Ciuman Pertama Aruna

III-148. I Am A Queen



III-148. I Am A Queen

0"Pestamu sudah di siapkan di bawah.." Aruna mendorong tubuh lelaki tinggi tegap yang asyik memegangi pelipisnya keluar kamar.     

"Tunggu.. tunggu.. aku menemukan satu permintaan penting," suara Mahendra menyapa secara tiba-tiba membuat Aruna terperanjat.     

"Mulai sekarang tidak ada lagi uji coba 2 bulan atau semacamnya. Please! tidak ada lagi ancaman meninggalkan ku. Kita tahu kita saling mencintai, kita tahu kita akan menemui kehancuran ketika di pisahkan, akan kuberikan duniaku padamu," lelaki bermata biru memburu langkah kaki istrinya menuruni tangga menuju lantai pertama.     

"seluruhnya?" tanya Aruna, menimpali kalimat Mahendra yang tampak heboh sendiri.     

"semuanya," lelaki tersebut mengayunkan kedua belah tangannya, membuat lingkaran besar.     

"Haha.." perempuan ini tertawa riang, sayang sekali, detik berikutnya langkahnya terhenti. Membuat laki-laki yang sedang berjalan membuntutinya ikut terhenti.     

"Ada apa sayang?" tanya Mahendra yang menangkap kesan kurang nyaman pada wajah Aruna. Untungnya tak butuh waktu lama ekspresi perempuan tersebut berubah semringah. Hanya butuh sekian detik, raut wajah Aruna menampilkan senyuman manis luar biasa.     

Aruna meraih lengan Mahendra, menjerat lengan tersebut dengan perasaan kepemilikan.     

_I am A Queen_ gumam Aruna memandu langkahnya.     

"Indah sekali," dia bertepuk tangan untuk pekerjaan seseorang, terserah siapa pemilik ide atau konsepnya. Aruna tidak peduli walaupun Nana tampaknya punya banyak andil dalam menyiapkan pesta kejutan sederhana versi Djoyodiningrat untuk Hendra pagi ini. Nana tersenyum manis.     

Perempuan bermata bulat indah tersebut sempat menyapa Mahendra, "Kau suka Hen.."     

"Yaah, asal istriku suka," santai Hendra membalasnya.     

"Pekerjaan sekretaris sampai sejauh ini ya.. Terima kasih kak Anna, aku tidak perlu repot-repot," Perempuan yang berniat duduk dan ternyata kursi yang dia sentuh sudah lebih dahulu di geser suaminya, "Mungkinkah aku bisa minta kak Nana menyiapkan dekorasi kamar kita, biar malam ini lebih indah," sarkasme perempuan yang sejujurnya sempat merutuki dirinya sendiri sebab lupa hari bahagia orang terpenting dalam hidupnya.     

"Kamu nakal sekali sayang," tangan besar Mahendra mengacak rambut istrinya. Sejujurnya pria ini terkejut bagaimana bisa Aruna tidak menunjukkan permusuhan terhadap Anna. Apakah istrinya benar-benar seorang malaikat pemaaf?     

Ketika pikiran Mahendra kembali pada adegan-adegan percekcokan Aruna dan Anna di hadapan penyidik kepolisian. Hendra sama sekali tidak bisa menduga, istrinya membuat hatinya jenak dan tenang layaknya kumpulan rumput yang disirami.     

"Buat apa merayakan kematian," Seluruh isi ruangan mengerut, para asisten rumah induk yang tengah sibuk merapikan meja makan keluarga, termasuk dekorasinya dengan warna merah biru, spesial hari ulang tahun Hendra. secara mengejutkan seolah terkomando mempercepat ritme kerja mereka, " Nana,"     

"Maaf Opa.." tanpa mengatakan apa yang salah, perempuan yang dari tadi mengomando persiapan surprise sialan versi Aruna, sedang menundukkan kepala menyesali sesuatu.     

"Kau melupakan tradisi keluarga ini?" kursi tetua yang di dorong Andos bergerak mendekat. Aruna sendiri belum mengerti mengapa lelaki paruh baya tersebut marah terhadap penyambutan hari ulang tahun suaminya. Wajah gadis bermata coklat masih terbengong, dan ketika dia menoleh pada Mahendra, alis suaminya hampir menyatu selepas itu mata biru tampak cuek, seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi.     

"Bawa sarapannya, aku sudah lapar!" Hendra memecah konsentrasi kemarahan tetua Wiryo, meminta asisten menuruti permintaannya. Dari arah berbeda Aruna juga menangkap kedatangan Oma Sukma beserta Ibu Gayatri.     

"Apa salahnya menikmati hari kelahiran sekali-kali," ini suara Oma Sukma, dia melempar perkataan tanpa melihat lawan bicaranya. Berjalan begitu saja melewati keberadaan tetua Wiryo dan buru-buru duduk di dekat Aruna, tempat yang seharusnya bukan tempat duduk oma Sukma.     

Aruna memutar otaknya, antara penasaran dengan cara berpikir opa Wiryo yang melarang adanya perayaan ulang tahu –padahal selama ini Aruna dan kakak-kakaknya sering kali melingkari tanggal di kalender demi perayaan ulang tahun, bahkan sudah membuat daftar kado maupun konsep pesta yang di inginkan kepada ayah Lesmana dan bunda Indah-. Tradisi apa lagi ini? Demikian Aruna mencoba menerka-nerka.     

Tradisi? Tampaknya ada banyak hal yang tidak tertulis. Tapi secara nyata menjadi kebisaan yang akan jadi sesuatu besar saat di langgar anggota keluarga Djayadiningrat. termasuk perpindahan duduk oma sukma pagi ini, pasti sedang terjadi sesuatu dan Aruna belum tahu.     

Kursi pada meja makan rumah induk Djoyodiningrat layaknya lambang kedudukan dan tidak bisa duduk sembarangan. tiap-tiap orang punya posisinya. Misal, opa Wiryo selalu duduk di ujung meja menghadap ke barat selayaknya pemimpin, sedangkan posisi oma Sukma tepat di sisi kirinya menghadap ke Selatan disusul berikutnya mommy Gayatri.     

Untuk Mahendra, pewaris tunggal tersebut duduk tepat di kanan opa Wiryo menghadap ke selatan di susul Aruna sebagai istrinya. Selebihnya, setelah kepulangan Aruna dari kepergiannya meninggalkan rumah induk, Aruna baru tahu orang lain boleh makan dalam satu meja bersama keluarga inti Djoyodiningrat, orang lain tersebut ialah Anna. Perempuan yang hampir tiap kali jadwal makan keluarga, dia akan duduk di sebelah kiri mommy Gayatri.     

Entah dulu waktu Aruna pergi dia duduk dimana. Jangan-jangan posisi duduknya pernah di isi sekretaris Nana.     

_terserah lah_ Aruna mencukupkan kemelut isi kepalanya. perempuan ini lebih memilih menyapa Oma Sukma daripada mempertanyakan Kenapa dia berpindah posisi.     

"Oma sudah sehat?" tanya Aruna menyajikan senyum manis di wajahnya. Dia akan jadi ratu keluarga ini suatu saat, dirinya harus banyak belajar dari oma Sukma yang selalu menyajikan aura positif.     

"Jangan pikirkan aku, bagaimana dengan si kecil di dalam sini," perempuan yang melempar pernyataan sambil diam-diam ingin sekali menyentuh perut istri cucunya. Sempat membuat Aruna tertawa.     

"pegang saja Oma," muka Sukma senang seketika. Hendra juga tertarik dengan interaksi dua perempuan di sampingnya.     

"Sudah berapa kali aku bilang, sejak dulu di keluarga ini tidak ada perayaan semacam ini," suara kaku itu menghancurkan suasana untuk ke sekian kalinya. Anehnya Aruna malah bahagia melihat Anna yang menunjukkan bahasa tubuh penuh penyesalan. _Untung aku lupa ulang tahun Hendra_ Aruna Berbahagia, berlawanan dengan Nana yang tidak berani mengangkat wajahnya sama sekali.     

"buat apa kau menyuruhnya menyiapkan perayaan! Hari ini! Lambang, kian pendeknya umurmu," kini Wiryo malah memarahi Mahendra.     

"Huuuh," Hendra tidak membalas ucapan Wiryo. Telapak Tangan lelaki bermata biru digenggam istrinya. Jadi ia cukupkan menghembuskan nafas.     

"daripada perayaan semacam ini, berterima kasih lah pada orang yang melahirkanmu!"     

_oh, begitu maksudnya_ rasa penasaran Aruna akhirnya terjawab, ada juga tradisi turun temurun semacam ini di keluarga Djoyodiningrat.     

Tepat ketika mommy Gayatri duduk di hadapan Aruna, perempuan bermata coklat tersebut mengambil alih kemungkaran Opa Wiryo, "Mommy Terima kasih sudah melahirkan lelaki tampan yang sekarang jadi suamiku," Aruna mengejutkan, tahu-tahu ia berdiri. Terlebih ujung jempol dan telunjuknya mengirimkan tanda love untuk mommy Gayatri.     

"kata temanku Dea, ini sarangheo, Aku sangat mencintaimu mommy," bukan cuma Gayatri yang berakhir menutup mukanya menggunakan kedua telapak tangan, sebab rasa malu-malu merambati Gayatri daripada pemilik perilaku unik bin lucu itu. Sukma pun tertawa.     

"Em.. apa aku salah??" aruna buru-buru duduk. Pipi Hendra merah, antara malu dan tersipu mengamati para asisten rumah induk yang sejak tadi sibuk, serta-merta menghentikan kegiatannya. Perilaku dan suara Istri tuan muda menyita perhatian. Mereka menyimpan rasa geli rapat-rapat.     

Wiryo merelakan luapan kemarahan, meminta Andos mendorong kursinya menuju posisi utama yang menjadi sentral meja makan perpaduan batuan marmer dan kayu jati.     

"Tetua saya akan melanjutkan tradisi anda. Ungkapan kebahagiaan di hari ulang tahun, Paling tepat adalah berterima kasih pada ibu kita," ini kalimat Aruna, udah basah oleh rasa malu, mandi saja sekalian.     

"Hem.." hanya dehem yang terdengar di telinga Aruna, padahal perempuan ini bersemangat mendukung tradisi yang tengah dipertahankan Wiryo.     

"Hari terberat, pertaruhan nyawa seorang ibu demi putra-putrinya lahir ke dunia," Aruna mengamati tetua Wiryo, _ih.. kenapa dia tidak terkesan dengan ucapanku?_ batin Aruna yang saat ini sedang belajar merangkai kata-kata manis. Kebiasaan yang secara tidak sadar di ajarkan Nana kepada Aruna. Sebab perempuan polos ini menirukan perilaku anak angkat tetua yang sering kali menyenangkan lawan bicaranya.     

_besok aku bakal ikut public speaking, lihat saja! Gara-gara lama tidak mengisi seminar teman-teman start up kemampuan ku menurun drastis_     

"Mommy,"     

Deg     

Suara ini berasal dari sisi kiri Aruna. Semua mata sontak direnggut oleh berdirinya sosok ... ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.