Ciuman Pertama Aruna

III-142. Cermin



III-142. Cermin

0Langkah pendek-pendek Aruna menuju pada Ratna, "nona tolong! jangan membantu saya!" bukannya merasa tertolong Ratna merasa sangat terganggu mengetahui perempuan ringan tangan tersebut pasti berniat membantunya.     

setelah susah payah Ratna menyajikan kursi di dekat ranjang tetua Wiryo, "kau boleh keluar," suruh Wiryo pada Ratna. Tentu saja Ratna segera menundukkan kepalanya dan bergerak cepat keluar dari kamar utama rumah induk.     

"Ada yang bisa saya bantu?" Ucap gadis yang kini duduk di kursi empuk, dengan pegangan tangan berupa kayu melengkung membuat nyaman tangan yang memegang. pelitur licin kini tengah di raba Aruna.     

"Bagaimana kandunganmu?" tidak se- menakutkan bayangan Aruna, ternyata Opa Wiryo menanyakan bayi di dalam perut Aruna.     

"Baik, semoga selalu baik, saya akan berupaya menjaganya sebaik mungkin, semampu saya," Aruna paham, Opa Wiryo tak pernah basa-basi. Bisa jadi dia benar-benar penyimpan rasa penasaran terhadap kondisi penerus yang bersemayam di tubuh Aruna.     

"sudah ada jadwal pemeriksaan kandungan?"     

"Eemm.. asis-" kalimat berikut terpotong sebab Wiryo kembali melempar pernyataan berikutnya.     

"ketika kamu ingin memeriksakan kandunganmu, izinkan aku ikut," mata Aruna melebar seketika. Dia masih belum yakin dengan ucapan opa Wiryo.     

"Baik," di cukupkan kalimat ini yang bisa Aruna sampaikan.     

"Semoga bayimu laki-laki," Kedua alis Aruna hampir menyatu mendengarkan ucapan opa.     

"Kenapa dengan laki-laki?" Aruna tahu itu tuntutan menjadi istri Mahendra, walaupun Hendra sendiri selalu mengharap bayi di kandungan istrinya perempuan. Hendra sering menyampaikan keinginannya.     

"Kamu tahu? Siapa pria yang menjadi suamimu," Aruna menarik bibirnya lurus berupaya tenang. Aruna tidak tahu kenapa, tapi dia merasa tidak segugup sebelumnya. Dia hanya mengangguk.     

"Memimpin ribuan karyawan membutuhkan laki-laki," tandas Wiryo.     

_Ya, tidak salah_ batin Aruna.     

"Jika bayimu perempuan, cobalah segera mengandung anak kedua dan berikutnya, keluarga ini terlalu minim keturunan," monolog Wiryo semacam titah yang tak di perkenankan untuk terbantah.     

Istri Mahendra mengangguk bersama garis lurus yang di sajikan bibirnya.     

"Lalu bagaimana?" perempuan ini mengangkat wajahnya, "Seandainya takdir yang tertulis untuk saya tidak tak akan pernah mengandung atau memiliki bayi laki-laki?" Aruna mencoba berandai-andai.     

Dan Wiryo terdiam, "bahkan aku khawatir kau tak bisa bertahan di keluarga ini. Melahirkan anak banyak? Tampaknya mustahil," kalimat Wiryo membingungkan.     

Lalu lelaki paruh baya menanyakan perihal punggung, "luka di punggungmu, aku minta maaf, mungkin adikku pelakunya," sepanjang percakapan menanyakan kondisi punggung Aruna ucapan terakhir Wiryo berupa ungkapan permintaan maaf.     

Sepanjang komunikasi yang pernah terjalin antara Aruna bersama opa Wiryo, baik terang-terangan maupun diam-diam mencuri dengar tiap-tiap ucapan opa Wiryo. Aruna jarang sekali mendengar kakek Djoyodiningrat mengucapkan kata maaf. Aruna sempat terkesan sesaat.     

"Apakah seburuk itu hubungan anda dan adik anda?" Kata tanya Aruna sebuah simbol bahwa interogasi ini berbalik arah.     

Wiryo hanya terkekeh, lalu matanya menerawang seolah mencari sesuatu. Aruna buru-buru berdiri setelah ia sadar opa Wiryo -sekian detik- pengamatannya terhenti pada meja yang menyajikan gelas klasik berisikan air putih.     

Istri Mahendra  lekas bangkit meraih benda yang di inginkan Wiryo secara tersirat. Dia letakkan pada dekapan jemari tangan Wiryo selepas membuka penutup cangkir air. Setelah beberapa teguk air pelepas dahaga masuk ke tenggorokan, Aruna belum juga duduk, perempuan ini tengah menunggu Wiryo selesai. Dan Wiryo tahu itu, dia pun menyerahkan kembali pada Aruna, "Kamu mirip Ayahmu," Aruna spontan menoleh pada lawan bicaranya, dia yang tidak fokus membuat tutup cangkir jatuh ke lantai, bunyi benturan di balut kegugupan nyatanya malah di sambut kekeh tawa kedua Wiryo.     

"Kau tahu kenapa Ayahmu paling berhasil mencuri hatiku, ketika dia hanya bekerja sebagai sopir biasa, sampingan sambil kuliah malam?" Aruna tidak tahu kisah ini, yang diketahui putra-putri Lesmana ayahnya adalah ajudan kesayangan tetua Wiryo.     

Aruna menggeleng, bersama gerakan menutup cangkir kosong. Mimik muka perempuan ini mudah dibaca, ia tengah penasaran.     

"bahkan ekspresi penasaranmi mirip dengan ayahmu,"     

"Benarkah?" mata Aruna melebar giginya terlihat karena ia tersenyum.     

_Tulus_ "Huuuh," yang di tangkap oleh pengamatan Aruna hanya hela nafas.     

"Ayahmu selalu tahu apa yang aku butuh kan dan aku inginkan, sering kali ketika aku belum sempat mengucapkannya,"     

"Begitu ya," Aruna mengangguk dua kali bersemangat mendengar kisah ayah Lesmana.     

"ada satu hal lagi yang mirip denganmu," Lagi-lagi pupil mata Aruna melebar.     

"Apa?" perempuan ini dilanda penasaran. Bagi Aruna disamakan dengan ayahnya ialah sesuatu yang amat luar biasa. Lesmana terlalu spesial di mata si bungsu. Aruna paham dirinya bukan anak kandung. Akan tetapi cinta Lesmana dan setiap perhatiannya sama sekali tidak berbeda. Merasa dirinya benar-benar anak bungsu Lesmana yang mendapat cinta melebihi kakak-kakaknya terkadang bikin iri Aliana.     

"Ayahmu selalu antusias," Wiryo beradu mata dengan Aruna, kekeh tawa ringannya yang mirip Mahendra terekam sekali lagi di telinga Aruna, "-mendengarkan ceritaku, padahal kebanyakan yang keluar dari mulutku cenderung membosankan," dia tertawa lagi, "sering kali menggunakan hati untuk menghayati tiap kata yang aku keluhkan. Andai kamu paham, aku sendiri kadang lupa, aku manusia,"     

Mata Aruna menyipit, perempuan ini malah mengingat Mahendra. Mahendra mirip robot hidup, begitu keluhan Pak Surya pada Dea yang diceritakan ke dirinya (Aruna). Opa Wiryo mungkin tidak jauh-jauh dari definisi Mahendra ketika dia gundah perihal harapannya Mahendra akan menunjukkan wujud robot hidup, bekerja tanpa kenal waktu, membuat keputusan-keputusan di luar nalar. Kakek dan cucu dari gen sejenis. Bisa jadi serupa, semoga tidak dengan otoriternya.     

"Apakah menurut anda, saya bisa sehebat Ayah saya?" Aruna kembali menyodorkan pertanyaan kepada Wiryo.     

"Maksudmu?" Wiryo di buat bingung kali ini.     

"membuat anda tersenyum, hanya dengan mengenang kebersamaan anda dan ayah Lesmana," mata lelaki tua itu berputar, menerawang kosong. Aruna tahu Wiryo menangkap panorama terkait sesuatu -entah apa itu-.     

"Cicit laki-laki, untuk pria yang akan memasuki usia senja. Bisa membuatku lega meninggalkan keluarga ini pada tidur panjangku nanti," Raut muka Aruna langsung berubah drastis. Ucapan Wiryo seperti wasiat seputar tutup usia.     

"Akan aku titipkan seluruh kekayaan keluarga Djoyodiningrat atas namamu, aku siap pindahkan seluruh aset keluarga kita dari Oma-mu menjadi atas namamu," Alis Aruna menaut.     

"Kenapa begitu?" Aruna dilanda rasa gugup yang lebih kuat dari sebelumnya.     

_ternyata semua kekayaan Djoyodiningrat ada pada Oma_     

"Kau tahu kenapa?"     

"Cicit laki-laki sangat penting?"     

"Tentu, selain itu.." Wiryo meneduhkan tatapannya dan mengunci wajah Aruna pada kornea hitam penuh keseriusan, "selain penerus laki-laki, kekayaan yang di atas namakan perempuan adalah simbol bahwa laki-laki Djoyodiningrat tidak akan menghianati perempuannya," monolog Wiryo menggetarkan dada lawan bicaranya.     

"mohon maaf, setahu saya Oma Sukma tidak memiliki.. Em.. Putra?" Aruna dilanda rasa ingin tahu yang tidak tertahankan.     

Ekspresi Wiryo menjadi kaku, entah itu pilu atau murka, sulit sekali dibedakan, sebab lelaki paruh baya tersebut sepanjang pengetahuan Aruna. Cuma sekali saja menampilkan mimik wajah lepas yaitu pada pidato konyol Aruna di altar pernikahannya. Pidato konyol yang membuahkan roll royce.     

"Kami hampir mendapatkan bayi laki-laki, Sayangnya janin malang tersebut tak pernah dilahirkan,"     

Aruna terbungkam, _Apakah kejadian yang menimpaku pernah di rasakan Oma?_     

_Apa itu sebabnya, tetua Wiryo tak mengizinkan para perempuan bebas berkeliaran kecuali dalam penjagaan ketat yang berlebih_ (sampai malu sendiri)     

"Aku memindahkan seluruh aset keluarga ini pada oma-mu, dia sedih berlarut-larut," kalimat ini tertelan dan tak ada imbuhan.     

Dalam benak Aruna, perempuan tersebut membuat berbagai macam dugaan, narasi-narasi cerita menyayat hati hasil merenungkan kalimat Wiryo yang tertelan.     

"kau bakal memikul beban berat, ketika sendirian, aku menawarkanmu membagi beban beratmu?"     

"tidak, untuk mengizinkan Mahendra menikah lagi," Aruna secara spontan mulai memahami sudut pandang kakek suaminya.     

"kita saling terbuka saja detik ini,"     

_terbuka?_ ini suara batin Aruna.     

"Jujur, sejujur-jujurnya, lelaki tua yang kakinya lumpuh ini. Lebih takut jika terjadi hal buruk padamu daripada akhir kematian ku,"     

Deg     

_Kenapa kalimatnya selalu menakutkan?_ Aruna tidak bicara lantang, akan tetapi hatinya tak bisa berbohong. Kalimat-kalimat opa Wiryo berputar-putar pada sebab akibat yang membuat dada dan kepalanya bekerja lebih keras.     

"lebih dari cukup untuk membuat kesimpulan. Hendra, satu-satunya harapan keluarga ini bisa gila, andai sewaktu-waktu kejadian lebih buruk dari kemarin menimpamu," syarat makna tersirat, Aruna seolah-olah menangkap pesan: 'semua kejadian buruk, bisa terjadi kapan saja'     

"Jadi anda ingin mengantisipasi ketergantungan cucu Anda terhadap saya?" suara tegas Aruna sempat mengejutkan tetua Wiryo.     

"Mungkin. Sedia payung sebelum hujan. Kaidah yang layak dijalankan,"     

"lalu.. Bagaimana andai hujan tak pernah datang? Bukankah payung tersebut bakal sia-sia? Padahal, untuk mendapatkan payung, ada pengorbanan yang teramat besar?"     

"penyedia payung, sudah menerka ramalan cuaca,"     

"Seperti apa cara Anda membuat ramalan,"     

"putri Lesmana mau tahu?" Aruna mengangguk tegas.     

"Berdirilah di tempat yang aku tunjuk," Aruna mengikuti arah telunjuk tetua Wiryo, "Sekarang berbalik lah!, buka matamu!"     

Deg     

_Cermin??_     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.