Ciuman Pertama Aruna

II-99. Terbangnya Cikalang



II-99. Terbangnya Cikalang

0"Sudah cukup!" kataku lelah menghadapinya.      

"Setelah ini aku tidak akan lagi menemuimu, kau sendirilah yang harus datang padaku," kucukupkan caraku mengharap, sudah saatnya dia yang datang.      

.     

"Hendra.." Ada guratan rasa khawatir yang mendalam di hati gadis ini. Tepat ketika makannya tak lagi di sentuh, Aruna mencoba mengurai lelaki yang kini ekspresinya mengeras. Sayangnya yang terjadi di luar dugaan dia yang mengeras melayangkan perintah : "Antar istriku ke bandara,"     

"Ya tuan," sigap ajudan mendekat meminta kesediaan sang nona.      

"Hendra.." panggilan Aruna tidak mendapatkan reaksi berarti. Pria di hadapannya lebih sibuk memegangi gelas, menatap dan memainkannya.      

"Hendra," kembali sang perempuan memanggilnya.     

"Mari nona," dan para pengawal mulai memintanya pergi.      

"Hendra..." gadis ini perlahan merintih.      

"Bawa dia pergi," sedangkan sang pria masih pada keputusannya. Bagi laki-laki bermata biru menerima dan membiarkan Aruna berlarut-larut dengan alasannya sama saja menambah masalah.      

Gertak hati memang harus dimulai dari pilihan berat. Pria ini lelah diposisikan sebagai pilihan yang tak terlihat tanda-tanda dialah yang jadi pemenangnya. Pemenang antara masa depan yang cerah atau melanjutkan pernikahan.      

"Mari nona," seorang ajudan semakin mendekat menawarkan tangannya.      

"Aku nggak mau," Aruna menggeleng kepalanya.      

"Kalau kau tak mau tidurlah denganku malam ini!" Suara datar Hendra seperti tawar-menawar yang pernah dia lakukan ketika surat kontrak pernikahan di sodorkan pada Aruna untuk pertama kali.      

"Kau belum bisa kan? Kakakmu lebih penting? atau bundamu? lalu besok ayahmu? dan jangan-jangan duniamu yang kabarnya nyaman dan takut kamu tinggalkan itu," Mahendra paling pandai mengutarakan isi hatinya. Dia bahkan mulai tak peduli seperti apa raut muka gadis di hadapannya. Aruna tak kuasa menahan duka, dia menatap Hendra lekat-lekat berharap pria di hadapannya mengurungkan niat.      

"Aku hanya minta tambahan waktu, Hen..," lirihnya diliputi mendung hitam wujud hati yang gundah sedang membuncah.      

"Waktu? Satu bulanku kau anggap apa?" bagi Hendra tanpa Aruna satu bulan sudah seperti mati rasa. Pria ini mengetuk-ngetukkan jemarinya tanda dia sudah tak sabar.      

Tentu saja para ajudan menangkap gerakan yang menjadi kebiasaan tuannya. Aruna di tuntun untuk keluar dari ruang jamuan makan suaminya sendiri.      

Menangis, terluka, sakit dan mulai lelah dia tunjukan sepanjang perjalanan menuju bandara. Tiada henti gadis gundah gulana ini mengisak, dia tahu dia ikut ambil bagian dalam kemarahan Mahendra.      

Sayang seribu sayang gadis ini tidak ingin kakaknya semakin meradang atau keluarganya merasa terluka, Aruna di perjuangkan supaya terbebas dari rumah induk Djoyodiningrat yang tak mengizinkan dirinya sekedar menginjakkan kaki di lantai kampus.      

Di mana pun dirinya berada di situ pula sekelompok bodyguard menjaganya, ruang geraknya dipersempit seolah tak diizinkan bernafas bebas. Sedangkan gadis ini adalah burung Cikalang yang bisa terbang berbulan-bulan bahkan dapat tinggal di udara terus menerus selama beberapa hari di atas Samudera Hindia, terbangnya Cikalang memanfaatkan angin yang berhembus kencang (Mashable).      

Manusia terlahir berbeda dengan sudut pandang yang beraneka pula. Mereka punya pola-pola  yang tersusun di dalam otaknya. Kita bisa marah pada seseorang karena dia memilih menjadi Cikalang. Tapi secara individu begitulah harusnya dia berkembang.      

Aruna belum sanggup mematahkan sayapnya yang baru mengepak, mungkin Hendra hancur selama satu bulan hidup tanpa-nya. Bagaimana dengan gadis ini? Sang mahasiswa yang kangen kampusnya tentu saja menikmati perasaan bahagia belajar di perpustakaan, berlarian di lorong kampus atau bergabung dalam kelompok diskusi kecil tentang project yang harus mereka selesaikan dari para dosen.      

Dia berjuang keras ingin membuktikan kalau dia bisa menjadi hebat ketika dirinya diberi kesempatan. Dia ingin Hendra kagum apa adanya. Gadis ini berhajat suatu saat ketika dirinya kembali pada keluarga Djoyodiningrat orang-orang di sana perlu berpikir ulang untuk mengurungnya kembali.      

"Nona sudahlah berhenti menangis," dua orang ajudan yang mengantarkannya tidak tega meninggalkan si mungil istri tuannya, gadis ini masih saja menangis. Salah satu dari mereka mencoba menghibur membelikan beberapa Snack termasuk minuman ringan. Sayang sang nona masih enggan menanggalkan kesedihannya.      

"Anda masih menunggu teman Anda" Aruna mengangguk perlahan.      

"bisakah saya membantu anda menghubunginya" sempat ragu sejenak, kemudian dia menyerahkan nomor Damar dan mereka (para ajudan Mahendra) berusaha memastikan sahabat istri Tuannya segera datang.      

.     

.     

Ruang tamu yang luas, batin Damar.  Mata pemuda ini berkeliling mengamati jengkal demi jengkal rumah asing yang memicu degup jantung. Dia menemukan foto pernikahan pak Amar dengan perempuan berkerah V. Lalu foto keluarga mereka, dilengkapi dua anak perempuan unik yang tadi dia temui.     

Jadi benar, gadis berisik yang tiba-tiba mengganggunya adalah saudara sedarahnya sendiri. Dulu pemuda ini sangat benci pada hal-hal berbau pak Amar. Dia bahkan tidak mengenal atau lebih tepatnya tidak mau peduli sedikit pun siapa laki-laki yang membuat kehidupan ibunya hancur.      

Damar lebih nyaman membuang jauh-jauh pikiran tentang siapa ayahnya?. Melihat ibunya yang tak bisa hidup dengan benar saja sudah cukup menyiksa. Apalagi tiga tahun lalu ketika pak Amar bersikukuh ingin berjumpa dan ingin meminta Damar.      

Bu HRD kembali kecanduan alkohol dan tembakau.      

Sehebat apa pria ini? Batin si jangkung yang duduk tak nyaman di ruang tamu.      

Sangat tidak nyaman karena Damar menyadari ada mata yang diam-diam mengintipnya. Entah siapa mereka yang pasti lebih dari tiga pasang mata.      

"Ya tuhan..  kalian ngapain" pekik perempuan berkerah V dan buru-buru sekelompok perempuan dan seorang laki-laki berlari bersama raut muka malu dan canggung.      

"Mereka mbak dan mas yang bantu-bantu di rumah ini, (maksudnya para pembantu rumah tangga)" kata perempuan berkerah V meletakkan teh hangat dan biskuit di hadapan Damar.      

"Aku tak tahu kau benar-benar terkenal" perempuan ini tersenyum menatap Damar, dia duduk di kursi sambil merapikan rok, terkesan cukup sopan.      

"Sepertinya orang di rumah ini termasuk para pembantu kami demikian terkejut karena kedatanganmu," suaranya terhenti sejenak, dalam relung hati perempuan ini berharap anak tirinya berkenan membalas percakapan.      

Sayang dia masih saja diam. "Em.. kau sudah bertemu Marisa? Yang pakai seragam SMA" akhirnya pemuda Padang mengangguk.      

"Dia sangat mengidolakanmu, semua orang di rumah ini tahu. Aku yakin para pembantu pun ikut tertarik karena Marisa sepat heboh memberitahu mereka." Damar hanya mendengar, masih enggan untuk menjawab karena dia sendiri diliputi perasaan canggung dan bingung harus bagaimana. Pria ini malah melengkapi pengamatannya dari sudut-sudut ruangan. Dia menemukan sesuatu.      

"Papamu pernah berkata pemuda yang di dinding kamar Marisa adalah putranya. Aku hanya tertawa karena kau terlihat begitu tampan di banding dia," tiba-tiba suara ini terhenti.      

"Siapa itu?" tangan pemuda Padang menunjuk sesuatu... ... ...     

.      

.      

__________________________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.