Ciuman Pertama Aruna

III-70. Hujan di Pagi Hari



III-70. Hujan di Pagi Hari

0Pagi menyapa, di balik jendela kamar lantai dua yang kini di tinggali sepasang suami istri. Jendela tersebut menyajikan butiran-butiran air membasahi kaca, ternyata di luar sedang gerimis.     

Aruna terbangun lebih awal, perempuan tersebut menggeliat, masih malas untuk beranjak. Suara rinai hujan dan hawa sejuknya membuatnya ingin berlama-lama bersembunyi di balik selimut.     

"Huuuh," ia yang terbangun menghembuskan nafas. Aruna mengintip di balik selimut. Sudah dapat di duga rasa nyaman di dada ialah ulah lelakinya.     

Tangan Hendra mendekap sebelah gundukan yang terbuka tanpa pembungkus. Tampaknya semalam ada yang melucuti kancing piama buah Cherry dan menurunkan salah satu dari pembungkus dua lingkaran di dada. Sehingga telapak tangan lelaki bermata biru mendekap sempurna di sana.     

Hendra terlalu banyak melakukan kenakalan semenjak mereka kembali satu ranjang. Bukan sekedar melobi jatah tiap hari dia juga kian lihai membangkitkan Aruna tiap saat. Alasannya selalu sama, "ini adalah jatahku yang kau abaikan selama berbulan-bulan bahkan tahunan sepanjang jadi istriku, aku sudah menunggu lama hingga hampir gila, sekarang tidak ada alasan menolakku."     

Potongan kalimat yang sudah menjelma menjadi mantra ampuh yang dia ulangan-ulang tiap saat hingga laki-laki tersebut tidak ada puasnya.     

.     

Aruna menurunkan telapak tangan nakal, ia duduk merapikan bajunya.     

"Berapa hari lagi menuju tanggal lima??" Hendra ternyata sudah membuka mata. Sambil malas dia mengirimkan suara yang lebih mirip dengan orang mengigau.     

"Tanggal 5 melulu isi otakmu," Aruna mengabaikannya membalik tubuhnya dan menggerakkan sebagian kaki berniat menuruni ranjang. Lelaki bermata biru bergegas bangkit. Menarik perut istrinya dan menjatuhkan sang istri.     

"Bagaimana aku tidak ke pikiran tanggal 5. Seluruh penghuni rumah induk kau bohongi dengan berita kehamilanmu," Hendra melepas bajunya.     

Aruna tahu pria itu menginginkan sesuatu.     

"Hen!"     

"Jangan menolak, aku sudah tidak tahan, semalam aku tersiksa, sampai-sampai tak bisa tidur," si lelaki memasang wajah penuh harap.     

"Ingat ini rumah Ayah, aku harus membantu bunda membuat sarapan, jangan berlebihan apalagi sampai lupa waktu," yang di ajak bicara mengangguk, sambil asyik melepas kancing baju sang istri.     

***     

Hendra menarik istrinya yang berniat keluar kamar. Mata biru mendapatkan sorot mata tajam, "sudah -kan'! Jangan bilang minta lagi?!"     

"Bukan itu.. rambutmu sayang," pria tersebut menarik istrinya menuju cermin.     

Aruna baru sadar rambut singa mengembang kemana-mana. Dia terkekeh mendapati seberapa buruknya keadaannya tiap kali menerima perlakuan dari Mahendra.     

Dan pemilik mata biru mencari sisir, setelah mendapati benda yang di inginkan, ia segera merapikan rambut istrinya.     

"warna merah ini, lihat ada satu yang lolos di leher," Aruna berkali-kali mengingatkan tapi Hendra sering kali mengabaikan.     

"Hehe," dia malah menerbitkan tawa nakalnya, "aku paling suka menyesapmu,"     

"Apa yang kau tak suka," cela Aruna.     

"di tolak," dia yang menyisir rambut telah usai menjalankan aktivitasnya.     

Dua pasang mata tanpa sengaja menatap cermin yang sama. Cermin memanjang yang jadi bagian dari almari, kini sedang menyajikan sepasang suami istri dengan tinggi badan tidak proporsional, yang satu terlalu tinggi.     

"Ada apa?" polos Aruna.     

"ingin memandikanmu tapi tidak ada mangkuk kuah," spontan Aruna membalik tubuhnya dan mendorong perut Mahendra.     

"Auu," dia mengeluh dan Aruna baru sadar perut suaminya masih memar.     

"Hen.. apa yang sebenarnya terjadi malam itu?" gelisah sang istri. Perempuan tersebut juga melirik lengan yang bersembunyi di balik piama lengan panjang hasil meminjam sang kakak.     

"sudah sembuh.. tidak ada yang perlu di pertanyakan," kata mata biru mengalihkan pandangan menuju jendela yang masih setia menyajikan rinai hujan.     

"Apa aku tidak cukup hebat? Sehingga aku belum di izinkan mendengarkan rahasiamu," perempuan tersebut menatap punggung lelaki yang sedang membuka jendela kamar.     

"Udaranya segar," tampaknya Hendra berupaya mengalihkan topik pembicaraan.     

"begini ya, rasanya tidak di dengar," gelisah Aruna mencukupkan dirinya.     

Perempuan tersebut membalik tubuhnya, berjalan meninggalkan sang pria yang sedang menikmati hujan di pagi hari.     

_Kamu cukup tahu hal-hal yang mampu membuatmu bahagia_ gumam Mahendra sambil mengamati tiga orang ajudannya di bawah sana, dengan payung hitam di tangan mereka sedang kesulitan meminggirkan mobil.     

Sebuah mobil lain ingin melintas dan Bentley yang di bawa Mahendra tertangkap memakan badan jalan.     

.     

.     

Kini Hendra sudah turun dan duduk melamun di kursi lantai satu. Dia sedang mengantre kamar mandi, sebab dalam masih ada kak Anantha.     

Sebenarnya terdapat kamar mandi lain di dalam kamar utama yang kini masih tertutup rapat. Tampaknya Aliana masih terlelap, bisa jadi semalam dia bergadang untuk merawat bayinya. Suara guyuran air dari kran shower tanpa di lengkapi peredam suara tentu saja bisa mengganggu bayi mungil beserta ibu yang kelelahan. Untuk itu masing-masing anggota keluarga bergantian menggunakan kamar mandi di dekat dapur.     

Hendra yang melamun sebenarnya sedang mengamati istrinya, menyenangkan melihat si mungil yang sedang di marahi bunda berkali-kali sebab salah melulu dari tadi.     

Dalam lamunan panjang yang mengasyikkan terganggu oleh sesuatu. Ada yang meletakkan benda-benda pada telapak tangannya tanpa suara. Setelah mendongak ternyata pelakunya ayah Lesmana. Mertua Mahendra menyerahkan sepaket peralatan mandi baru; sikat gigi, sabun cair sampai pasta gigi pun ada.     

"Em.. ayah.." ungkap Hendra masih tertegun dengan perlakuan mertuanya.     

Kalimat dengan nada lambat tersebut dipotong oleh Lesmana, "Gunakan yang aku berikan, tak perlu berterima kasih, lihat kakakmu sudah keluar kamar mandi, kau harus cepat perjalanan menuju kantor dari sini cukup jauh," tutup Lesmana menjauh meninggalkan Hendra.     

Lelaki yang dulu pernah di todong pistol olehnya tertangkap membuka helm di kepala dan meletakkannya tak jauh dari kumpulan almari perkakas.     

"Sudah siap sarapannya," pernyataan tersebut yang di dengar oleh Mahendra sebelum dirinya memasuki kamar mandi.     

"Hen.. kamu menggunakan gayung atau shower?? Kalau shower aku nyalakan pompa airnya!?" Dari luar kamar mandi terdengar teriakan. Belum juga sempat si lelaki menjawab dia kalah oleh suara omelan bunda.     

"Han, Hen! Han, Hen! Panggil suamimu dengan sebutan yang benar!"     

"Aaah... Udah kebiasaan Bun.." keluh Aruna.     

"Kalau nanti punya bayi, kamu akan memanggil begitu juga? Sungguh tak sopan," konsisten bunda Indah mengurai rasa gemasnya pada si bungsu yang masih perlu banyak belajar jadi istri yang benar.     

"Nah, kalau udah punya bayi kupanggil Hendra Deddy, hehehe," Aruna terkekeh, yang di dalam kamar mandi menautkan keningnya.     

"Huh! Tetap harus punya panggilan yang baik untuk suamimu.. sudah punya bayi maupun belum, dan satu lagi, walaupun di hadapan anak-anak kita punya kebiasaan untuk memanggil ayah, Deddy semacamnya, istri harus punya panggilan berbeda di balik layar ketika anak-anak tidak ada," panjang lebar bunda indah menjelaskan sambil sibuk menyiapkan sarapan.     

"Ada panggilan di balik layar?"     

"sudahlah Aruna, bunda capek bicara denganmu," lelah bunda Indah, "Anantha panggil adik iparmu, sudah waktunya sarapan," sang bunda meminta anak lelakinya beranjak segera.     

"Masih mandi," Anantha yang sudah rapi malas bergerak lagi dia duduk nyaman di meja makan.     

"Yang satunya," maksud Indah ialah Aditya.     

"Adit Turun!" seru Anantha melengking tinggi, benar-benar tak mau beranjak dari tempat.     

Tak lama suara bayi terdengar menangis, "Anantha!" kesal Lesmana.     

"Maaf ayah tak sengaja.." Anantha memasang wajah bersalah.     

"Sekarang keluar sana, panggil Ajudan Mahendra. Kita sarapan sama-sama,"     

"Yah.. di suruh lagi,"     

"mau meneriaki mereka dari sini? Suaramu tak akan sampai,"     

"Iya.. iya..!" akhirnya Anantha mau berdiri dari kursinya.     

.     

Di balik hiruk pikuk suasana pagi hari keluarga Lesmana, ada yang masih berdiam diri di dalam kamar mandi, belum ngapa-ngapain sejak tadi, "Aruna.." dia yang di dalam membuat panggilan lirih mengendap-endap untuk istrinya.     

"Sayang kesini.. cepat.."     

...     

...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.