Ciuman Pertama Aruna

III-165. Suara Tangisan



III-165. Suara Tangisan

0"I love you," Aruna tidak membalasnya menggunakan kata-kata. Perempuan ini membalasnya dengan sentuhan di bibir.     

Sang pria tak henti-hentinya mengumbar lesung pipi, sebelum mereka menggapai lelah dan perlahan menepi berteduh di bawah pohon. Kembali mengenakan baju basah.     

"Tunggu di sini!" perintah Mahendra berlari mencari Susi.     

Mahendra yang berlari menuju rumah induk mendapatkan sambutan payung termasuk piama handuk, "tolong, ambilkan istriku selimut tebal!" Mahendra membuka payung yang diberikan Ratna, dan dengan bantuan Ratna lelaki itu mengenakan piama handuk. Sedangkan Susi berlari memenuhi pesanan Tuan mudanya.     

.     

"Ratna, pinta Susi lebih cepat!" Ratna menjauh, berniat menyusul Susi. Mahendra menampakkan gelagat tidak senang, Susi lebih lama dari dugaannya.     

"maaf tuan, kamar anda terkunci, Saya mencari selimut lain," belum sampai Ratna menghilang Susi telah datang. Mahendra segera merengkuh selimut tersebut. Bersama Susi yang mengekor tuannya, Mahendra berlari di bawah payung menjemput istrinya.     

Deg'     

"ke mana Aruna?" Aruna tidak ada di tempatnya.     

Mahendra dan Susi menerawang ke seluruh jangkauan mata mereka, "Jangan membuatku gila Aruna!, DI MANA KAU!!"     

Melihat tuannya berteriak, "tuan, saya panggil ajudan yang lain," Susi menjatuhkan payungnya, lalu bergegas mencari bantuan.     

"ARUNA…!!" Mahendra menerawang ke semua tempat, "JANGAN BERCANDA DENGANKU!" lelaki ini berlari ke sana kemari.     

"Sial!" ada jejak kaki lain, bukan kakinya bukan pula kaki Aruna. Tidak ada yang mendekati tempat ini kecuali Aruna dan dirinya yang bertelanjang kaki. Jejak kaki bersepatu. Sepatu khas laki-laki sebab ukuran dan bentuknya yang condong pada jenis sepatu laki-laki.     

.     

.     

Di tempat lain, di sebuah jendela yang bisa menangkap panorama danau seseorang sedang tersenyum senang, senyum itu berubah jadi tawa. Tawa yang lama kelamaan menakutkan, karena tak sewajarnya tawa pada umumnya.     

Dan kian bahagia tatkala matanya menangkap sekumpulan ajudan pria berlarian menuju Danau.     

.     

"siapa pun yang menemukan istriku, akan ku siapkan mobil terbaik!" Hendra semakin kacau ia berlari mengikuti jejak kaki. Diikuti sekelompok ajudan yang berlari lebih cepat darinya. Menyebar ke segala arah dan beberapa masuk ke dalam danau, takut-takut nona berharga itu tenggelam.     

"Tuaaan…" suara Alvin berteriak. beberapa ajudan ikut berlari menuju Alvin seiring lari Mahendra.     

"bukankah itu nona," Alvin mengarahkan telunjuknya pada tubuh perempuan yang berjalan jauh di tepian danau.     

Tubuh Aruna dengan baju basah yang ia kenakan, menyelusup di antara semak-semak. Aruna benar-benar tidak mendengar teriakan orang-orang yang berlari mengejarnya. Mahendra berlari kesetanan, sambil gemetaran, ia beberapa kali terdapati memegang dadanya sendiri. Laki-laki ini berjuang, atas rasa takut yang menggerogotinya sebab jejak kaki asing, dan Aruna terus saja berjalan ke arah perbukitan.     

Secara geografis, rumah induk berada di antara dua kota. Lebih tepatnya jalanan menuju rumah induk terselip di tepian kota metropolitan, ketika mobil mendapat izin memasuki kawasan Djoyodiningrat, mobil tersebut akan melintasi jalan beraspal khusus milik keluarga konglomerat tersebut.     

Tatkala mobil melesat ke dalam, mobil tersebut perlahan-lahan naik dan terhenti di lereng perbukitan, sebuah rumah tunggal yang besarnya tak wajar sebab tinggi dan kokohnya kontras dengan pepohonan yang terhampar di seluruh lereng bukit tersebut. Rumah ini dikelilingi tembok tinggi membungkus kokoh dan pada sisi kanannya sebuah danau jernih, rindang, di kelilingi pepohonan menjadi daya tarik ter menakjubkan rumah ini.     

Danau tersebut bakal membawa seseorang seolah masuk dalam dunia lain, terlebih ketika berani menelusurinya tepiannya, maka kita akan disuguhkan batuan menyusun tebing perbukitan, untuk itu dinding rumah Djayadiningrat berhenti di tebing tersebut.     

"ARUNAAA…!!"     

"NONAA.."     

dan saat ini kaki kecil perlahan-lahan masuk ke semak-semak, mengarah ke tebing.     

"ARUNA! Jangan gila! Kembali kau!" suara kesetanan Mahendra akhirnya bisa terbang menyelusup masuk gendang telinga istrinya.     

Suara Mahendra naik turun, menatap penuh kemarahan kepada istrinya.     

"Hendra.." Aruna yang seperti orang linglung menoleh ke arah suaminya yang bergerak lambat, akan tetapi wajahnya merah, matanya menajam dan tangannya mengepal.     

Lelaki ini tak memedulikan lagi siapa yang tengah ia terkam, kedua lengan Aruna digenggam kuat lalu diguncang berulang, "Hendra sakit.." sang pria menangkap rahang istrinya.     

"Apa yang kau lakukan di sini!!" lelaki yang di gerogoti rasa takut itu mendesah kan suara berat, lambang ia meredam emosinya kuat-kuat.     

"Hen.. lepas.." suara Aruna memohon penuh kegelisahan, perempuan ini menyadari dirinya salah, namun ia benar-benar penasaran dengan apa yang terdengar di telinganya.     

Sebab Sang Perempuan menunjukkan wajah memerah dan ingin menangis, Hendra yang gemetaran oleh rasa takut serta emosinya yang meluap-luap yang beradu jadi satu, Hampir tidak terkendali lagi.     

Susah payah lelaki bermata biru berupaya meredam karakter buruknya dan berdamai dengan dirinya sendiri untuk melepas cengkeraman di lengan dan di dagu perempuan yang membuatnya hampir gila.     

Mahendra menarik tubuh Aruna, ia bergerak cepat menyeretnya keluar dari semak-semak, "Tuan selimut nona, tuan," Susi mencoba mereda kemarahan Mahendra dengan mengingatkannya bahwa lelaki itu menyeret istrinya sendiri. Sampai-sampai nona mungil itu berjalan sambil berlari-lari kesusahan memburu langkah suaminya.     

Nafas mata biru masih naik turun, sejalan dengan upaya Aruna yang berusaha melepas lengannya, sayangnya tak berhasil. Kumpulan ajudan kali ini bisa menoleransi kemarahan tuannya. Bagaimanapun juga nona nya salah, pergi begitu saja tanpa berpamitan, sudah tahu suaminya pria yang terlalu parno terhadap hal-hal seputar kesehatan sekaligus keselamatan sang istri.     

"Hen.."     

"Hendra.. " Aruna berupaya membangunkan suaminya dari rasa kesal hati.     

"Hen.. Apa kau tidak mendengar orang menangis?" kalimat ini lagi-lagi di suguhkan Aruna. Tapi Mahendra tidak peduli. pria tersebut menggenggam erat tangan istrinya memintanya pergi menjauh dari Danau dan berjalan cepat kembali ke menuju rumah induk.     

"Tuan selimutnya," tawar Susi menyerahkan selimut yang sama-sama terguyur rinai hujan. Mahendra yang mulai menemukan ketenangan sebab sudah berada di dekat dengan rumah induk, buru-buru meraih selimut di tangan Susi, tanpa membalas kata, Mahendra membungkus tubuh basah bercampur lumpur membalur kaki sang istri yang sempat penembus semak-semak begitu saja.     

"dengarkan Aku!" Mahendra memutar selimut di bahu perempuan basah kuyup yang wajahnya menawarkan penyesalan.     

"entah kau mendengar tangis seseorang, atau bahkan ada orang yang merintih, meminta tolong padamu, jangan sekali-kali menghilang seenaknya, " suara Mahendra konsisten menyuguhkan kemarahan. "kamu! " matanya menyala-nyala, Aruna hanya bisa menekuk mulutnya, sambil menyuguhkan mata berkaca-kaca, "ada satu nyawa yang terhubung denganmu," telunjuk Mahendra sempat mendorong dada Aruna, hingga perempuan ini bergerak mundur sedikit ke belakang.     

"dan satu lagi, ada lelaki yang kewarasannya berada di tanganmu," Mahendra sedang membicarakan dirinya sendiri, "kalau terjadi sesuatu yang buruk pada dirimu! Artinya kau sudah menghancurkan dua orang sekaligus," gertakan Mahendra mirip dirinya yang dulu. Yang tiba-tiba mencekik lehernya, atau membuangnya ke dalam kamar mandi lalu mengunci pintu.     

"aku minta maaf.." Aruna menundukkan wajahnya penuh penyesalan.     

"tuan.." Rolland menyerahkan sesuatu ke tangan Mahendra, "Saya menemukan ini setelah mengikuti langkah nona,"     

"Susi bawa istriku masuk," Aruna ditarik Susi perlahan menjauh dari sekumpulan ajudan yang mengelilingi Mahendra.     

"serahkan benda ini pada Pradita," perintah Mahendra, mendapat anggukan. Hendra sempat membalik badannya, sesaat kemudian dia menghentikan langkah Rolland dan ajudan yang lain, "Apa benda itu, jika dinyalakan, terdengar suara tangisan?" tanya mata biru.     

"ya," Rolland mengangguk, di sisi lain Herry menunjukkan seutas tali bening, semacam senar yang diikatkan pada alat yang berbunyi tangisan saat dinyalakan.     

"jangan beritahu siapa pun kejadian pagi ini, terutama mommy Gayatri dan Oma Sukma, Aku tidak mau mereka berdua dilanda khawatir"     

"baik Tuan," serempak ajudannya mengangguk untuk tuan muda Djoyodiningrat.     

"mulai sekarang, perketat penjagaan, ke mana pun 3 perempuan rumah induk pergi, jangan sampai hanya ada satu orang yang berjaga, pastikan minimal 2 sampai 3 pengawal," Mahendra segera mendapat anggukan.     

"Yang lain cari sampai dapat, pemilik jejak kaki," maksud Hendra, seseorang yang memancing istrinya menggunakan suara tangisan.     

.     

Di atas sana, dari celah jendela seseorang bersedekap tangan, mengamati Mahendra yang memberi mandat kepada para anak buahnya.     

"mengapa kamu makin menawan? Hehee.. bukankah kau dulu sangat angkuh?" seseorang bicara kepada dirinya sendiri.     

***     

"Mana suamimu Ki?" pertanyaan ini muncul dari perempuan paling bawel di kampung tepian sungai tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.