Ciuman Pertama Aruna

III-115. Pernyataan Ber-kebalik-kan



III-115. Pernyataan Ber-kebalik-kan

0"Aku, punya keinginan kok," akhirnya dia mau bicara, setelah komunikasi panjang di antara mereka didominasi si pria.     

"Aku ingin.. Em.. Punya keluarga, itu saja," saking malunya perempuan berwajah merah ini memalingkan wajahnya, dia melempar tatapan ke tempat lain bukan ke Anantha atau ke dalam ruangan berbatas kaca (resto). Dia mengembara di lamunannya sendiri.     

Manusia macam apa yang bisa menolak haru dari permintaan sederhana gadis pendiam yang terlihat tak punya banyak keinginan. Siapa pun termasuk pria yang kini dia hindari tatapan matanya ikut hanyut mengembara masuk dan terbelenggu di pusaran lamunan.     

"Beri aku satu alasan, menurutmu, mengapa aku perlu menerima pernikahan ini?" lamunan Nabila terpecah oleh kalimat Anantha. Dari mana kakak bu Aliana yang terlihat tidak peduli dan cenderung kurang berminat terhadap percakapan antara keluarganya dengan om Jakpar kini membuat pernyataan ber- kebalikan.     

"Andai aku menikah dan punya suami, akan ku pastikan em.. Berusaha menjadi istri terbaik," dia menoleh pada Anantha, "Keinginanku sudah terpenuhi, punya keluarga," lalu menerawang lagi ke arah berbeda ketika tatapannya di sambut Anantha.     

"Apa yang paling utama selama kita masih bernafas?" pertanyaan unik dari gadis inferior, gadis penurut dengan cara pandang hidup sederhana, datar menghadapi hibuk dunia di sekitarnya, "keluarga," Nabila membuat jawaban sendiri atas pertanyaannya, "tidak ada harta yang lebih mahal selain itu, -bukan?" ada nafas berembus, di bumbui bibir di tarik hingga membentuk garis lurus, "walau kadang mengesalkan, tapi keluarga satu-satunya tempat kita pulang, saat hidup kita hancur, seburuk apa pun mereka di situlah tempat yang kita tujuh sebagai jalan pulang,"     

_Dan aku menginginkan tempat pulang, yang mustahil untukku. Ketika ayah, ibu bahkan saudara tidak punya, orang lain tidak akan pernah tahu di mana dan ke mana di letakkannya kepulangan atau untuk apa mengejar impian, tidak ada kampung membagi kebahagiaan_ sebab jarang bicara, Nabila menyimpan rangkaian buah pikirnya untuk diri sendiri.     

"baik, akan kucoba," Anantha meminjam kalimat Nabila sebagai jawaban tiap-tiap monolog gadis tersebut, dan keduanya sempat saling melihat sekilas sebelum akhirnya memerah.     

***     

Taksi Online menurunkan kantong-kantong plastik penuh dengan barang yang menjadi impian gadis kecil, bapak, termasuk pemuda innocent, tak ketinggalan kakak perempuannya yang galak sejagat raya versi mereka.     

Giliran taksi pertama pergi, taksi kedua datang, kedatangannya di sambut dengan pekikan bernada gembira. Laila begitu senang menyambut televisi tipis yang biasanya dia lihat di rumah tetangga, secepatnya akan turunkan oleh bapaknya untuk di bawa masuk ke dalam rumah.     

Sejalan berikutnya lelaki dengan tongkat ketiak keluar dari pintu mobil, Laila yang terlalu senang berlari menangkap tubuh Thomas, mendekap erat: "Aaauuu.." Laila lupa lelaki tersebut masih memiliki luka di balik celananya.     

"Laila, apa yang kamu lakukan?" pekikan Kiki menakuti Laila, gadis kecil tersebut tak sengaja melangsungkan pelukannya.     

"Maaf.." rintih Laila bersembunyi di balik punggung Thomas masih dengan menjerat ujung bajunya.     

"Tak, apa.." Thomas menghalangi Kiki yang seolah siap menelan mentah-mentah adiknya.     

"Wajahmu pucat," Kiki mengamati.     

"Mungkin aku kelelahan," bersama barang-barang pengganti kebutuhan rumah yang hancur satu persatu di masukkan. Thomas tertatih mencoba segera membaringkan dirinya pada kamar dengan seprei lusuh.     

"bangkitlah dulu," minta Kiki setelah melihat Thomas membujurkan tubuhnya.     

"Yaah..." suara Thomas terdengar lelah, sejak pagi mereka belum istirahat. Pulang dari motel lalu menggiring keluarganya jalan-jalan menikmati kebahagiaan di luar jangkauan mereka.     

Thomas terlihat duduk di kursi ketika Kiki buru-buru menyelesaikan pergantian seprai, demi merapikan kamar Thomas.     

Thomas terbaring bahkan sebelum lampu kamar itu dinyalakan, tergelincirnya matahari mengakibatkan kamar tersebut menggelap. Kiki kembali memasuki kamar Thomas, secangkir teh hangat ia letakkan di dekat ranjang itu. Sayangnya Thomas tertangkap tengah menggigil, mengerutkan keningnya.     

"Apa yang bisa aku bantu?" pria itu hanya menggelengkan kepala. secara spontan Kiki meletakkan tangannya di kening Thomas dan baru menyadari tubuh lelaki tersebut lebih dari hangat. ia demam tinggi.     

Kiki langsung berdiri, uniknya dia malah mematung. Seolah sedang berpikir keras. Hingga akhirnya perempuan ini memutuskan berbuat sesuatu.     

"Riki ambilkan air hangat untuk kakak, bawa kemari!" giliran Riki datang, anak muda bertampang datar tersebut mengernyitkan dahinya. Kakaknya sudah memotong celana Thomas dari pangkal kaki sampai paha atas menggunakan gunting yang terselip di tangan. Lebih ekstrem lagi, Riki tengah mengamati adegan sang kakak perempuan melepas gesper laki-laki terbaring pasrah, tanpa perlawanan, akan tetapi pelipisnya dibasahi keringat melirik tubuhnya resah di lucuti.     

"Jangan diam saja, bantu Kakak!" keluh Kiki. Thomas yang awalnya akan menerbitkan keberatan memilih pasrah dan memejamkan mata setelah mendengar bentakan Kiki untuk Riki.     

"Kau seperti perempuan garang yang ingin merengut keperjakaan.." tahu arah kalimat adiknya, pemuda berusia 17 tahun tersebut hampir saya mendapatkan pukulan di kepala. Untung tangan kakaknya sigap tertangkap.     

.     

Setelah satu persatu pembungkus luka di buka. Riki tak sanggup melihatnya, darah meleleh, campuran putih daging tepampang, luka Thomas baru saja dibersihkan dokter kenalan Kiki dua hari yang lalu, tentu saja saat ini yang terlihat ialah daging segar.     

Dan adik Kiki melarikan diri.     

"Kak Thomas napa kak?" suara Laila hadir mendekati pintu kamar tempat Thomas terbaring.     

"Laila sini.." Riki menarik Laila, "kita beres-beres rumah saja," keduanya meninggalkan Kiki yang bermental baja, santai mengguyur luka Thomas dengan cairan antiseptik, cairan yang berfungsi membersihkan luka. Selanjutnya perempuan tersebut mengoleskan obat luka Thomas menggunakan tangannya sendiri.     

Kiki tidak sadar betapa Thomas menahan rasa geli bercampur nyeri.     

Giliran usai mengoleskan obat, Kiki menarik sarung bapaknya, dan meletakkannya di atas tubuh Thomas menjulur dari perut hingga lutut.     

_Aku merasa di telanjangi_ pria demam akibat kelelahan dan luka tersebut setengah sadar mengetahui dirinya di lucuti. Celana robeknya jatuh di lantai.     

.     

Bibir Thomas memucat, tatkala mendapatkan tetesan teh hangat maupun suapan makanan bermedium kecil yang sebelumnya mendapatkan tiupan berulangkali dari bibir Kiki. Sampai akhirnya pria tersebut sedikit demi sedikit menemukan kesadarannya.     

Dia tahu sejalan kemudian baju yang melekat di tubuhnya sama dilucuti nya, sang pelaku, membersihkan tubuhnya dengan hati-hati.     

Giliran dia menemukan kekuatan ujaran Thomas terbit : "Kiki,"     

"Hem.."     

"suatu saat nanti, seandainya aku berhasil kembali ke duniaku, Apakah kau mau jadi asisten ku?" kalimat tanya yang unik.     

"asal aku di bayar mahal,"     

"Ah, benar juga, kau suka uang,"     

Terdiam.     

"Kau punya pacar?" perempuan yang menjadi lawan bicara Thomas, sedang meremas handuk mungil, tergenggam di tangannya. Berikutnya meletakkan handuk yang terasa hangat tersebut pada seputar leher dan wajah Thomas.     

"cari duit aja menyita waktu, mana mungkin aku sempat,"     

"Oh! Oke," tutup Thomas.     

Terdiam.     

"oh ya, seingatku, kau pernah menelepon perempuan bernama Leona? Bener nggak?" Thomas mengangguk.     

"aku mendapat pesan dari nomor asing yang mengaku bernama Leona,"     

"Apakah itu nomor asing dari luar? Nomornya berawalan +39?" tanya Thomas.     

"Enggak, tuh?! +62 deh," Kiki terlihat meletakkan handuknya, lalu merogoh handphone dari saku, "Tuh, +62," Kiki menunjukkan layarnya di hadapan Thomas yang tengah berbaring.     

Serta merta raut wajah Thomas menegang, pria itu tertangkap membiarkan neuronnya liar mengembara. Thomas menyusun segala kemungkinan yang tengah berbaris rapi di kepalanya.     

***     

Pintu kamar di ketuk dari luar. Mahendra meletakkan pengering rambut yang berbunyi sejak tadi, sejak dirinya memegang rambut sebahu istrinya untuk ia keringkan.     

Pria yang bayangan tubuhnya tertangkap mundur, berjalan menuju pintu dari bayangan cermin, tengah membuka pintu ukir Jepara.     

Mahendra mengenakan piama handuk putih dengan sendal kamar yang warna senada. Tepat di saat Aruna menoleh, perempuan di balik pintu tengah berdiri di sana menyapa suaminya.     

Pintu kamar mereka terbuka satu sisi. Ketika Mahendra membalik tubuhnya lalu berjalan Aruna. Giliran Aruna menoleh, dia tersenyum menyapa Aruna dengan hangat.     

Aruna sama dengan Hendra, menggunakan piama handuk berwarna putih.     

Saat Hendra meraih dirinya, dan detik berikutnya mendarat kan kecupan pada punggung leher: "sayang, ada tamu yang datang. Aku tinggal sebentar,"     

"Enggak!" tugas Aruna menangkap tangan Suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.