ada satu lagi prosedur operasi, sayang sekali hari ini aku baru mengingatnya," dan mata Mahendra mengerjap-ngerjapkan mendengarkan pernyataan mertuanya. Pasti yang di maksud sang ayah ialah noda pada sudut sisi kiri pusat candu istrinya.     

"Kau sudah melihatnya?" Hendra menarik bibirnya hingga lesung di pipi sempat tertangkap, dan sang ayah mengurai rasa damai.     

"Mana mungkin kamu tidak melihatnya, bukan kah kini menantuku akan jadi ayah," Hendra mengangguk ringan berbahagia, dan perlahan pria tersebut menemukan pijakan.     

"Aruna.. kamu tahu arti namanya?"     

Mahendra lekas menjawab, "Fajar, matahari hangat berwarna kemerah-merahan di pagi hari," Lesmana tersenyum.     

_itu sebabnya aku lebih suka fajar dari pada senja_ suara batin Mahendra.     

"Awalnya aku tidak tahu namanya seindah itu, Aku bahkan baru paham setelah dia berlari kepadaku membawa tugas sekolahnya, dia bertanya dengan riang, 'Ayah apa arti nama Aruna?'... ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.