Ciuman Pertama Aruna

III-76. Lepaskan Aku!



III-76. Lepaskan Aku!

0"Aruna.. ayo pulang," suara Dea memecahkan keheningan ruang Desain produk yang mulai sepi penghuni. Surya sudah berada di laur sana, punggungnya tertangkap jelas dibalik pintu yang berbahan kaca tembus pandang.      

"Hem.. iya.." Dea sudah melangkah lebih dari tiga langkah. Akan tetapi perempuan berhijab tersebut mengurungkan diri, dia kembali mendekati Aruna yang terlihat meletakkan kepalanya di atas meja kerja.      

"Kau sakit??" panik Dea setelah memegang dahi Aruna, "kamu hangat,"     

"Ah' benarkah?" Dia yang dikhawatirkan malah berbalik bertanya.      

"Bagaimana sih kamu ini, apa kamu tidak merasakan tubuhmu?"      

"Ah' aku memang sering meriang akhir-akhir ini," Aruna mengurai penjelasan, _aku masih syok dengan kejadian tadi_ Aruna belum bisa mengabaikan rasa  terkejutnya ketika di lempar se-gebok file oleh Anna.      

"Aku minta kak Surya memanggil Hendra untukmu ya,"      

"Em.. Terserah,"      

***     

"Dasar bodoh!" Kalimat kemarahan Kiki sungguh membuat Thomas keberatan.      

"Aku tidak bodoh," Thomas menyangkal plakat yang ditempelkan Kiki secara sembarangan. Kiki tidak tahu laki-laki yang di kata-katain bodoh tersebut adalah seorang negosiator ulung dengan riwayat pendidikan yang mengesankan, dia bahkan lulusan luar negeri.      

"Kalau tidak bodoh lalu apa??" Perempuan tersebut melempar jaketnya kepada Thomas. Thomas tidak tahu apa niat dari perempuan yang suka sekali marah-marah ini. Dia sekedar memandangi jaket dengan raut muka kesal.      

"Kenakan sekarang!" perintah Kiki, dan Thomas menatapnya pasrah, dia menuruti perintah Kiki bersama hembusan nafas menahan gejolak jengah hati di kata-katai seenaknya oleh perempuan yang bahkan tidak kuliah.      

"Ikut aku sekarang," setelah pergi beberapa saat, gadis bernama Kiki yang belum sempat istirahat dari pulang kerjanya menyerahkan Helm untuk Thomas. sepertinya kiki lelah marah-marah dia hanya menatap Thomas sesaat bersama caranya menggerakkan kepala tanda minta di ikuti. Thomas menggeser tubuhnya ke arah kiri mencoba dengan sangat menahan sakit pada paha, pria tersebut mengulurkan tangan masih kesusahan meraih penyangga. Padahal di luar sana motor matic Kiki siap melaju, suara starter menyusup hingga kamar sederhana dengan kondisi seadanya.      

"Kenapa lama sekali!!" gertak Kiki, dan terbungkam seketika saat matanya mendapati pria yang bersusah payah mengulurkan tangannya mencoba mendapatkan penyangga.      

"harusnya kau minta tolong, di situ ada bapakku," sang bapak nonton televisi di ruang tengah sebenar nya tak sulit bagi Thomas memanggilnya.      

"Aku terlalu banyak merepotkan," pria yang sedang berbicara akhirnya berhasil berdiri setelah menerima alat bantu dari tangan Kiki.      

"Sama saja, karena tak kau panggil bapakku. aku yang membantumu," kalimat ini mengiringi jalan cepat sang perempuan menuju motornya, selang beberapa lama pria dengan rambut sebahu berhasil duduk di bagian belakang. Thomas dibawa perempuan keluar rumah untuk pertama kalinya. lelaki yang kini mengenakan celana training merah mencolok dan kaos oblong syarat makna (berlambangkan wajah calon pemimpin) menarik lurus bibirnya. Dia senang melihat jalanan, denyut kehidupan yang sempat ia lupakan.      

"kita akan kemana, em.. ki.. kiki?" tanya Thomas.      

"Apa??" perempuan ini mengeraskan suaranya, gelombang longitudinal tersebut lebih banyak di bawa pergi angin malam dari pada ikut masuk kedalam telinga.      

"KITA AKAN KEMANA KIKI?" lebih keras Thomas melempar kalimat tanya.      

"Kedokter lah!, kemana lagi?! Kau mau kakimu busuk," sama nyaringnya Kiki konsisten kasar dan to the point.      

"Begitu ya.." Thomas kembali menarik bibirnya lurus antara senang dan getir jadi satu, "Terima.."     

"Sudah aku bilang aku tidak suka mendengar kata terima kasih," kata 'suka' mendapatkan intonasi penuh tekanan.      

"Kau orang yang aneh,"      

"Terserah,"      

***     

Dea pergi bersama Surya setelah salah satu dari mereka membuat panggilan kepada Mahendra. Dea melambaikan tangan, dan Aruna tertidur kemudian.      

Ketika perempuan ini membuka matanya, yang dia lihat nyala lampu temaram dan cenderung gelap.      

_Kenapa segelap ini?_ Batin Aruna di dalam hati. Dia memutuskan meraih tasnya dan memilih lekas-lekas menuju pintu. Belum usai langkah kakinya mendekati mencapai pintu. Lampu temaram, pemadam seluruhnya.      

Deg     

Aruna menyadari ada yang tak beres, dia bukan lagi melangkah melainkan berlari. Sayang sekali pintu terkunci. Secara mengejutkan ada ketukan kaki mendekat dari arah belakang punggungnya, tak butuh waktu lama langkah kaki yang mendekat menghasilkan tarikan menyakitkan.      

Rambut perempuan itu di jambak dari belakang, Aruna mempertahankan posisinya. Kedua jemari tangan mencengkram kuat daun pintu ruang desain project. Sambil meneriakkan kata tolong.      

Kepalanya yang berat kini kian nyut-nyutan, akan tetapi perempuan ini tidak mau menuruti seretan yang dipaksakan seseorang melalui jambakan rambut dari belakang.      

"Siapa pun yang dia luar tolong aku!!" Aruna tahu ini belum terlalu malam. Harusnya masih ada beberapa karyawan di luar sana. Memang ruang desain project berada di dalam ruangan lain, ruang yang berada di luar lebih dikenal dengan istilah marketing development. Ada dua pintu mencapai pintu terluar, Aruna juga tak mengerti, perasaan sebelum dia tidur tadi divisi marketing development masih dihuni berapa orang.      

Kini suasananya seolah sepi secara tiba-tiba. Perempuan yang melepas satu jeratan tangannya untuk memukul pintu, tak kuasa melawan tarikan yang di belakang. Tubuhnya terpelanting dan jatuh ke lantai.      

Dari bayang-bayangnya Aruna menyadari pelakunya sama-sama perempuan, dia juga berambut panjang walaupun wajahnya tidak terlihat.      

Tubuh terjatuh di lantai tersebut, masih saja di tarik rambutnya. Aruna berusaha meraih tangan yang menarik rambutnya kuat-kuat. Berharap pelaku melepaskannya. Kenyataannya manusia misterius tersebut kian menjadi-jadi, bersama teriakan minta tolong Aruna perlahan terseret mengikuti pelaku yang terus-menerus menarik rambutnya.      

"Lepas!! Lepaskan aku," istri Mahendra mengayunkan tas yang terlepas dari bahu. Setelah berulang ngayunkan.     

"Buk," wajah penyerang terhantam tas dan ia limbung spontan melepas rambut Aruna. Aruna kembali bangkit dan berlari menuju pintu lalu memukulnya berulang, ia mengharapkan pertolongan.      

"Percuma!" suara pelaku mengancam Aruna, yang sekaligus sebuah konfirmasi  bagi Aruna bahwa pelakunya benar-benar seorang perempuan.      

"Tolong!" Merasa percuma, Aruna merogoh isi tasnya, ia mencari handphone.      

"He.. haha.." pelaku tertawa dan kembali menarik rambutnya.      

Aruna mencoba membuat panggilan ketika sang pelaku yang mengoyak rambutnya kini memanfaatkan sebuah alat, dia memangkas kuncir kuda yang telah koyak tersebut.      

"Apa yang kau lakukan?!" Istri Mahendra menemukan rasa takutnya setelah menyadari sebagian rambutnya jatuh berceceran di bawah.      

"Hah! Ha-ha-ha," pelaku tertawa keras, bersama dengan handphone yang mendapatkan jawaban, [Hallo sayang kamu dimana? Aku mendatangi ruangan mu, sayangnya sudah kosong,]     

[Hen.. tolong..] suara tangisan mendorong lelaki di ujung sana berlari secepat dia bisa.      

[Kau di mana??]Mata biru menerbitkan kata tanya dengan nada bergetar, dia menyadari sesuatu terjadi.      

[Aku.. Aargh, lepaskan aku.. lepas!!]      

"Klatak," suara handphone terjatuh tertangkap telinga lelaki bermata biru.     

[Aruna.. Aruna!! Jawab aku!! Jawab!] lelaki yang kebingungan berlari mencari ajudannya, "Herry pergi ke bagian CCTV, cari tahu posisi istriku,"      

[Hendra… aku.. masih di ruanganku..]     

Deg     

Deg      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.