Ciuman Pertama Aruna

II-105. Mengunci Hati



II-105. Mengunci Hati

0Mendadak langkahnya terhenti, mengamati punggung perempuan yang mengenakan piama buah ceri milik istrinya.      

"Nana kemarilah," pinta lelaki bermata biru. Berikutnya datanglah langkah kaki mendekat, cucu Wiryo mengamatinya dengan saksama. Meraih ujung piama buah ceri lalu memegangnya.      

"Berapa banyak bajunya kau ambil," suara itu rendah dingin menyergap.      

"Jawaban Anna," Nana pernah begitu dekat dengan Hendra dari dia kecil sampai belia. Gadis ini memahami Hendra sedang dalam emosi tidak baik.      

"A-aku.. aku hanya meminjamnya," terbata-bata Nana menjawab pertanyaan dari suara mencekam Hendra.      

"Meminjam ya.. kalau begitu kembalikan sekarang!"     

"tidak banyak kok., Hanya beberapa, yang lainnya aku membeli sendiri mungkin sedikit mirip," perempuan ini mencari alasan.     

"Kembalikan!" kalimat perintah Hendra mulai terdengar lebih seram.      

"Em.., dia tidak mungkin memakainya, kan. Toh dia belum tentu kembali," Nana berharap Hendra berpikir realistis     

"AKU BILANG KEMBALIKAN!!" suara ini bukan lagi kalimat perintah melainkan bentakan yang membuat penghuni rumah induk terkejut bukan main. Sudah lama tempat ini sunyi, terutama semenjak istri tuan muda  pergi.      

Dan kini tiba-tiba lengkingan kemarahan terdengar.      

"Tidak ada yang boleh menyentuh milik istriku! Dia akan kembali padaku!" kemarahan itu tiba-tiba meledak.     

"Pelayan! Kemarilah kalian! Ambil semua baju yang di bawa perempuan ini! Kembalikan di tempatnya seperti semula!!" suara frustrasi ini membuat beberapa orang berlari-larian memenuhi permintaan tuan muda.      

Keributan pria gontai mengakibatkan dua perempuan penghuni rumah ini datang, mereka tak berucap tapi turut melihat.       

Sang ibu enggan pergi, berdiri lama memperhatikan semua gerak tubuh Mahendra hingga menghilang di balik pintu kamarnya yang terbanting kasar.      

.     

"Berhantilah berusaha tampak seperti Aruna, kau membuat putraku terpukul. Aku tidak suka melihatnya," mommy Gayatri mendekati Nana.      

"Aku tidak berusaha mirip gadis itu mommy, aku berusa mirip denganmu. Hendra sendiri yang bilang dia suka dan meminta perempuan yang dekat dengannya mengenakan midi dress supaya mirip anda". Ungkapan Nana mampu menyajikan raut muka terperangah pada perempuan tanpa ekspresi ini.      

"Aku yakin hari ini Hendra sedang kacau karena sidang perdana perceraiannya sudah di gelar. Menurut mommy apa saya bisa menghiburnya" gadis berparas cantik ini berusaha mengambil hati mommy Hendra.      

"boleh aku tahu saran mommy apa? Aku benar-benar ingin menghilangkan gundah Hendra" kembali Nana mengakrabi, mencari simpati sang nona keluarga Djoyodiningrat.      

***     

_Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku merasa kesulitan mengendalikan emosi?_ Hendra menatap bayangan maya dirinya yang disajikan lapisan reflektif cermin memanjang bathroom.      

Bip, bip bip     

[Mas Hendra istrimu tidak di jemput kakaknya]      

Bip (foto seseorang muncul di layar handphone)     

[Pria ini yang datang lalu membawa istri anda]     

"Sial!! Teman Anantha satu ini mencurigakan, mengapa dia tidak asing?" Hendra memegangi pelipisnya, isi kepala suami Aruna merajut firasat.     

***     

Hendra mengais selada yang terjatuh tepat di bawah kakinya, berhenti sekejap meletakkan sayuran hijau segar persisi tepat di tempat semula. Gerakan sederhana pria ini membuat kagum perempuan yang dari tadi memasang senyum. Pedagang pasar yang dulu lantainya bata paving  bercampur tanah lengket dan payung lebar warna-warni yang cenderung sia-sia fungsinya ketika hujan menyapa. Telah pindah di tempat yang nyaman sekelas swalayan.      

Mata biru membalas senyum itu, dan pedagang beruntung membuka lebar matanya tidak percaya malaikat membalas senyumnya. Ibu-ibu itu buru-buru mengeluarkan handphone usang, retak, di beberapa bagian. Untuk memotret manusia yang agaknya berbeda dari ratusan orang di dalam ruangan besar menuju 5 lantai.      

Mengapa 'menuju' karena kini masih 3 lantai yang siap di huni. Lantai ke 4 tahap akhir dan lantai 5 masih dalam pembangunan.      

"Anda ingin memotret saya?" tanya Hendra.     

"iya.. mister hihi" pedagang bergeligi tawa kesenangan ketika lelaki yang di panggil CEO-CEO itu tersenyum ramah menawarkan diri masuk dalam layar handphone usangnya.      

"Nanti saya cetak saya pasang di sini biar laris" seringai Hendra tidak bisa di sembunyikan mendengar ucapan sederhana pedang sayur yang bahasannya tercampur logat daerah.      

"ibu senang pindah di tempat ini?" Hendra penasaran karena tak semua pedagang memuluskan rencana spektakuler versi sekelompok manusia yang pandai membuat konsep tata kota.      

"Tentu saja mis, (maksudnya mister) aku mah ndak mau ikut-ikutan yang mogok itu, kita kan pindah ke tempat yang lebih nyaman, bersih dan gratis pula. Kecuali harus bayar ya saya protes. Nggak ada uang buat bayar," si ibu antusias menjawab pertanyaan bule bertubuh tinggi, tampak menonjol karena tingginya melebihi rata-rata orang yang sedang mengelilingi.      

"hemm.. terima kasih. Boleh aku beli seladanya? Berapa harganya?"      

"Tentu.. tentu saja.. mau yang mana?"      

.     

Hari ini adalah kunjungan pertama CEO DM group pada agenda meninjau pembangunan Dreame city. Tempat ini tidak mengalami kendala seperti Library. Jadi pasar modern dengan konsep sustainable tinggal 20% lagi menuju finishing. Pedagang pasar perlahan sudah berpindah pada area baru mereka.      

Tidak semuanya setuju, tapi semakin yakin lama-lama mereka akan menerima juga. Hal ini hanya tentang waktu.      

.     

Pada langkahnya mengakhiri perjalanan kunjungan, laki-laki ini mendiamkan sekelompok wartawan yang membuntutinya. Beberapa kali pengawalnya mendorong pria-pria dengan ID card jurnalis. Walaupun tak henti pula pengais berita ini meyakinkan lelaki bermata biru bahwa tulisannya tak jauh-jauh tentang kunjungan hari ini.      

Seandainya Hendra mau berbicara, dia sebenarnya bisa bercerita banyak. Lebih banyak dari dugaan orang-orang yang sedang mengharapkan pernyataan. Tempat ini dibangun bersama dengan sistemnya. Ke depan dia sudah menyiapkan marketplace khusus yang menunjang terjadinya jual beli secara online antara pedagang di pasar modern ini dengan para pembeli di luar sana.      

Belum lagi sistem daur ulangnya, tata letak display tiap jenis barang dagangan. Sehingga siapa pun yang berbelanja di sini dia bisa merasakan sensasi berbeda. Ketika ingin merasakan mall bintang 4 mereka tak perlu berkunjung ke lantai bawah. Cukup naik ke atas lalu parkir mobil di basement khusus mall. Kemudian langsung bisa menikmati suasana transaksi jual beli ala mall nyaman di sana.      

Sekali lagi pria ini sudah jauh berbeda, dulu dia sangat berambisi membangun personal branding. Sekarang hal itu seperti celoteh usang para pesohor yang nyata-nyata hidupnya tak seindah di layar kaca.     

Hendra menyingkir, menuju tempat yang dulu menjadi titik dirinya berdiri bersama perempuan yang bau harumnya mampu mengunci hati.      

"lalu bagaimana dengan orang-orang yang berada dipasar ini. Aku tahu tempat ini dulunya adalah pasar tapi sekarang sudah rata. ke mana mereka?" (Pertanyaan Aruna vol. 1 Chapter Visual Spasial)     

"Aku sudah membangunnya Aruna.. harusnya kau melihat ini,"     

Lantas pikiran sang pria melayang pada pernyataannya di masa lalu.      

"takdir membawamu ke tempat yang berbeda, sekarang tinggal kamu memilih untuk menjadikannya pijakan atau kembali ke tempat yang kau anggap nyaman. Semua tergantung padamu.. my honey".      

"Ternyata kamu memilih kembali ke tempat yang kamu anggap nyaman. Huuh.." Desahnya melengkapi rasa sesak di dada.      

"Tuan, Anda harus segera ke rumah sakit,"      

"Ada apa??"     

.      

.      

__________________________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.