Ciuman Pertama Aruna

III-132. Ajudan Berpakaian Hitam



III-132. Ajudan Berpakaian Hitam

0Lantai bawah tanah menunjukkan kedatangan dua pimpinan divisi. Vian diam-diam menunggu mereka berdua. Lelaki ini tengah di buru rasa penasaran. Mengapa dirinya tidak di ikut sertakan menemui pimpinan tertinggi? Seolah tengah di sisihkan secara sengaja.     

Mengetahui Raka dan Pradita benar-benar tiba di lantai D. Vian kembali menyelinap menuju ruang kerjanya. Ruangan baru yang segalanya serba di perbarui.     

Vian menenangkan diri, duduk di kursinya, tampak kedua tangannya berada di atas meja. Menciptakan sudut lancip, membentuk sebuah puncak, yang mana kelima jarinya saling berkaitan kiri dan kanan. Vian memejamkan mata sejenak, berikutnya tampak jelas pria itu menarik laci paling bawah pada mejanya. Vian mengeluarkan hasil sidik jari Thomas.     

"ternyata kau masih hidup, kawan," Vian merenungi sesuatu. Dia menggali alibi Thomas, Apa yang membuat Thomas sampai terdorong menghancurkan ruang kerjanya.     

Bukankah mereka sangat akrab?     

Thomas penghuni yellow house sejak ia kecil, sedangkan Vian baru hadir selepas ia tak lama mengenakan seragam merah putih sebagai lambang tingkat pertama sekolah dasar.     

Pada masa kecil mereka, Vian cenderung menggantungkan dirinya kepada Thomas. Lelaki tersebut membuatnya betah berada di lokasi yang jauh dari tempat asalnya. Thomas juga lah yang mengajarkan kebahagiaan tinggal dan hidup secara mandiri di tempat tersebut. Termasuk membuka jalan mengenal teman yang lain.     

Thomas terlalu baik, ketika dikaitkan dengan alibi apa pun.     

"Ada yang bilang kau mencariku," ini suara Pradita, muncul secara tiba-tiba dari balik pintu ruang kerja Vian.     

Vian segera merapikan berkas yang berisikan sidik jari Thomas. Berkas tersebut kembali tersembunyi di dalam laci meja Vian, paling bawah.     

"tapi permintaan ku ini luar pekerjaan," kelima jari tangan Vian tersaji kepada Pradita supaya laki-laki berkacamata lekas duduk.     

"Apa yang kamu inginkan?"     

"mengetahui posisi motor, aku sudah mendapatkan nomor polisinya," jawab Vian.     

"kau menguntit gadis?" ada senyum yang terbit, senyum berisikan cercaan untuk Vian.     

"Pemiliknya memang perempuan, tapi bukan berarti aku membuntuti dia. Ah' kenyataannya ia, -sih??" ujar Vian.     

Terdengar gelak tawa Pradita memenuhi ruangan. Dan Vian tidak punya niat meleruskan kesalahpahaman Pradita. Semakin Pradita salah paham semakin menguntungkan baginya.     

"Tunggu 30 menit dari sekarang, akan kucari Di mana letak motor cewek itu terakhir," Vian tersenyum senang mendengar ungkapan bersemangat Pradita.     

.     

.     

Tepat pada menit ke-30, handphone Vian Berdering. Sebuah kebenaran sederhana yang diungkap oleh tim Pradita telah sampai di handphone Vian. Ada emoticon tertawa terpingkal-pingkal dari Pradita untuk Vian. Bagaimana tidak, motor yang ia cari kini dijual di sebuah situs jual beli online barang-barang bekas pakai.     

Tangan pria menari lincah di atas laptop. Mencari situs yang kini ia tatap di layar handphonenya. Situs jual beli moda transportasi darat online.     

User yang menjual motor matic merah memasang nomor handphone beserta lokasinya, tertera lengkap di layar kaca laptop Vian.     

Vian bergegas membuat panggilan. Pria tersebut mencoba untuk melangsungkan transaksi jual beli online dengan penyedia barang motor matic merah yang ia buru beberapa hari terakhir.     

***     

"Tapi, kakakmu memanfaatkanku. Dia bahkan membunuhku, jika malam ini aku membunuhmu dan aku dibunuh oleh Darko, kita.." kalimat Thomas terhenti.     

_ini belum impas untukku_     

Mata Thomas dan Leona beradu pandang. Pupil mata Leona reflek membesar. Thomas mengerutkan dahinya, Thomas tahu ada perubahan emosi pada diri Leona.     

Thomas cukup mumpuni untuk sekedar memahami detail gerak setiap mimik wajah lawan bicaranya. seorang negosiator ulung yang mengandalkan kemampuan berkomunikasi. Ia lebih dari tahu terkait teori membaca bahasa tubuh dan tiap-tiap simbol yang terdapat pada raut muka lawan bicara.     

Tampaknya Leona terkejut ketika mendengar Ucapan Thomas, 'kakakmu memanfaatkan ku, dia membunuhku'. Menangkap simbol yang ada di hadapannya. Thomas menarik konklusi awal, bisa jadi Leona tidak tahu kelakuan Nana. Hal tersebut membuat Thomas kian ragu untuk mengakhiri hidup Leona, bukan semata-mata sebab mereka sepasang kekasih.     

Namun, ketika Leona jatuh di tangannya. Dengan kaki pincangnya ini, mudah sekali Darko mengejar dan berakhir membunuh dirinya.     

Seandainya dirinya dan Leona berakhir dengan kematian, lalu ternyata Leona tak tahu apa-apa. Bukankah keputusan ini bakal menjelma sebagai kekonyolan? Sedangkan Nana tetap berkeliaran.     

"Ambil kunci mobilmu," Thomas mengetuk HS-9 di kepala Leona. Sejujurnya pria berambut sebahu sedang kalap. Kalau saja dia tidak menemukan Leona dalam posisi di Indonesia dan bersama Darko. Mungkin adegan ini tidak akan pernah terjadi.     

Leona berjalan bersama todongan pistol di kepala. Ia meraih tas tangannya. Lalu mengeluarkan kunci. "pinta Darko melemparkan senapannya padaku!" tak lama suara Leona seperti mantra untuk Darko. Lelaki permata kosong tersebut mengikuti perintah tuannya. Terlihat sejenak langkah pincang meraih senapan lalu menyelempangkan ditubuh.     

"Suruh Darko ambil tongkatku di bawah pantry!" Leona yang pasrah sempat terenyak mendengar perintah Thomas, "cepat!"     

Tak butuh waktu lama sebuah penyangga tubuh, diserahkan ber jeda jarak kepada pemilik kaki pincang.     

"Keluarkan handphone-mu berikan pada Darko!" ada mata tertegun, mendengar perintah Thomas kali ini.     

Handphone Leona dilempar kepada Darko, dan Thomas tersenyum. Detik berikutnya sebuah ketukan ujung pistol kembali menapaki kepala Leona. "Jalan sekarang!" selepas Thomas meraih penyangga tubuhnya. Thomas bergerak perlahan di belakang punggung perempuan yang kepalanya ia todong.     

Ia baru sadar, Darko ikut bergerak, "oh' aku lupa, buat lah pesan terakhir untuk Darko, sayang.." Entah sudah berapa kali Thomas meminta Leona mengatur Darko, "suruh penjagamu berdiam diri sampai kita pergi,"     

Leona terdiam.     

"CEPAT!" gertak Thomas. Leona Sempat berpikir, walaupun Thomas menodongkan ujung pistol di kepalanya ia tidak akan berani mengakhiri hidupnya, -Leona.     

Sayangnya hal tersebut hanya sebatas persepsi Leona. Thomas berhasrat menarik pemantik HS-9, menggertak Leona dan Lagi-lagi Leona menuruti permintaan Thomas.     

Darko berdiri mematung ketika tuanya keluar lalu menghilang ditelan pintu cluster. Suasana di luar hujan. Thomas masih memburu Leona yang tengah membuka pintu gerbang clusternya sendiri. Keduanya diterpa hujan deras. Sampai sebuah mobil menyala. mobil yang dikendarai perempuan tertodong pistol di kepala.     

Tidak ada yang tahu mobil yang kini mendapati jarak pandang di depan tidak begitu jauh meskipun telah dibantu alat pembersih kaca yang dinyalakan khusus sebagai penyingkir air hujan. Jarak pandang tetap tak tertolong. Padahal dalamnya ada pria dan wanita basah, yang satu menerima ancaman berupa pistol -menapaki pelipisnya.     

"belok ke kanan," ini seruan Thomas, sejak tadi berputar-putar tidak jelas ke arah mana pun mobil tersebut akan dia hentikan.     

***     

"Satu menit dari sekarang!" mata biru mendorong kelompok Pardus bergegas. mereka terlihat merapikan diri secepat kilat, menyelipkan benda yang harus di bawa.     

Sejalan dengan gerak langkah mata biru membuka jendela ruang kerjanya. Satu per satu kelompok beraura mencekam dengan lambang hitam, melompati jendela.     

Di luar suara hujan memburu malam. Anggota BP berlari seperti ninja, ruangan Mahendra berada di lantai 1. Mudah bagi mereka menghilang secepat kilat dibalik malam pekat dan hujan yang kian berisik.     

"Kau! Tinggal di sini," lengan Wisnu ditangkap. ini adalah keputusan detik akhir sebelum Wisnu hampir saja melompat dari jendela.     

"lepas buff mu, dan baju hitam yang menutupi tubuh, tunjukkan baju asli yang ada di dalam," Hendra mengamati kolong meja kerjanya. Sebuah pertanda bahwa Wisnu harus melucuti tampilan hitamnya lalu melempar ke kolong meja tuan muda Mahendra.     

Bukan Hendra kalau dia tidak punya cara berkelit, lelaki ini tahu di dalam ruangan harus menyisakan seseorang sebagai upaya pura-pura menjalankan diskusi terkait pekerjaan.     

Tak butuh waktu lama, pengawal yang tadi menyusup memberi kabar kepada Mahendra. Kini tengah membuka pintu. Andos membuka pintu untuk tetua Wiryo, sejalan kemudian Andos terlihat setia mendorong kursi roda tetua Wiryo. Padahal tadi, sekretaris Wiryo lah yang membocorkan pada Mahendra supaya segera menyembunyikan kelompoknya, melarikan diri dari tangkapan sang kakek.     

"ke mana yang lain?!" Suara tetua, dingin, tenang, dan mencekam bagi mereka yang tak terbiasa mendengarkan getaran pita suara Wiryo. Begitu juga dengan Wisnu yang berdiri membeku. Setelah mendapati pimpinan tertinggi hadir mengamati dirinya.     

"Oh Herry? Dan teman-temannya? Mereka baru saja pergi," intonasi ucapan Hendra ringan, mata biru kembali melempar dirinya di kursi, duduk santai. Tangan kanannya bergerak, menginginkan Wisnu ikut duduk bersama.     

"Ah' aku lupa memperkenalkan kepada anda. Wisnu, kandidat pengganti Thomas. Silakan! Andai anda ingin melangsungkan wawancara Seperti yang saya lakukan," inilah cara Mahendra meloloskan diri dari penggambaran mata curiga yang di pasang Wiryo kepada dirinya.     

"Jangan coba-coba mengeluarkan keputusan gegabah, sekelompok ajudan berpakaian hitam! Aku tidak suka penampilan mereka!"     

_sial! Wiryo tahu dari mana? Sejauh apa dia tahu misi black pardus?_     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang menjadikan novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.