Ciuman Pertama Aruna

III-69. Saudara Laki-laki



III-69. Saudara Laki-laki

0Lelaki bermata biru sedang penasaran dengan cahaya yang menyala dari ruang tamu, ketika iya mendekatinya ternyata kakak iparnya sedang duduk di sana bersama laptop yang menyala.     

Hendra mengamati lebih dekat, ternyata yang dikerjakan Anantha ialah sebuah tulis berkode pada tabel koding. Si bujang lapuk tersebut masih saja bekerja, saat seluruh anggota keluarganya satu persatu terlelap.     

"Belum istirahat?"     

"Ya.." kata pria tersebut tak lepas dari menatap laptopnya.     

"Project apa yang kamu tangani sekarang?" Mendengar kalimat tanya dari Mahendra, Anantha meletakkan pekerjaannya. Pria tersebut mendapati adik iparnya duduk di hadapannya dengan tatapan penasaran sambil melebarkan mata ingin mengintip pekerjaannya.     

"Kau tidak tahu?" Hendra menggelengkan kepala mendengarkan kata tanya berikut ini.     

"oh' ternyata orang dari Nara&Tv berkata benar," ungkapan Anantha membuat Mahendra menautkan alisnya.     

"kau tahu, project yang aku kerjakan sekarang ialah sistem quick count yang akan digunakan Nara&TV pada pemilihan suara mendatang," mendengarkan penjelasan sang kakak ipar, Hendra menggelengkan kepalanya sekali lagi.     

Anatha malah sumringah menangkap ketidaktahuan Mahendra. Berarti pekerjaannya memang hak-nya. Bukan sekedar karena dia adalah keluarga dari pewaris tunggal pemilik perusahaan tersebut.     

"Aku tidak akan membantu seseorang kalau dia tidak mau, jadi jangan mengkhawatirkan hal-hal semacam itu, aku tahu tidak ada yang suka ketika diri kita di kasihani," jelas Hendra. Anantha tertangkap mengangguk.     

Lama mereka membeku, yang satu sibuk dengan laptopnya yang satunya bingung karena belum mengantuk.     

"aku lihat ajudan-ajudanmu tidur di luar, masih ada satu kamar untuk mereka, kau bisa menyarankan kamarku. Kemungkinan aku tidak akan tidur malam ini," suara Anantha memecahkan kebekuan.     

Hendra menurunkan handphone yang ia gunakan untuk membaca protal bisnis terkini.     

"Kursi mobilku bahkan lebih nyaman dari ranjangmu," Hendra cukup menyebalkan kalau sudah berani jadi diri sendiri, "ada tiga orang Ajudan yang aku bawa, ranjangmu tidak mungkin diisi 3 orang sekaligus, -bukan??"     

Ucapan lelaki bermata biru menghasilkan lirikan mata kakak iparnya, "kau masih saja menyebalkan," Hina Anantha.     

"Ya.. minimal, saat kau memutuskan tidur sewaktu-waktu ada tempat yang bisa kamu gunakan untuk merebahkan punggung," ini niat asli Hendra dan sang kakak kembali merelakan gerakan tangan mengetik keyboard.     

"Ada yang ingin kamu bicarakan? Kenapa berada di sini?" Tanya Anantha.     

"Aku hanya belum mengantuk saja dan itu membuatku ingin mengganggumu," Hendra membuat pernyataan yang menggelikan. Entah bagaimana mereka menjadi kehilangan rasa canggung satu sama lain.     

"Oh' aku baru ingat," Anantha menghilang sesaat kemudian dengan tergesa-gesa menyerahkan sebuah koran harian.     

"Apa aku boleh minta bantuan padamu?" Anantha mengarahkan telunjuknya pada sebuah berita yang tersaji.     

"Apakah benar Tarantula grup juga ada kaitannya dengan Rey?, Maksudku ini, di sini, coba baca bagian ini," telunjuk Anantha menunjuk-nunjuk sebuah alinea. Alenia yang mengatakan perusahaan bernama Tarantula grup akan meluncurkan unicorn terbaru mereka, sebuah aplikasi belajar online, jual beli, dan aplikasi penyedia jasa traveling dan semacamnya.     

"Iya benar," kalimat Hendra di tangkap kecewa oleh Anantha.     

"Tunggu!. Tunggu sebentar," Hendra memainkan Handphone-nya. Sore tadi dirinya bersama tim Thomas menjalankan agenda rapat koordinasi demi menemukan seseorang atau sekelompok orang yang menjadi korban akuisisi pihak tarantula.     

Sebab kebenaran terkait unicorn yang akan di launching pihak tarantula group ialah hasil akuisisi telah dibuktikan secara mendetail oleh tim Thomas.     

Hendra menunjukkan layar handphonenya, "Apakah ini milikmu?" kata Hendra buru-buru. Ketika Anantha mengangguk. Pria itu segera menggeser layar ke arah berbeda.     

"Ini juga milikmu," kembali Mahendra menggeser layarnya, "yang ini bagaimana," sudah 5 kali Hendra menggeser layar. Tiga diantaranya Anantha mengangguk.     

"Dari mana kamu mendapatkan data tentang aplikasi online yang menjadi produk perusahaan ku sebelum di tipu Rey?" tanya Anantha.     

"Aku punya tim yang bertugas menyelidiki ini," jelas Mahendra sembari menghela nafas.     

"Apa kau tidak tahu, Rey bagian dari perusahaan besar bernama tarantula?" perkataan ini menghasilkan gerakan menggelengkan kepala pada lawan bicara Mahendra.      

"Kau juga tidak tahu, tarantula punya kisah yang panjang dengan Djaya Makmur Group?" Anantha kembali menggelengkan kepala.     

"Ayah Lesmana tidak pernah menceritakan tentang perusahaan tempatnya bekerja?" Anantha mengangkat bahunya pertanda tidak pernah.     

"Ayah tidak pernah bercerita apa-apa, bukan sekedar tentang pekerjaannya, bahkan tentang perjanjiannya dengan kakekmu pun tidak ada yang tahu," sentil Anantha, kembali mengenang Apa yang terjadi.     

"Huuuh, masalah Rey sepertinya bukan sekedar kesalahanmu Kak," untuk pertama kalinya terbit panggilan Kakak dari mulut Mahendra.     

"Kau jangan membuatku ilfil dengan memanggilku 'Kak',"     

"Oke oke, Aku akan memanggilmu 'si sialan',"     

"Hais' kenapa kau menggantinya dengan sebutan yang lebih jelek,"     

"Siapa suruh tak terima aku panggil dengan sebutan yang baik, aku tidak pernah memanggil kakak, kak, bro, pada siapapun,"     

"Kau memang tak punya suadara?? Wajar saja,"     

"kau mau di panggil 'kakak' nggak nih??"     

"boleh lah,"     

"sudah tutup mulutmu dan syukuri saja,"     

"Oke.. kita lanjut bahasan kita tadi,"     

"em.. aku lupa, sampai mana ya.."     

"Ya tuhan.. merip Aruna lama-lama kamu,"     

"maksudmu sering bermode otak kosong,"     

"Apa lagi,"     

Mereka yang berdebat di ruang tamu tak menyadari Ayah terbangun.     

Ingin rasanya bergabung, akan tetapi Lesmana mengurungkan. Senang mendengarkan dua anak lelakinya kini bisa bicara dengan santai. Tak lagi uring-uringan seperti dulu. Apalagi saling mencurigai dan saling ingin menjatuhkan satu sama lain.     

Tampaknya kini yang didengar Lesmana ialah diskusi terkait membantu sang kakak merebut kembali perusahaannya.     

Lamat-lamat Lesmana mendengarkan strategi antara 2 lelaki yang terdengar mirip para jenderal yang akan berangkat berperang. Mereka membangun siasat satu sama lain.     

"Kakak ikut serta bersamaku datang ke acara launching tersebut," suara Mahendra terdengar serius.     

"Pastikan mental mereka down dengan kehadiran mu di sana," ungkap Mahendra berikutnya.     

"Apakah aku bisa menjatuhkan mental sebuah perusahaan sebesar itu?" Kini Anantha yang terdengar tak percaya diri.     

"Asal kamu tau, ada satu hal yang paling ditakutkan pengusaha yang melakukan akuisisi pada perusahaan kecil di bawahnya," ucap Mahendra mirip cara bicara kakeknya.     

"apa?" ini kata tanya Anantha penasaran.     

"mereka takut foundernya akan membangun ide baru yang lebih luar biasa lagi, perusahaan bisa diakuisisi, mental bisa dijatuhkan, tapi ketika seseorang yang memiliki ide besar terus bertahan memperjuangkan impiannya, terlebih siap bangkit kembali, mereka meyakini bisa jadi founder tersebut bisa mengalahkannya dengan mudah," suara Mahendra terdengar bersungguh-sungguh. Entah kalimat ini ialah kalimat asli dari sudut pandangnya ataukah sekedar cara menyemangati sang kakak.     

Yang perlu di ketahui, pria yang kini di hadapan Anantha ialah seorang pemegang jabatan CEO selama hampir tujuh tahun, tentu tahu betul cara menyulut optimisme kawan seperjuangannya.      

"Knowledge, intuisi maupun ide dasar tetap tak akan bisa di curi dari seseorang," baru lah Anantha mau mempercayai Mahendra setelah mendengar kalimat terakhirnya, yang lebih panjang sebelumnya cenderung mirip orasi seorang orator ulung.      

.     

"Kalian bisa membicara lagi besok pagi, sudah pagi," secara mengejutkan ayah Lesmana muncul di antara dua lelaki yang tengah asyik berdiskusi. Mata Lesmana mengarah jarum jam. Jarum pada jam dinding menunjukan lewat pukul satu dini hari. Lesmana membubarkan dua anak nakal yang masih berdebat asyik sampai lupa waktu.      

"Datanglah ke kantorku besok," celetuk Mahendra.      

"Aku kakak mu.. kau yang harusnya mendatangiku,"      

"Yang butuh di bantu siapa.."     

"Yang ingin bekerjasama dengan pemilik ide dasar unicorn pesaingnya, siapa?"      

"Sudah! Sudah! Bubar!" Dua lelaki kembali menyulut sang ayah untuk menengahi percekcokan tak bermakna.      

.     

|Siapa yang akan mengalah?? Anantha atau Hendra??|     

.     

.     

(mohon untuk keluar dari bab & di refresh ulang ketika da paragraf tertumpuk)      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.