Ciuman Pertama Aruna

III-119. Desis Nafas Kekecewaan



III-119. Desis Nafas Kekecewaan

0_tapi? aku orang lain, untuk apa aku ikut-ikutan takut? Tubuhku lebih kekar, aku bisa menghempasnya dalam satu kali kibasan?_ Thomas bertanya-tanya pada dirinya sendiri.     

"bisa makan lebih cepat nggak??" kenyataannya kalimat peringatan Kiki spontan di sambut Thomas dengan buru-buru melenyapkan sisa makanan di piringnya. Dia memasukkan tiga sendok sekaligus ke dalam mulut. Lalu menelannya tanpa mengunyah dengan benar.     

"Laila Riki," panggil Kiki, kedua adik Kiki -yang detik ini tengah mengepalkan tangannya- mengangguk mantap.     

"ketika pintu dibuka apa pun yang terjadi kalian harus lari berangkat sekolah,"     

"Baik kak," Laila dan Riki merapikan dirinya sekaligus memondong tas di punggungnya.     

"Bapak, ambil pemukul terkuat di rumah ini, em.. apa ya?" dia menerawang, "pakai salah satu tongkat Thomas yang jarang dipakai," perintah perempuan sangar tersebut.     

"Pukul mereka kalau mereka berani menyentuhku," Bapak bangkit dari duduknya menuju kamar, lelaki tua itu mengikuti perintah Kiki dengan mengambil tongkat Thomas yang lain.     

"lalu aku ngapai?" telunjuk Thomas mengarah pada mukanya sendiri.     

"kau duduk saja, kakimu masih sakit, -kan," pinta Kiki.     

"Hai, hai.. walaupun kakiku hanya satu saja yang leluasa bergerak, aku ini punya sertifikat sabuk tertinggi dalam pencak silat, kau tidak boleh meremehkan ku," Kiki tidak peduli, dia berjalan menuju pintu saat kedua adiknya bersiap sedia hendak lari dengan berdiri di belakang punggung perempuan rambut hitam lebat tersebut. Giliran pintu terbuka, seluruh mata penghuninya sama terbukanya, menyala dan ternganga.     

Baik dua anak berseragam sekolah, Thomas yang tengah duduk di meja masih dengan sendoknya, Maupun bapak yang tengah memanggul tongkat bantu jalan milik Thomas terlebih gadis berdaster longgar alias si pembuka pintu.     

Mereka membeku.     

***     

Diiringi oleh Susi, perempuan yang kini mengenakan baju putih seperempat lengan dengan pola berupa lubang-lubang kecil cantik pada ujung-ujungnya. Membuat tampilan ibu hamil muda tersebut menjadi imut seperti gadis berusia SMA.     

Aruna kelihatan lebih segar, Tika mempunyai kemampuan merias lebih dari rata-rata. Sebelum meramu riasan pada wajah nonanya Tika sempat memberi Aruna beberapa pilihan gaya ber- make up yang ada pada kanal video di handphonenya. Hal pertama yang dipilih Aruna, tentu saja seputar ingin terlihat segar dan muda. Tangan Tika seolah mempunyai kekuatan mistis, hasil kejelian Tika benar-benar di luar dugaan sangat memuaskan, terutama bagi perempuan yang tak memiliki kemampuan merias diri.     

Rok kuning muda yang mengusung gelombang besar mengembung jatuh sampai bawah lutut di gerakan oleh lambaian tangan yang sengaja membuatnya tertekuk untuk duduk. Cara duduk yang tertangkap sangat sopan, sambil tersenyum ramah menatap dua orang asing yang baru ia lihat.     

Aruna duduk di samping Mahendra. Memegangi lutut kiri suaminya, ternyata tamu tersebut di sambut di ruang yang memiliki nyala lampu temaram hangat, dengan sajian sekumpulan foto suaminya, termasuk sebuah foto besar pernikahan mereka, BlueOceans.     

Tanpa kata Aruna berusaha duduk senyaman mungkin. Perempuan tersebut sesungguhnya telah dicari dua orang yang tertangkap mata membawa catatan berlambang kepolisian. Aruna tahu dan memahami kode terpendam itu setelah mengamati mata berbinar kedua tamu di depannya. Beda dengan sambutan Mahendra yang menatapnya dengan rasa gundah bercampur kerutan di dahi.     

"siapa yang mengizinkan mu ada di sini?" pertanyaan lelaki bermata biru mengusung volume rendah, hanya untuk dirinya.     

Aruna tidak membalasnya, perempuan ini sekedar menoleh, menerbitkan senyum upaya perdamaian.     

"pergilah dari sini sebelum aku marah," nada rendah itu kembali di cuat kan, sekian detik berhasil menggetarkan hatinya.     

Aruna sekejap menurunkan pandangannya, resah mendengar gertakan Mahendra. Namun, perempuan ini sudah bertekad. Dia mengumpulkan sekali lagi keberaniannya serta kemauannya yang tengah membuncah kuat di dada. Aruna ingin mengutarakan apa yang dia tahu dan apa yang dia rasakan terhadap tragedi yang telah menimpanya.     

Untuk mengumpulkan tekadnya melawan suami, dia menatap perempuan yang duduk di sisi kanan lelakinya. Anna berada di sana. Mengapa dirinya tidak boleh berada di sini? Keberadaan perempuan yang beberapa waktu lalu di kabarkan akan menjadi tunangan suaminya berhasil menyulut api di dada.     

Tepat sekali salah satu anggota polisi yang berada di hadapannya lemparkan kalimat sapaan kepada dirinya: "Saya bersyukur bisa bertemu dengan Anda," tampaknya dua orang polisi tersebut sebelumnya dihalang-halangi untuk bertemu Aruna.     

"Saya bersyukur lebih daripada Anda," balasan Aruna mengubah ekspresi dua orang polisi tersebut menjadi lebih bersemangat.     

"Boleh saya bertanya pada anda secara langsung?" yang berambut cepak menghidupkan alat perekam suara. Gerakan itu seolah tersembunyi dan tidak berarti, tapi Aruna sempat menangkapnya.     

"silakan," mantap Aruna menjawabnya.     

"Aaah," desis nafas kekecewaan Mahendra merasuk dan masuk di gendang telinga Aruna.     

"Sejujurnya kami ingin tahu, sejauh mana kesadaran anda saat penyerangan itu terjadi. Saya tahu ini akan berat," yang terbelah samping menatap Aruna dan bertanya menggunakan nada suara paling ramah.     

Mahendra terlihat menggeleng kepala kepada Aruna. Aruna tidak peduli dan tidak ingin melihatnya.     

"Saat ini, saya sudah bisa dikatakan sadar dan menuju pulih. tanya apa saja yang ingin bapak-bapak tanyakan, Saya pasti menjawabnya sebaik mungkin," ketika Aruna membuat jawaban untuk kedua anggota polisi, pada sisi kanan tubuh nya seorang perempuan memajukan posisi duduknya termasuk merundukkan tubuhnya, condong ke depan melewati keberadaan Mahendra. Dia menatap Aruna dengan wajah innocent.     

"Apa ada yang ganjil sebelum kejadian?" tanya anggota kepolisian.     

"Dua orang perempuan menabrak saya dengan sengaja, sampai handphone saya jatuh?"     

"Apa anda mengenalnya?" Aruna menggeleng.     

"anda sering mendapatkan perilaku seperti itu, di kantor suami Anda?"     

"Tidak juga, entah lah, Saya belum lama magang di DM group, masih baru," penanya tampak berpikir.     

"menurutku, kedua perempuan tersebut sekedar disuruh," kembali Aruna bersuara.     

"maksud anda?" salah satu polisi menimpali.     

"jadi-" kalimat yang tersusun di kepala Aruna dipotong Nana.     

"saya yang menyuruhnya, bukankah kejadian itu sudah saya ceritakan," ujaran ini berasal dari monolog Nana.     

Betapa terkejutnya Aruna mendengarkan susunan kata yang diluncurkan Nana. Mana mungkin perempuan itu mengakui perbuatannya?     

Sangat tidak masuk akal, terlebih dia tersenyum manis kepada Aruna.     

"mohon maaf nona, kami ingin mendengar dari sudut pandang nona Aruna," rambut cepak menegur Nana.     

"Setelah saya mengambil handphone saya, perempuan itu mendatangi saya, memaksa saya mendengarkan ke muakkannya terhadap saya. Perempuan itu juga mendorong saya masuk ke dalam ruangan yang sepi dan sunyi. Lalu sebuah onner berisi berkas-berkas kantor terlempar hampir mengenai tubuh saya,"     

"Aku sengaja melempar nya ke samping tubuh mu, sekedar ingin menakutimu, kau tidak mau mendengarkanku saat kita berkomunikasi. Bapak tahu, -kan? aku sudah cerita semuanya, sama persis yang diceritakan nona Aruna," luncuran kalimat demi kalimat Nana yang menyerobot penjelasan Aruna. Membuat istri Mahendra bergetar, jari-jari mungil itu tergenggam kuat.     

"Sudah cukup! Ayo ikut aku," Mahendra merengkuh bahu Aruna, membisikkan permintaan. Dia mendapatkan tatapan tajam Aruna.     

"pergilah sendiri," ini adalah detik di mana Aruna melawan permintaan suaminya. Aruna tidak habis pikir mengapa Hendra bertindak mengecewakan.     

"tetapi anda juga mengancamku," gertak Aruna mendorong ke belakang tubuh Mahendra, supaya lebih leluasa menatap keberadaan Nana.     

"Ya, aku memang mengancam anda nona. Bayangkan, betapa tertekannya saya, seluruh kantor membully saya," matanya merah berkaca-kaca, "semuanya berbicara di belakang saya, karena undangan pertunangan saya di tarik mundur," dia mengacungkan telapak tangannya, menunjuk Aruna dengan cara santun, "dan anda.. anda dengan sengaja memilih magang di kantor DM group tanpa belas kasihan sedikit pun pada posisi saya, yang sekedar sekretaris yang mengikuti kehendak presiden direktur, (Wiryo)" Anna berderai air mata, dia menangis meraih tisu mengusapi peluh di pipinya.     

"Apa??" Aruna mengangkat tangan kanannya, meremas baju di dada, "Aku tidak punya niat seburuk itu, aku bukan perempuan seperti itu," Hendra merengkuh Aruna memaksanya berdiri, memeluk istrinya untuk di bawa pergi. Aruna mendorong tubuh kekar tersebut. Mendorong tubuh Hendra yang menggiringnya masuk ke dalam.     

"Aku belum selesai!"     

"Sudah! Tidak baik untukmu, untuk bayi kita, masalah ini biar aku yang mengurusnya!" Hendra berdiri tegap di hadapan Aruna, dadanya berulang kali menerima pukulan istrinya, sebab sang pria menghalangi keinginannya membuat pernyataan untuk para polisi.     

"Minggir dari hadapanku atau perjanjian kita selama dua bulan usai hari ini!" mata coklat itu semburat merah menghunjamkan ancaman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.