Ciuman Pertama Aruna

III-187. Kebaikan Untukku



III-187. Kebaikan Untukku

0"Dia pria yang unik, tentu saja dia tak kan percaya padaku ketika aku tidak memiliki bukti. Namun, aku bisa menantangnya untuk mencari fakta atas kejadian buruk yang menimpaku. Aku akan menukar diriku dengan data yang ia temukan. Selama ucapanku logis dan aku berani mengambil resiko fifty-fifty. Tuan muda akan mempertimbangkan diriku," Thomas begitu yakin dengan ucapannya.      

Kiki mencoba mendengarkan dengan seksama, perempuan ini mencukupkan dirinya dengan berdoa di dalam hati. Ia tidak bisa menanggapi apa yang diucapkan Thomas. Karena dia sama sekali tidak tahu siapa itu Tuan muda, dan harus berpendapat seperti apa tentangnya.      

"Dan satu lagi, Tuan muda tipe orang yang tak bisa dipengaruhi siapapun, dia hampir mustahil termakan omongan manis. Kamu pernah dengar pengguna otak kiri yang menyebalkan? Dan kesulitan menggunakan hatinya?" pertanyaan Thomas mendapatkan gelengan kepala dari Kiki.      

"Pria dingin, acuh dan tak punya empati, kecuali pada istrinya. Jujur dulu aku membencinya, orang itu tidak bisa di pengaruhi, bahkan ketika aku memiliki kemampuan bernegosiasi. Dia benar-benar memuji pekerjaanku saat aku berhasil menyelesaikan misi yang ia berikan. Dan menghinaku ketika aku mencoba dekat dengannya. Sekretarisnya adalah pelaku pembunuhan terhadap diriku, yang mati-matian mencari simpatinya. Tapi dia konsisten menggunakan cara berpikirnya sendiri dan teguh dengan sikapnya," panjang lebar Thomas bercerita. Kiki seolah diperkenalkan seseorang yang ia sama sekali tak tahu wujudnya.      

"Itu sebabnya kamu yakin Tuan muda itu yang bisa membantumu?"     

"Ya.." Thomas berdiri, "Sekarang kamu tahu kan, kenapa aku memilih diam, Sebab aku tak yakin dengan teman-temanku," gerakan Thomas yang mundur dan memberi ruang pada Kiki. Secara tidak langsung mengharap gadis itu segera kembali kepada kehidupannya.      

"Ceritakan pada teman-temanku, tentang rasa tidak percaya ku kepada mereka, namun, tak perlu kau ceritakan ciri-ciri perempuan keparat itu, biarkan saja mereka penasaran,"      

"Ya" Kiki mengangguk, dia tersenyum tipis. Entah mengapa ia yakin Thomas akan baik-baik saja, pria itu sudah melewati banyak hal yang buruk, keberuntungan pasti akan hinggap pada dirinya suatu saat. Tugas Kiki sekedar mendoakan.     

Gadis tersebut melangkah kearah pintu, dia berbalik  sejenak. Melambaikan tangan, "bye Thomas,"     

"bye," ujar Thomas. "Kihrani.."     

"Oh' kau tahu namaku.." gingsul Kiki terlihat saat gadis itu tersenyum.      

"Ya.. Kih' rani," ini suara Thomas, "Lafal dan tulisan yang benar untuk nama tersebut seharusnya Khirani,"     

"Haha.. aku juga tahu itu, bapak ku salah menulis saat membuatkan akte kelahiran untuk ku" sahut Kiki.     

Thomas ikut tertawa, "Tidak masalah salah penulisan, kamu tetap bermakna kebaikan bagi bapakmu, adik-adikmu dan sekarang bagiku,"      

"Ah' kamu sangat pandai bicara,"     

Thomas akhirnya menunjukkan gigi rapinya, dia tersenyum lebar, "Bukan karena aku pandai bicara, sejujurnya aku ingin mengatakan terima kasih, tapi aku tahu kamu benci kalimat itu,"      

"Iya.. aku membencinya, lebih baik aku mendapatkan gombalan seperti ini sekali-kali," gadis itu bicara dengan santai, masih mengumbar senyum nya.      

"Kedatanganmu membuatku semakin yakin akan datang kebaikan untuk ku, tak perlu khawatir, aku percaya kebaikan akan memenuhi kehidupan ku setelah ini," Thomas mengangkat jempolnya, lalu mengubah jempol tersebut dengan telapak tangan terbuka, Kiki mengikutinya selangkah berikutnya ia menghilang di balik pintu.      

***     

Mobil melaju, berjalan lebih cepat kali ini. Mahendra ternyata tidak bisa langsung menuju rumah induk. Tangan kirinya memegang stylus pen, pulpen tersebut bergerak menapaki smartphonenya yang lain, smartphone berukuran lebar berada di pangkuan Mahendra.      

Situs bisnis mengabarkan saham Djoyo Makmur Group turun sekian persen. Alasan yang disampaikan Surya -sebagai penggantinya- adalah kemarahan salah satu kolega sebab merasa tak dihargai dengan tidak hadirnya Presdir dalam meeting penting antar perusahaan. Dan ternyata banyak pihak yang merasakan hal yang sama, hingga saham-saham tersebut terguncang, sebab rumor hengkangnya Mahendra.      

"Herry carikan headset-ku," padahal headset yang di cari Mahendra terletak pada punggung kursi ajudannya, yang artinya tepat di hadapan Hendra. Herry membalik tubuhnya dan naik ke atas tempat duduknya, mencoba menundukkan kepalanya mencari headset di balik kursi miliknya.      

Mata tuanya ternyata konsisten melihat grafik-grafik di layar, sedangkan tangan kanan lelaki bermata biru tersebut menjelma menjadi tumpuan makan istrinya.      

Herry menarik bibirnya, selepas berhasil menyerahkan headset kepada tuannya. Pria yang nampak sibuk tersebut, susah payah mengenakan headset di telinga lalu mencoba menautkan konektor dengan tangan kiri. Sebab tangan kanannya menumpu makan sore menuju malam yang saat ini dinikmati perempuan hamil.      

[Surya..]     

[Ya,]     

[Kamu masih di kantor?]     

[Ya,]     

[Baik tetap di situ aku akan segera datang,]     

[Ya,] konsisten jawaban Surya     

[Oh ya.. press release tentang kehamilan istriku, coba lakukan itu untuk menepis rumor aku menghilang begitu saja]     

[Masalahnya, kalian belum punya foto maternity, artikel yang kita buat cenderung tak mampu meyakinkan para kolega. Segmentasi yang berbeda Hendra.]     

[Ah' Sial] Hendra baru ingat, rumor yang ia tepis bukan dari infotainment atau semacamnya. Mereka yang ingin disadarkan bahwa dirinya tidak menghilang begitu saja, ialah sekelompok para pebisnis yang tidak akan membaca apa lagi menengok situs portal online semacam itu.      

[Okey.. oke.. aku punya ide,] ini suara Hendra.      

"Hendra makananku sudah," suara Aruna menyapa. Meminta suaminya menurunkan tangannya.     

Perempuan tersebut sudah bilang ingin makan sendiri dengan memangku box makannya. Tapi lelaki itu malah menjadikan tangannya layaknya meja penumpu, awalnya Mahendra ikut serta membantu istrinya makan sampai pesan Surya menyapa. Dan berakhir lebih sibuk dengan handphonenya, kemudian diam asik pada smartphone lain yang ukurannya lebih besar.      

"Mengapa hanya makan nasinya?" Hendra menggertak istrinya.      

"Kamu kan tahu aku tidak suka ayam semenjak hamil," Aruna membela diri.      

"Cepat dimakan, tak perlu banyak alasan," titah Hendra tidak melihat istrinya menekuk bibirnya.      

[Surya kau masih mendengarku?]      

[Ya tentu,]     

[Hubungi beberapa majalah bisnis, sampaikan kepada mereka Djoyo Makmur Group akan menjalankan pesta 3 tahunan yang sempat tertunda, beritahu juga tahun ini para wartawan akan mendapatkan undangan, jadi acara kali ini bukan hanya untuk internal DM Group]      

[Nah, kapan dimana tanggal berapa? Berita kan harus jelas, Hen..]     

[Ya, maka dari itu tunggu sebentar, Aku menuju kantor] Mahendra menutup panggilannya.     

"Alvin, ubah arah mobil menuju kantor pusat," titah Mahendra.     

Alvin pun buru-buru mengecek lampu merah di depan, baru saja ajudan ini memutar arah tujuannya. Kursi penumpang di belakang menyajikan suara muntahan.      

"Alvin, cari tempat, kita parkir sejenak," titah Mahendra seiring kecepatan tangannya meraih tisu.      

"Apa yang terjadi?" pertanyaan Mahendra datang bertubi-tubi, pria tersebut nampak panik. Aruna mengeluarkan separuh makanannya. Dia belum bisa menjawab apapun.      

Untungnya muntahan itu di masukkan dalam kantong, bahkan sang perempuan mendorong tubuh suaminya supaya menjauh. Walaupun lagi-lagi pria itu berusaha mendekat.      

Saat keadaan Aruna lebih baik, perempuan ini memicingkan mata menatap Mahendra, "Aku sudah bilang tidak bisa makan ayam!! Mengapa kamu memaksa ku!" ibu hamil itu nampak terengah dengan wajah merah hidung & mata berair, serta tisu berserakan di sekitarnya.      

"Aku pikir tadi kamu sekedar.." Hendra membungkam mulutnya, tidak ada gunanya membela diri saat ini. Pria itu kembali meraih tisu, saat mendapati istrinya menutup mata. lemas, menyandarkan kepalanya di punggung sofa.      

"Apa yang anda butuhkan Tuan? biar saya keluar membelinya" ini suara Herry.      

Alvin sudah berhasil memarkirkan mobil di pelataran minimarket.      

"Air putih, tisu basah, kamu ingin apa sayang?" dia bertanya pada Aruna.      

"Minyak angin,"       

"Belikan minyak angin beraroma terapi," Titah Mahendra.      

Seiring kepergian Herry, Alvin lebih banyak sibuk dengan membuka pintu di dekat tempat duduk Nona nya. Ajudan tersebut mencoba membersihkan tisu berserakan.      

"Hai, biar aku yang membuang plastik muntahan itu.. jangan kau," pinta Mahendra.      

"Oh, tak masalah tuan,"      

"Itu kotor, bekas istriku biar aku saja.." Alvin tidak mendengar seruan Mahendra. Ajudan tersebut segera membersihkannya, lalu menjauh selepas menutup pintu mobil samping Nona nya.      

"Hendra. Aku tak suka ayam, tidak mau makan itu lagi," Aruna kesulitan menahan dirinya untuk tidak menggerutu. Entah mengapa hatinya kesal luar biasa. "Aku sudah memberitahumu sebelumnya,"     

"Maaf.. aku lupa.. harusnya tadi kamu tidak perlu memakannya,"     

"Tapi tadi kamu yang memaksa, jadi aku coba saja.. dari pada di marahi," dan Aruna menangis.      

"Tadi aku sibuk, sayang. Aku tidak sadar.." Mahendra membuat alasan. "Sudah.. jangan menangis lagi.."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.