Ciuman Pertama Aruna

III-67. Pertengkaran Seru



III-67. Pertengkaran Seru

0"Mudah banget mulutmu bicara, lidah emang nggak ada tulangnya," cela Anantha.     

"Aku sungguh-sungguh.. Nabila pasti mau, dia gadis yang tinggal sendiri, maksudku sudah tak miliki ayah dan ibu, sekalian memuliakan anak sebatang kara," Alia kembali memojokkan Anantha tapi kali ini ucapannya dengan serius.     

"Aku yakin, kalau toh dia mau itu pun karena paksaanmu," timpal Anantha.     

"Nah! Yang kamu katakan benar sekali, tak usah ditanya lagi," jelas Alia tak tahu diri.     

"Cih! Bisa-bisanya ngomong seperti itu,"     

"Yang penting kakak bisa membuatnya bahagia, kenapa tidak?! Ku yakin kakak akan jatuh cinta karena kebaikan anak lugu dan penurut itu," Alia selalu demikian, sulit di kalahkan ketika sudah berdebat.     

"Dasar orang marketing, menawarkan gadis buat di nikahi seperti jualan panci," mereka masih berdebat ketika Aruna menarik tangan Mahendra dan melambaikan tangannya pada baby Alan yang tampaknya belum mau tidur.     

"Tapi kakak tertarik -kan'," Alia masih bicara.     

"Siapa bilang,"     

"Jujur saja tak usah sok-sokan jual mahal,"     

"Aku butuh menyiapkan masa depan yang lebih baik untuk istriku, sebelum menikah," kekeh Anantha     

"Kasih makan 25.000 kali tiga dalam sehari saja nggak bisa?, Masa iya segitunya kakak,"     

"kamu pikir menikah tidak butuh rumah,"     

"Apartemen Kakak?? emang Kakak jual?"     

"Iya, buat modal lagi,"     

"tinggal di apartemenku atau tinggal di sini saja barengan semua,"     

"Selain rumah.. perempuan juga butuh make up, baju, belum lagi kalau punya anak," masih beralasan.     

"Hitung teruuus... Keburu karatan kau.."     

"Ah! Aku pergi saja," Anantha mengikuti langkah keluar sepasang suami istri. Lebih tepatnya membuntuti jalannya Aruna dan Hendra.     

"Nabila tak akan menuntut.. toh dia juga punya penghasilan, aku akan menggajinya dengan baik.. kau lupa dia bekerja padaku," Kalimat ini tak di tanggapi lagi, Anantha berjalan lebih cepat melewati Aruna dan Hendra. Hatinya terbakar sebab di bully adiknya.     

"ternyata seseru itu ya, bertengkar dengan saudara," ujar Hendra menangkap punggung Anantha yang berjalan tergesa-gesa.     

"Seru apanya??" Aruna mengerutkan dahi, di mata Aruna pertikaian antara Kak Aliana dan Kak Anantha lebih mirip kucing dan anjing.     

Unik sekali isi otak Hendra, di matanya pertengkaran itu menarik sekali. Keluarganya tidak pernah berdebat dengan cara ringan untuk saling memperingatkan. Kakeknya cenderung menggunakan Teori Reward dan Punishment dalam mendidik keluarganya. Masalahnya pemberian Punishment yang tidak tepat bisa berakibat tidak baik untuk mereka yang menjadi objek dari sebuah subjek yang sedang di susun.     

Pada langkah ke sekian mengarah kamar Aruna, mereka terhenti sesaat. Lebih tepatnya Mahendra menghentikan gerak kakinya, dia kurang nyaman melihat ayah dan ibu mertua sedang sibuk menata alas tidur di depan televisi ruang tengah. "mengapa ayah dan bunda tidur di situ?" kalimat yang terbit dari Mahendra tertangkap sama dengan kalimat protes yang dilayangkan Anantha pada bunda indah dan ayah Lesmana.     

"Sudah.. ngga papa... Sini, ayo, entar aku jelasin," Aruna menyadari pasti akan terbit rasa tak nyaman bagi ayah dan bundanya termasuk bagi Anantha ketika Mahendra tertangkap mengamati mereka dengan ekspresi bingungnya yang unik.     

Hendra diseret tangan Aruna, masih menoleh ke arah alas tidur yang disiapkan Ayah Lesmana. Tempat tersebut telah usai di tata dan Menyajikan senyum bunda indah yang sedang menonton televisi dengan happy.     

Mereka tidak memperdulikan protes Anantha, " ayolah.. Kenapa ayah dan bunda yang tidur di sini, Apa gunanya perjaka kuat ini," mereka malah tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan Anantha, "Kau pikir aku tidak bisa tidur seperti kalian?! Kalau Ayah dan bunda tidak mau tidur di kamarku, aku juga akan tidur di sini,"     

"tak masalah silakan, jarang-jarang kita bisa mendekap anak sulung kita seperti dulu, ah jadi ingat masa dia masih kecil," kata Indah menggoda Anantha.     

"bunda kok gitu sih," protes Anantha.     

"sudah istirahat sana, jangan Kerja mulu, hidup harus seimbang," tampaknya Ayah Lesmana akan menerbitkan kalimat nasehat. Dari pada di nasehati berkepanjangan Anantha memilih kabur.     

.     

.     

"Sayang.." panggil Hendra setelah pria itu selesai berganti baju tidur yang jauh lebih santai. Baju hasil meminjam dari kakak lelaki Aruna, "aku masih belum mengerti, mengapa ayah dan bunda tidur di ruang tengah?"     

"rumah ini," Aruna menatap sambil menyelaraskan pikirannya untuk sang pewaris tunggal Mega bisnis, "tidak memiliki banyak kamar Hendra, hanya ada 4, itu pun yang satunya kecil digunakan bi Linda (asisten rumah tangga)" Aruna memberi pemahaman suaminya.     

"O.. jadi tadi Kak Anantha protes, sebab dia ingin tidur di luar menggantikan ayah dan bunda?"     

"Baru paham sekarang?"     

"He'eh," Hendra mengganggu lalu mengamati sekeliling, "sepertinya kalau kau tidak ada, ayah dan bunda tidur di sini," Hendra mendapati beberapa foto serta perlengkapan yang mustahil milik Aruna seorang.     

"Iya benar," kata Aruna mengangkat arloji di atas nakas yang menyimbolkan aksesoris Ayah Lesmana.     

Bisa jadi semenjak baby Alan datang Ayah dan bunda sengaja memberikan kamar mereka yang lebih luas kepada kak Alia dan Aditya supaya lebih nyaman untuk merawat bayi baru lahir. Sedangkan kamar kosong kak Anantha telah terisi semenjak kak Anantha menjual apartemennya. Tinggal kamar Aruna yang tak berpenghuni.     

"Apa tidak sebaiknya keluargamu, maksudku keluarga kita kembali ke rumah lama?"     

"kita sampaikan besok saja," Aruna menyadari kegelisahan Mahendra. Pria tersebut terlalu asing melihat keadaan semacam ini.     

"toh rumah tersebut kosong," Hendra benar-benar berharap Aruna memberikan pernyataan iya.     

"Coba besok pagi, waktu kita sarapan pagi, kita beritahukan keinginanmu pada ayah," Aruna yang sejak tadi tertangkap mengganti seprai dan sarung bantal akhirnya usai, "istirahat dulu sana, aku bawa ini keluar," Aruna mendekap seprai yang lama. Lalu menghilang di balik pintu.     

"bahkan rumah ini Cuma punya satu atau dua kamar mandi, apakah tiap pagi mereka saling mengantri? Bagaimana rasanya bergantian kamar mandi untuk ini itu?" ada raut wajah dengan alis menaut penasaran, antara bingung dan kurang nyaman.     

***     

[Sore hari, otlet surat Ajaib]     

"dari mana kamu mendapatkan manekin pria berjalan?" ujar Lily mendapati Timi mengekor di balik punggung Dea beserta suaminya.     

"Oh, aku culiknya dari kantor DM group," Balas Dea menaiki tangga di susul Lily di belakangnya begitu juga Timi yang mengekor paling akhir.     

"Apa dia bawahan Anda pak Surya," lily kembali bertanya kali ini pada suami Dea.     

"bukan.." Surya menggelengkan kepala, "Tian devisi marketing development, iya -kan? Benar tidak ya? saya kadang lupa," jelas Surya duduk selonjoran setelah tiba di lantai 2.     

"Kenapa kamu tidak tanya langsung kepadaku?" sela Timi memprotes cara komunikasi lily yang seolah menghilangkan keberadaannya.     

"Buat apa aku bertanya kepada seseorang yang identitasnya saja masih simpang siur," ejek Lily. Surya dan Dea tertawa mendengarkan hal berikut demikian juga Laras beserta Tito. Dua junior yang terlihat mengusung mata Panda pada tatapannya.     

"Ayo, makan dulu," seru Dea membagikan bingkisan, "pekerjaan walaupun dikejar, tetap tidak ada habisnya," Dea meminta Laras dan Tito berhenti.     

"Agus mulai magang juga? Kok aku tidak melihatnya," kembali Dea berujar.     

"sejak menikah kamu jarang liat grup ya De," Lily membuat wajah Dea memerah, "Agus sudah memulai proyek skripsinya, dia kan anak IT, kalau tidak mengawali proyek penelitian lebih awal bisa-bisa lulusnya paling telat dari yang lain,"     

"oh, begitu ya," suara prihatin Dea terdengar kian sedih.     

***     

"kenapa belum tidur," Gelisah Hendra menatap Aruna yang konsisten memandangi langit-langit atap.     

"kamu juga belum tidur," balas Aruna.     

"Aku belum ngantuk, keseringan dapat jatah sebelum tidur, giliran di minta stop sehari aku tidak bisa tidur, hee.. cukup menyiksa," pipi pria ini di tarik oleh istrinya, sebab mulut di samping pipi keseringan melempar omongan tanpa filter.     

"Hahaha," dia yang di tarik pipinya tertawa akan tetapi lama-kelamaan mengeluh juga, "sakit sayang.. sudah.." keluh Mahendra.     

.     

"Hen, mumpung kamu belum tidur boleh aku minta saran?" Aruna yang terbaring terlentang kini meringkuk, menghadap suaminya.     

"Ya pasti boleh, buat apa bertanya segala, aku suamimu," protes Hendra, ikut-ikutan memiringkan tubuhnya ke arah Aruna. Mereka saling berhadapan bertumpu bantal.     

"Manusia kadang kala munafik, demikian juga aku ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.