Ciuman Pertama Aruna

III-185. Aku Ingin Kamu Cantik



III-185. Aku Ingin Kamu Cantik

0Tidak butuh waktu lama kiki keluar mengenakan  baju sesuai permintaan Vian, terdapat perbedaan yang jelas-jelas menyita perhatian. Gadis berambut panjang ini melepas ikatan rambutnya.      

Dia belum menyisir rambutnya, akan tetapi ada yang terlihat berbeda dari wajahnya, kiki merapikan diri membasuh mukanya dan mengaplikasikan make up tipis di wajah polosnya. Wajah yang sebelumnya terlihat kelelahan akibat bekerja di tepis dengan kemampuan bahan-bahan kecantikan. Kiki yang sepanjang hari bekerja, detik ini bisa tampak segar dengan menutupi semua ekspresi lelah menggunakan bedak tipisnya serta raut muka yang ia paksakan cerah.      

"Ada yang punya sisir?" sepertinya insting perempuan yang menginginkan perjumpaan dengan seseorang, mampu mendorong keinginan perempuan tersebut untuk tampil lebih baik.      

"Aku ingin menyisir rambutku, kalian ada yang punya sisir?" Dua pria yang berada di hadapannya tersentak secara bersamaan.      

"Oh," Pradita mendekat, "Aku Pradita," menyodorkan tangan kanannya.      

"Iya," kata 'iya' sebenarnya serentak dengan 'oh' yang terbit dari mulut Pradita. Vian buru-buru menuju ruang kerjanya dan membuka tiap-tiap laci, tergesa-gesa.      

Giliran pria bermata sendu itu keluar ruangnya untuk menyerahkan sisir kepada Kiki, entah pembicara apa yang di rangkai Pradita dengan tema perkenalannya. Kiki dibuat tertawa oleh lelaki yang secara nyata tidak bisa diabaikan kecerdasannya. bisa jadi saat ini dia memanfaatkan kecerdasan verbal nya.     

"Makasih," ujar Kiki bergeser mencari kursi, dia duduk di sana dan mulai menyisir rambutnya. Gadis ini punya rambut hitam pekat yang memanjang hingga menyentuh pinggang bagian belakang. Kulitnya putih bukan karena dia keturunan kulit putih. Kulit itu didapat sebab Kiki jarang melihat matahari. Dia Kebanyakan di dalam ruangan dari pagi hingga petang.      

"Kau butuh cermin,"      

Belum sempat Kiki menanggapi pertanyaan Pradita, pria termuda dari rekan-rekan sesamanya tersebut sudah menggeser kursi menyalakan kamera mode swafoto. Pradita menyodorkan layar handphonenya ke arah g wajah Kiki. Di berhasil mendapatkan senyuman mahal si pemarah.      

"Cih!" Hina Vian enggan mengamati mereka.     

"Jangan lama-lama! Anak buahku sudah memindah Thomas di ruang interogasi," Vian kurang senang melihat adegan berlebihan dua orang tersebut. Bagaimana bisa Bomb ramah pada Pradita tapi tidak kepadanya. Vian pergi lebih dahulu sebal bukan main lelaki itu.      

.     

.      

Lagi-lagi Kiki tidak diizinkan mengamati langkah-langkah kakinya sendiri, dia masih harus menutup matanya. Entah sudah berapa pintu terbuka dan gadis ini lalui.      

Tepat ketika telinganya mendengarkan suara Vian. Dia tahu dirinya kian dekat dengan seseorang yang ingin ia jumpai.      

Anehnya ruangan ini tidak menunjukkan tanda-tanda adanya Thomas. Sampai lelaki berkacamata duduk di kursi laku menyalakan layar tipis lebar dan membentang.      

"Thomas?" suara Kiki serta merta terbit mendekat ke arah layar. Lelaki yang pernah hidup di rumahnya tersebut duduk di sebuah ruang abu-abu sendirian. Dia sangat tenang, berbeda dengan jantung Kiki yang berdetak hebat menyadari Thomas sungguhan ditahan. lelaki tersebut duduk di ruangan yang menyajikan sebuah meja dilengkapi dua buah kursi berhadapan.      

"Bomb baca ini dulu," Vian menyodorkan kertas kepada Kiki, sayang perempuan tersebut masih terpaku, matanya belum mau beranjak dia masih setia melihat layar.     

"Baca dulu!" Vian menggeser tubuhnya, dan berakhir dengan berdiri menutupi layar yang ada di hadapan Kiki.      

"kamu ingin menolongnya -bukan?" Kiki mengangguk mendengar pertanyaan Vian.      

"baca dan pelajari sejenak, tanya padaku jika kamu tidak paham,"      

"Apa aku boleh membawa kertas ini?" gadis polos ini bertanya. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kertas jelas sebuah introgasi. dalam kertas tersebut juga dinyatakan bahwa Kiki tak diizinkan bertanya secara langsung. Dirinya harus merangkai komunikasi ringan terlebih dahulu, baru kemudian disisipkan pertanyaan-pertanyaan. Sejujurnya ini tidak mudah. bukan karena Kiki lulusan SMA, melainkan Tri komunikasi semacam ini hanya dipelajari orang-orang tertentu, termasuk Vian.      

"coba pertama kamu tanya kabarnya, kemudian giring dia padahal memori yang indah," ini ujaran salam dari Vian.     

"begitu ya.. tapi aku tak yakin, aku bisa melakukan seperti penjelasan di kertas ini" tukas Kiki pasrah.      

Vian menarik bibirnya, lurus, membentuk senyum simpul yang dibumbui rabaan oleh tangannya sendiri. Itu kebiasaan Vian ketika dia mulai berpikir.      

"baiklah," vian menyadari cara sistematis seperti ini tak akan berhasil. Akhirnya pria tersebut menyampaikan beberapa poin penting yang harus dicapai Kiki. Salah satunya Kenapa Vian tak mau bercerita tentang kasus yang melilitnya.      

Kiki mengangguk, gadis berambut hitam pekat memanjang tersebut dibimbing Vian menuju sebuah ruangan yang cara membukanya cukup unik. Vian memasukkan sebuah kartu pada celah, kemudian menempelkan sidik jarinya. Pintu terunik yang pernah kiki temui. Kiki tidak sadar seharusnya dia melihat pintu-pintu yang lebih luar biasa, andai matanya tak tertutup.      

Perempuan tersebut menghela nafas panjang. Rambutnya yang terurai, sempat mendapat sentuhan Vian dengan tujuan supaya gadis tersebut lebih tenang.      

"kamu pasti bisa, masuklah!" Vian memberinya anggukan. Mencoba menyulut keyakinan Kiki.      

.     

Pada langkah kakinya yang pertama, Thomas belum menyadari Kiki datang. Thomas enggan mengangkat kepalanya. Dia seolah tahu siapa yang akan menginterogasinya.      

Thomas terdiam, begitu tenang, bahkan memejamkan mata ketika suara langkah semakin dekat.      

Sampai pada gelombang gesekan kursi terdengar, yang kemudian diduduki gadis berambut panjang tersebut. Thomas buru-buru membuka matanya, ada bau parfum khas menggelitik hidungnya.      

"Thomas," suara Kiki bergetar.      

"Kiki?" laki-laki yang wajahnya dipenuhi brewok tipis serta rambut yang kian panjang berserakan, terpaku menatap Kiki.      

Thomas masih terdiam untuk beberapa detik kemudian. ekor matanya terlihat menatap sisi lain. Yang kemudian ia giring lagi untuk melihat Kiki.      

Thomas takut kepada dirinya sendiri, yang paling ditakutkan tatkala dikurung di ruang putih adalah datangnya Delusi. Delusi Terkait orang-orang yang ingin ia temui hadir dalam fatamorgana di seputaran dirinya.     

"Thomas.." suara Kiki kembali menyapa, akan tetapi gadis tersebut tidak bisa berbuat banyak.  Menyentuh tangan Thomas, menjadi hal asing saat ini. Thomas bukan pria usang yang tidur di kamar bapaknya. Bukan laki-laki yang kakinya sakit hingga tiap saat butuh pertolongan.      

antara canggung dan bingung, Kiki menutupi kesedihan hatinya, "bagaimana kabarmu Thomas?" pertanyaan Kiki tidak dijawab. Pria tersebut meraba meja dihadapannya. Telapak tangan yang tadinya merasakan permukaan halus tekstur meja. Kini Thomas mencoba memberanikan diri untuk membalik tangannya dan menengadahkan telapak tangan tersebut tepat di bawah wajah Kiki.      

Kiki sempat bingung, detik kemudian gadis tersebut memberanikan diri, menyentuhkan telapak Tangannya di atas telapak tangan Thomas.      

Permukaan kasar tangan kiki terasa, _Delusi? Mungkinkah delusi senyata ini?_ jiwa laki-laki tersebut bertanya. Jemarinya bergerak memegangi telapak tangan Kiki, awalnya satu tangan, kemudian ia putuskan mengangkat tangan kirinya dan ikut serta memegangi telapak tangan Kiki.      

Layar monitor yang menyajikan seorang pria mengenali telapak tangan perempuan. Dua orang pengamatan yang juga rekan Thomas, terbungkam. Mereka merangkai dugaan di dalam kepalanya. Apa yang terjadi pada Thomas?     

Sedangkan di ruang abu-abu, perempuan berambut hitam itu, tidak bisa lagi membendung buncah kegelisahannya. Kiki menggigit bibirnya, matanya merah berkaca-kaca, nafasnya sesak seketika.      

"kau cantik ketika marah, paling jelek ketika bersedih. Aku Ingin kau cantik hari ini," kalimat implisit Thomas layaknya sebuah pesan bahwa ia tak suka melihat duka bersinggah pada ekspresi wajah Kiki.      

"mengapa mereka sampai tega membawamu ke ruangan ini?" sejujur-jujurnya detik ini Thomas ingin meledakkan kemarahan besar. Dia tidak mau roda paling rendah dalam putaran hidupnya diketahui orang lain. Terlebih gadis yang pernah ia repot kan tersebut.      

Jumpa dengan Leo saja Thomas tak mau, dia masih berharap memiliki muka dihadapan Leo. Malah hari ini dirinya dibuat tak memiliki harga dihadapan gadis dari keluarga yang memberinya kesempatan hidup kedua.      

"mereka.. em.. temanmu.." suara Kiki terputus-putus,  akibat getaran rasa sedihnya yang ditelan kuat-kuat. "mereka.. bilang, kau tak mau memberi keterangan apapun, padahal.. mereka ingin membantumu.. " Kiki buru-buru menghapus air yang meleleh dan hampir jatuh dari pelupuk matanya.      

"Aku ingin kamu cantik hari ini," Lagi-lagi kalimat implisit ini diucapkan Thomas. Pesan bahwa Thomas tak suka melihat Kiki bersedih.      

Kiki buru-buru mengangguk, "ya.. maaf.. maafkan aku.." gadis berambut hitam tersebut mendongakkan wajahnya, dia pikir dengan begitu air mata akan kembali masuk ke dalam matanya. Padahal, caranya mendongakkan wajah semakin penampakan kegetiran. Baik dihati Thomas. Bahkan beberapa pria yang mengamati interaksi ruang abu-abu.      

Thomas melepas rabaan tangannya dari telapak tangan Kiki, "sejujurnya..     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.