Ciuman Pertama Aruna

III-177. Rasa Rindu Tanpa Beban



III-177. Rasa Rindu Tanpa Beban

0Dia bahkan tidak melihat warna lain dalam lingkaran yang membelenggunya kecuali warna putih. Thomas sangat pendiam, bahkan saat Vian dengan sengaja menemuinya dan mempertanyakan banyak hal yang terjadi dengan dirinya. Thomas hanya diam.     

Pria ini sempat menyulut emosi seorang Vian, lelaki yang cenderung dewasa. hingga mengeluarkan kata-kata dengan volume tinggi, "Kami ingin menyelamatkanmu, Please jangan mempersulit," Thomas masih terdiam.     

Hari ini pria tersebut menyendok nasi kuah kare daging masih dengan ekspresi datar. Kursi dan meja di tengah ruangan yang warnanya putih menyajikan nampan makan yang lebih meriah dari pada tahanan yang lain. Akan tetapi Thomas tak menunjukkan tanda-tanda bersemangat, dia lebih sering mengamati kakinya dan berjalan ke sana kemari dalam ruangan ketika menyadari kakinya perlahan pulih.     

"Hai.. aku membawa pesan seseorang yang di tunjukkan untukmu," Suara dari spiker di sudut ruangan membuat langkahnya terhenti, "Maaf aku membaca pesan pribadimu," Thomas tidak peduli. Ungkapan Pradita dia abaikan begitu saja.     

"Dia menuliskan kalimat yang manis, anehnya kau memberinya nama Si Pemarah", Kembali saura Pradita menyapa. Di ruang pengamatan tersebut, berkumpul dua orang yang harusnya larut dalam kesibukan lain. Pradita dan Vian kian banyak tuntutan selama pimpinan tertinggi mereka vakum. Apa-apa yang menjadi keputusan besar butuh analisis mendalam, yang berasal dari kinerja keduanya. Dalam kesibukan yang kian bertumpuk dua orang tersebut berkenan menyempatkan waktu meninjau kasus Thomas yang mau tidak mau harus segera di laporkan pada cucu tetua Wiryo.     

Demi memicu ekspresi dan suara Thomas. Pradita membuka pesan seseorang berinisial si pemarah.     

[Thomas, Semoga harimu baik, aku tidak ingin mengganggumu, hanya mau bilang, baju-bajumu yang masih tertinggal di rumah kami, aku kirim ke rumahmu yang kemarin] Pradita membaca pesan Kiki, dan senyum kecil Vian tak terelakkan, Thomas akhirnya menatap kamera sisi TV dengan sorot mata tak bersahabat.     

"Kau mau mendengarkan pesan suaranya yang lain?" kali ini Vian mengambil alih mikrofon yang semula lebih banyak di kuasai Pradita.     

Thomas bergerak menuju kursi putih di hadapannya. Dan mengangkat kursi tersebut dia berniat membanting kursi ke arah sumber suara. Sialnya suara perempuan yang dia coba lebur dalam-dalam keburu menyapa, [Thomas semalam aku mengantar bajumu, aku letakkan di depan pintu. Maaf tidak memberitahumu sebelumnya. aku tahu kau tak membalas pesanku untuk kebaikanku. Em.. Aku senang bisa mengenalmu, dapat salam dari bapak, lala dan Riki, Jaga kesehatan. Semangat, kau bisa pulang ke rumah kami kapan saja. Pintu kami selalu terbuka. Em.. aku.. e.., sampai jumpa]     

"Bip" pesan tersebut mati begitu saja.     

Kursi yang di genggam Thomas kembali dia turunkan, lelaki ini tidak lagi punya daya dan dia terdiam seperti semula.     

"Thomas.. Ayolah, buat kami bisa membantumu," Vian merayu pria di ruang putih tersebut.     

"Thomas, percayalah pada kami kali ini," Pradita membujuknya. Thomas bangkit dari duduknya, nampan di atas meja yang menyajikan kuah kare yang belum habis secara sempurna di banting pria berambut sebahu tersebut. Lalu dia terbaring di ranjang dan memilih memejamkan mata. Secara tidak langsung Thomas tidak ingin mendengarkan kalimat-kalimat rayuan Vian dan Pradita, dia tengah mengusir keduanya.     

.     

"Aku harus menemui gadis itu," ungkap Vian pada akhirnya.     

"waktunya tidak banyak Vian, sudahlah, kita ikuti maunya Thomas," Pradita mengingatkan rekannya.     

"Kamu sudah buat janji dengan Presdir?" Tanya Vian kepada Pradita.     

"Harusnya hari ini. kau tahu dia mulai mengancam kita, jujur aku mulai resah dengan keberadaan ajudan yang bekerja langsung di bawah kendalinya, dia pria yang tak terprediksi," Pradita membicarakan Mahendra dan sekelompok ajudan yang di pimpin pengawal kesayangannya, Herry.     

"Aku mendapatkan informasi tim tersebut ikut andil menyelidiki tugas kita, mereka bergerak mengusut penyerang istri Presdir," monolog Pradipta di penuhi risau.     

"Lalu kapan dia meminta kita menemuinya?" Tanya Vian berikutnya.     

"lusa," terang Pradita.     

"Masih Ada waktu 2 hari," Vian mengamati jam tangan yang melingkar di pergelangannya.     

"aku tidak bisa membantu apa pun," Pradita mengangkat bahu, "besok pertemuan besar antara dua kubu -untuk pertama kalinya terjadi, aku dan tim Raka.. kau tahu, kita harus memastikan Presdir aman pada kedatangannya di launching produk digital Tarantula Grup," tambah Pradita.     

"ya.. tugas kalian lebih penting dari yang lain, biar aku yang mengurus Thomas," tutup Vian mengakhiri pertemuannya dengan Pradita.     

***     

"aku belum mengucapkan Terima kasih dengan benar pada Damar, terakhir kali melihatnya, dia dikepung para pemburu berita setelah keluar dari sidang perceraian kita. Aku ingin hatinya lega, dia perlu tahu, Em.. aku bahagia bersamamu," monolog Aruna membuat Mahendra menjerat kuat pegangan kursinya.     

"Huuh.." ada nafas berat yang terbit dari bibir seorang lelaki, "kau bahagia bersamaku?"     

"Tentu," kalimat ini teramat melegakan lelaki bermata biru, sayangnya ketika dia berharap memeluk tubuh istrinya. Perempuan bermata coklat tersebut tiba-tiba saja mendorong pintu mobil. "Itu Damar!" suara Aruna nyaring membumbung ikut pergi bersama langkanya. selepas menamati Damar yang baru saja terlihat kedatangannya. Pemuda tersebut menemui Amay serta Ayah sambungnya, bang Bay.     

Mengetahui sang nona bergerak cepat keluar dari mobil, Alvin segera memburunya, bersama payung lebar untuk menjaga istri tuan muda dari terpaan sinar matahari secara langsung.     

.     

Di ujung sana, tidak begitu jauh dari gerombolan teman-teman. Laki-laki yang ingin ditemui sang rona kemerahan begitu gagah, di balut toga lambang kelulusan. Tangannya menenteng gulungan ijazah, pertanda dia benar-benar sudah lulus.     

Entah bagaimana Aruna mendapati rasa bangga di hatinya, walaupun dia tidak bersama Damar di tahun terakhir perjalanan kuliah pemuda tersebut. Akan tetapi tahun-tahun sebelumnya Aruna lah alarm hidup yang mendorong Damar konsisten kuliah secara teratur.     

Rasa haru hadir bersama kisah panjang yang mengikat banyak kenangan. Damar, pemuda yang hidupnya terlalu santai, dan suka tidur sembarangan, serta penampakan berantakan. Akhirnya lulus dari kuliah tanpa drama molor panjang.     

.     

Aruna melempar senyum malu-malu ketika sekelompok anak muda menyambut kedatangannya.     

"Woo… Tuan Putri Damar datang juga akhirnya," celetuk salah seorang dari mereka.     

"Hush!" Dea meletakkan telunjuk di atas mulut. Secara tersirat memberitahu bahwa Aruna tak datang sendirian. Gaya bercanda yang suka tanda kelewat batas perlu dikendalikan.     

"Ups! Kamu tak jadi.. em.." yang lain ingin menyebut kata janda tapi berat di mulut mereka. Seseorang berpakaian rapi, yang tengah membuka payung lebar untuk meneduhkan keberadaan Aruna secara spontan mengkonfirmasi status perempuan tersebut.     

Aruna mengangkat bahunya, "Senang bertemu kalian,"     

"Sayang sekali kita tak bisa memelukmu," yang paling jahil santai mengatakan kalimat unik ini.     

"Hehe," Aruna malah tertawa. Sekilas dia menoleh pada Damar.     

Pemuda itu mengangkat tangannya, dia tampak bersorak riang setelah di izinkan terlepas dari jepretan foto Amay berserta bang Bay.     

Bunga pemberian Amay-nya terangkat di telapak tangan sisi kanan, dan toga yang ia lepas dari kepala terletak pada tangan kiri. Damar melompat-lompat, "jangan lebay Deh!" Ini suara Agus yang sejujurnya meratapi rumitnya skripsi yang ia kerjakan. Agus lah yang kini terprediksi lulus tidak tepat waktu.     

Damar mengumbar ekspresi berbahagia, berlari menuju teman-temannya, "Aruna? Miss You..," pemuda tersebut lantang sekali, menyuara kan rasa rindu tanpa beban.     

Padahal dari ujung lain, pintu mobil mewah terbuka. Pria yang mengenakan baju casual dengan brand di atas rata-rata, termasuk tinggi badan serta matanya yang menyala, teramat mencuri perhatian.     

Laki bermata biru Tengah beradu cepat dengan lari nya seorang pemuda. Mahendra berjalan mengusung langkah lebar. Sang ajudan yang membawa payung demi memastikan tuannya tidak mendapati sinar matahari secara langsung terlihat tergopoh-gopoh memburu langkah Mahendra.     

"Gila, itu suami Aruna?" Tanya pemuda yang tadi kedapatan ingin memeluk Aruna, detik ini pemuda tersebut terkesima menelan salivanya.     

"pantas, Damar kalah telak," yang lain membumbui.     

.     

Sayang sekali langkah Mahendra kalah cepat dari lari Damar, pria jangkung tersebut memeluk perempuan mungil, hingga tubuh Aruna tak lagi menyentuh tanah, kakinya ikut terangkat.     

"Damar.. sudah.." keluh Aruna mengimbangi perasaan riang pemuda tersebut.     

"Bro!"     

"Damar!"     

Teman-teman mengingatkan Danu Umar, mereka tertimpa perasaan tak nyaman bercampur khawatir.     

Suami Aruna kian dekat. Tepat ketika Aruna diturunkan. Mahendra mendorong dada Damar, pemuda yang ingin memeluk Aruna untuk kedua kalinya.     

Mahendra tersenyum menyebalkan menyapa manusia paling tengil sepanjang hidup perjuangannya meluluhkan sang istri.     

"jangan memeluk ibu hamil sembarangan," Mahendra menampakkan senyum manis dengan lesung pipi yang sengaja di tunjukkan, matanya ikut-ikutan menyipit. Mahendra tersenyum terlalu berlebihan.     

Lelaki bermata biru ingin memamerkan ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.