Ciuman Pertama Aruna

III-151. Yang Tergelap



III-151. Yang Tergelap

0Jantung Tom berdetak, dia sadar akan datangnya bencana berikutnya, terlebih di ujung sana Vian lagi-lagi menerbitkan ujaran kemarahan, [Tutup mulutnya! supaya dia tak mengganggu percakapanku,]     

[Thomas! Jangan pedulikan aku.. Tutup telefonmu, pergi! Tho...] Suara Kiki menghilang. Ada penekanan pada tiap kata yang di sampaikan Kiki.     

[Apa yang kau inginkan?] Thomas bisa duduk dengan benar, Ia membaringkan tubuhnya lagi.     

[Aku ingin kau menyerahkan diri padaku] kata Vian.     

[Tapi aku punya permintaan] suara Thomas terdengar pasrah, bagaimana tidak, pria ini sudah bekerja keras membalaskan dendamnya. Pada mulanya ia memiliki tujuan menyandra Darko atau kalau perlu membunuh Darko. Supaya Nana sang otak utama menyadari Darko, seorang pengikut yang akan menuruti semua permintaannya telah tiada. Tinggal pria yang dulu dia bayar untuk menjadi partner Darko. Meringkusnya dan mendorongnya hingga jatuh ke dasar sungai.     

Kemudian baru Nana sasaran utamanya. Sebab di dalam kluster yang jadi targetnya, malah menghadirkan Leona. Seorang perempuan yang pada mulanya menjadi segala alasan serta latar belakang dirinya ikut andil memenuhi permintaan Nana. Thomas pikir dengan menyandera Leona tentu dia akan mudah mendapatkan Nana. Perempuan yang harus menanggung tindakan pembunuhan berencana yang ditujukan kepadanya.     

Ketika Thomas akhirnya kalah dengan sakit di kakinya. Dan Saat ini seolah dirinya yang tersandera Leona. Thomas tidak punya pilihan lain. Menyerahkan diri pada Vian lebih baik daripada mengakui bahwa akhirnya dia kalah dengan Nana.     

[Lepaskan Kiki] pinta Thomas.     

[Aku akan melepaskannya kalau kamu sudah berada di hadapanku] Vian menegaskan barter yang tepat versi dirinya.     

[Di mana kau saat ini?"]     

[Kau akan mendapati diriku dengan mudah, tolong lepaskan dia]     

[Maaf, bukannya aku tidak mempercayaimu. Tapi, Apa kau lupa? kau yang menghancurkan ruang kerjaku? Kali ini kamu yang harus datang bangunkan] Vian tidak mau ke curian.     

[Dia, tulang punggung. Mengambil Kiki dari rumahnya bakal menghancurkan seluruh anggota keluarganya. Please! Lepaskan dia] di ujung sana Vian melepas tawa ringan.     

[Ingin sekali aku peduli, sayangnya tidak ada alasan agar aku mempercayaimu] kilah Vian.     

[Baik, kirimkan lokasimu] spontan Thomas membalasnya. Lelaki rambut sebahu tersebut menegakkan punggungnya. Sambil masih menempelkan handphonenya di telinga. Thomas memaksakan diri menurunkan kakinya dari atas ranjang. Terhuyung-huyung ia berusaha.     

"Ah'," berikut ini suara terkejut Thomas. Telepon genggamnya di ambil Leo.     

[Vian!] Leo meneriaki Vian. Ia menyingkir keluar dari rawat inap Thomas. Suara bantingan pintunya sebab marah, tak bisa terelakkan.     

"Kembalikan!" Protes Thomas, "Sial!" pria berambut sebahu ini merasakan rasa sakit yang luar biasa di kakinya. Ketika kaki tersebut menggantung di udara.     

[Leo? Leona?] Terkejut Vian mendengar suara Leona. Vian tahu Leona sudah pulang ke Indonesia. Namun, Vian tidak habis pikir ternyata Leona saat ini bersama dengan pria yang dikabarkan meninggal. Apakah mereka berdua bekerja sama? Entahlah, Vian tak peduli. Tujuannya cuma satu menangkap Thomas.     

Seseorang di lantai D yang menjadi pemimpin kasus peledakan ruang kerjanya sendiri. Vian tersandera oleh rasa penasaran atas Apa alasan Thomas melakukan ini semua? Mungkinkah kasus pengihanatan Leona kepada tuan muda yang dulu ia tangani menjadi bagian yang melatarbelakangi seluruh kekisruhan lantai D? Vian selama ini tak henti-hentinya membuat spekulasi. Ia mempertanyakan banyak hal? Dan mencoba menciptakan berbagai dugaan yang hampir menggiringnya dalam kegilaan.     

Kasus Leona di masa lalu, di mana sahabat perempuan satu-satunya tuan muda yang bernama Tania di manfaatkan Leona. Sehingga tuan muda Djayadiningrat Marah besar, mengusirnya pergi.     

[Ah' waw.. tambah menarik]     

[Aku tidak peduli Apa tujuanmu, Jika kau menginginkan Thomas. Pergi ke rumah sakit. Dia, baru saja selesai menjalankan operasi. Kecuali kau ingin dia mati karena berusaha keras menemuimu] Suara kemarahan Leona seperti api menyambar-nyambar. [Kita berdua tahu, Thomas keras kepala]     

[Ucapanmu bisa ku percaya?]     

[Huuuh, aku tak tahu kenapa kita menjadi manusia yang saling curigai setelah dewasa] mereka sahabat saling melindungi semenjak Leona tinggal di Indonesia, menukar keberadaannya dengan keberadaan kakaknya.     

[Kamu yang mengawali kekacauan ini!] Vian sama emosinya.     

[Akan ku kirimkan buktinya] tandas Leo. Perempuan ini berniat mengirimkan bukti perawatan, terlebih lagi tepat ketika ia membuka pintu kamar rawat inap Thomas. Dokter beserta suster penjaga yang sedang bertugas, sengaja diambil gambarnya demi memuaskan rasa penasaran Vian.     

***     

"sayang.." lelaki bermata biru memanggil perempuan yang tertidur di dadanya. Rambut perempuan tersebut ia mainkan.     

"Hemm.." hanya gumaman yang menjadi balasan, si perempuan ingin melanjutkan tidurnya.     

"aku, em.." Mahendra seolah ingin mengungkapkan sesuatu, tapi ia tahan.     

"Kenapa?" kata tanya sederhana ini mengandung banyak makna. Terutama makna dibalik ucapan tertahan-tahan Mahendra.     

"apa airnya kurang hangat," tangan kanan yang tadi memainkan rambut, sedangkan tangan kiri yang menggantung di udara. Bergerak merasakan suhu air di bawah busa.     

"sudah cukup," balas Aruna, perempuan ini merelakan membuka mata.     

"Aku rasa kurang hangat," Hendra tak setuju dengan pendapat suaminya.     

"Hehe.." Aruna malah tertawa. Punggung yang sejak tadi menempel di dada suaminya kini diluruskan. Sehingga pria itu secara spontan meraba punggung perempuan yang luasnya tak seberapa.     

"Aku ingin membuat permintaan ke 2," ungkap Hendra sembari meletakkan kelima jarinya di atas permukaan punggung Aruna.     

"Oh'.. itu kah yang kamu pikirkan sejak tadi?"     

Pria itu mengangguk, Aruna menoleh. Separuh wajahnya terlihat Mahendra.     

"sebutkan!" titah perempuan mungil.     

"Apa yang kamu lihat ketika berada di tepian pantai?" Bukannya menyebutkan keinginannya, Mahendra malah melempar pertanyaan tentang pantai.     

"indah, biru, dan desir suara ombak yang paling menawan," perempuan ini tak lagi menoleh, ia sedang berkhayal tentang pantai, "aku ingin mendengar deburan ombak," kalimat Aruna berikutnya. Dia menduga keinginan Mahendra seputar akan membawanya jalan-jalan ke pantai.     

"apa kamu tidak takut, andai sewaktu-waktu laut menyimpan ombak besar. Atau jangan-jangan warna biru yang istriku lihat menyembunyikan predator,"     

"Kenapa kamu mengatakan hal-hal yang menakutkan?"     

"Tidak, Aku hanya ingin tahu pendapatmu?"     

"tidak ada di dunia ini yang tidak mengandung risiko," ucap Aruna.     

Hendra terdiam.     

"sejujurnya untuk mengetahui betapa indahnya pegunungan, para pendaki mempertaruhkan banyak hal, termasuk risiko keselamatan mereka?"     

"Begitu ya.."     

"kau mirip kakekmu," hina Aruna.     

"maksudmu, apa??" lelaki bermata biru tersebut tidak terima di katakan mirip sang kakek.     

"suka berbelit-belit, mau apa katakan saja!!"     

"Oh," sama seperti Wiryo kala mendapatkan penjelasan panjang kali lebar lalu balasannya sekedar 'oh'.     

"berbaliklah Aku ingin melihatmu,"     

Malu-malu Aruna membalik tubuhnya.     

"yang benar saja kau ini!" rundung Hendra melihat istrinya memerah malu. Mereka sudah melewati banyak hal semacam ini, masih saja wajahnya merah padam hingga telinga.     

Si mungil mengumpulkan ceceran busa, ia menenggelamkan gambar diri yang samar-samar tertelan air.     

Tangan Mahendra menjulur meraba wajah sang istrinya, "cintai aku! Sama seperti kau menghirup nafas di malam hari,"     

"kamu masih suka mengamatiku bernafas," Aruna pikir ucapan Hendra sekedar rayuan gombalan lelaki kepada istrinya.     

Dia menggeleng, "aku mengamati semuanya, kau pernah mengamatiku,"     

"Kamu lupa kelebihanku?" dan Aruna menyipit tertawa, "tidur dan lupa segalanya itu kelebihan istrimu," Aruna akan hilang ke alam lain kalau sudah di sandera rasa kantuk.     

Hendra tidak tersenyum, tidak menampilkan ekspresi hangat. Ia menatap dingin dan sedang serius.     

"aku minta kau mencintaiku. Sebesar apa pun risikonya. Walaupun tampaknya aku yang sekarang kau amati, mirip pantai, tapi dia juga punya-"     

"-sisi gelapnya," Aruna membalik tubuhnya. Bergerak memundurkan tubuh. Dan punggungnya kembali bersandar pada dada sang pria.     

Mengabaikan ekspresi terkejut Mahendra, apa yang ingin Hendra ucapkan bisa dilanjutkan Aruna.     

"airnya sudah dingin, nyalakan kran air hangat untukku!" ini ucapan perempuan kembali menutup matanya.     

Hendra menuruti permintaan Aruna. Bersama suara gemercik air hangat menggeser air dingin dan busa di bathtub, untuk kedua kali Aruna mengucapkan ujaran uniknya, "apa yang paling gelap selain pernah mencekik istrinya dan mengurungnya sampai pingsan?, Beri tahu aku!"     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.