Ciuman Pertama Aruna

III-114. Punya Keinginan



III-114. Punya Keinginan

0"NABILA! YANG ITU JANGAN DI CERITAKAN, HADEH!!" Anantha menepuk jidatnya.     

"Kenapa kau membentak keponakan ku?!" Jakpar bangkit menggebrak meja.     

Dapat terlihat betapa geramnya lelaki tersebut.     

"Maa.. ma.. Maaf," dengan susah payah Anantha mengucapkan kata maaf, "saya salah bicara," _Huuh.. kenapa aku jadi konyol begini!_     

Sedangkan di sisi lain wajah Nabila murung, terlihat senyum di bibirnya menghilang. Wajah cantik berias make up dengan baju yang menawan tersebut tidak lagi berfungsi untuk melengkapi penampilannya.     

Sialnya Aliana yang harusnya dia bentak malah senyum-senyum bahagia, "maaf ya Om kakakku jadi gagap, terlalu suka sama keponakan Om," omongan Aliana benar-benar bualan level dewa.     

"Asal kamu tahu, walaupun aku hampir tertarik padamu," tangan Om jakpar yang mengembung besar tersebut menunjuk-nunjuk Anantha, "belum tentu aku setuju menerimamu sebagai calon suami keponakanku," kembali duduk di kursinya, kursi yang diduduki sempat berdecit.     

"Apa pekerjaanmu?" pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan Jakpar waktu itu, ketika keduanya berada di apartemen Nabila.     

Ritme suaranya cepat penuh curiga, Jakpar berusaha menggali informasi terkait Anantha ketika berada di hadapan keluarganya. Terkait, Apakah pemuda tersebut mampu memberi kehidupan yang layak untuk Nabila atau tidak?.     

Tidak sedikit yang mengatakan, dalam hubungan rumah tangga yang penting adalah pasangan itu sendiri, masalah uang nomor sekian. Sayang sekali apa-apa di dunia ini butuh uang, dan Jakpar sebagai wali Nabila memastikan pemuda yang akan meminang keponakannya golongan pria dengan finansial yang baik sebagai jaminan kehidupan Nabila.     

Tampaknya bukan hanya Anantha yang terkesiap mendengar pertanyaan Jakpar, Aliana dan Indah terbungkam, padahal tadi mereka berdua yang paling cerewet menghadapi situasi ini.     

"Jujur saat ini saya bahkan belum punya pekerjaan menjanjikan, saya baru saja bangkit dari keterpurukan, perusahaan saya sempat di ambil alih pihak tidak bertanggungjawab," Jakpar mendengarkan penjelasan Anantha dengan sesama, tampaknya dia benar-benar memperhatikan setiap kalimat yang meluncur dari bibir Anantha.     

Kini Anantha terdiam, dia memikirkan kondisinya detik ini. Mengapa dia perlu menceritakan problem pribadinya sampai masalah finansialnya kepada Jakpar. Apakah sekarang ini benar-benar bagian dari pertemuan keluarga dan mengharuskannya menikah dengan Nabila. Anantha menyadari dirinya terjebak. Dia kesulitan berpikir jernih.     

"Tunggu, sebelum aku menceritakan terkait kondisiku secara personal, Aku ingin mempertanyakan sesuatu?" tumbuh Anantha berputar. Arah duduknya bukan lagi ke meja makan yang di depannya.     

Arah duduknya kini berubah menghadap ke adik dan bundanya: "bunda, Aliana, kalian boleh jujur padaku sekarang, Kenapa pertemuannya jadi begini?"     

Dua perempuan itu saling memandang sekilas: "bunda cuma mau anak lelakinya cepat dapat jodoh,"     

"pasti kamu ya yang ngatur," Anantha menuduh Aliana.     

"Tapi bunda setuju, Ayah juga," Aliana, walaupun saat ini sedang diintimidasi kakaknya dia konsisten menunjukkan ekspresi santai seolah tak berdosa.     

"Lihat sekarang! Huuuh," Anantha terdengar menghembuskan nafas, lelah.     

"Belum tentu Nabila mau denganku," lelaki ini sempat melirik Nabila sejenak, "sudah kubilang, aku akan cari jodoh kalau perusahaanku kembali baik seperti dulu," Anantha melengkapi kalimatnya.     

"dulu waktu masih punya jabatan yang bagus, perusahaan bagus, enggak ada minat sama sekali untuk menikah. Jadi kalau saat ini kamu menunggu sampai jabatanmu bagus, kariermu bagus, perusahaanmu bagus, keburu tua enggak jadi menikah sampai tua," monolog panjang lebar ini adalah ungkapan isi hati bunda Indah.     

"Nabila, kita jujur-jujuran nih, dalam kondisi seperti ini, kira-kira kamu masih mau Nggak?, sama kakakku?" bukan Aliana kalau dia tidak to the point bicara.     

"sejujurnya saya, em.. belum yakin," gadis polos ini bicara apa adanya, setelah menyadari Anantha menatap dirinya, Nabila buru-buru merapikan duduk, "bukan karena finansial atau yang lain, saya, em.. kami belum saling kenal, Kak Anantha pasti juga ragu karena hal ini," suara Nabila terdengar sangat lambat, terbata-bata gadis itu menyelesaikan ucapannya.     

"masalah kenal atau tidak, kalau sudah menikah pasti bakal kenal juga," suara Jakpar menghempas ekspresi malu-malu dua orang yang berupaya bertemu mata, Anantha dan Nabila.     

"kalian sudah pacaran, artinya sudah saling jatuh cinta tapi masih canggung," ujaran Jakpar teramat blak-blakan. Ibunda indah dan Aliana sejujurnya menahan tawa melihat laki-laki yang saat ini terpojok, mukanya merah merona.     

"Separah apa kondisi finan.. eh apa ya tadi? Ekonomi, ekonomi?!" sungguh tanpa filter, Anantha dilucuti hari ini, "kamu bisa ngasih makan Nabila tiap hari rp100.000?" sekedar kebutuhan pokok.      

"Ya Tuhan! Hah!" antara jengkel dan menahan malu, "saya nggak separah itu juga kali Om, walaupun mobil sudah enggak ada, apartemen sudah enggak ada, Aset nggak punya, kalau untuk ngasih makan anak orang rp100.000 per hari minimal aku punya keluarga yang bisa aku pinjam uangnya," Anantha sekalian saja menjatuhkan dirinya sangking tersudutnya.     

"Enggak.. enggak.. Kakak nggak separah itu om, Kak Anantha! Kenapa sih kamu ngomong gitu," Aliana kini yang marah.     

"Namanya kehidupan pasti pernah naik turun, seperti saya dan suami, Saya yakin Om Jakpar dan istri juga pernah mengalami hal yang sama, pernah berada di atas kemudian jungkir ke bawah naik lagi ke atas, yang bisa kami jadikan jaminan. Anak saya Anantha, punya banyak kelebihan untuk bangkit, tak perlu khawatir Nabila akan kami urus dengan baik. Toh, suami saya, Aliana, masih ada dan masih cukup untuk menanggung Nabila," panjang sekali ungkapan Indah, dia ingin meredam kekhawatiran lawan bicaranya.     

"Sebenarnya yang terpenting menurut saya, Nabila tidak hidup sendiri lagi, ada keluarga yang mengayominya. Bukan begitu om," perempuan yang pandai jualan -seorang konsultan marketing-, sangat ahli merayu walaupun kalimat yang dia ucapkan pendek.     

"Tujuan saya sejujurnya tidak jauh-jauh dari ucapan Anda Bu Aliana, mencarikan Nabila keluarga yang baik, Rumah saya jauh, ke Jakarta sebulan sekali, dan Nabila enggan ikut saya pulang kampung," Nabila terlihat menepuk mulutnya ketika omnya bicara tentang ikut dia 'pulang kampung'.     

"rencananya, kalau memang hari ini pertemuan kita tidak berhasil, mau tidak mau Nabila harus ikut saya pulang ke Madura," seluruh penghuni meja bentuk lingkaran milik resto yang baru saja mengeluarkan hidangan yang telah dipesan, menatap Nabila.     

"Aku," terbata-bata, "Aku mau menikah dengan kak Anantha," Nabila menerbitkan kalimat asing bagi perempuan inferior.     

Deg     

Laki-laki yang namanya disebut, spontan detak jantungnya bergejolak.     

"Kau yakin?" om Jakpar menguatkan pernyataan Nabila dengan bertanya, keponakannya jarang punya keinginan apa pun itu. Hari ini tumben sekali Nabila berani membuat keputusan sendiri.     

Gadis tersebut mengangguk dua kali, "kelihatannya kak Anantha memang tengah terpuruk, tapi selama aku mengikuti kak Anantha," gadis ini yang melirik Anantha, takut-takut, "aku tahu dia, em.. bahkan pernah menolak tawaran kembali menjadi CEO perusahaannya,  yang dulu itu, e.. sekedar untuk mempertahankan prinsipnya, em.. aku.. aku suka yang begitu,"     

Secara mengejutkan ada tangan menepuk punggung kakaknya, suara 'buk' terdengar keras sekali, itu adalah tangan Aliana memukul punggung kakaknya tanpa permisi. Dia sedang gemas, sinyal-sinyal keberhasilan misi yang dia tempuh selama berbulan-bulan terpampang nyata di hadapannya.     

"Om Jakpar bagaimana?? Keponakan anda sudah suka dengan Putra saya," sama seperti Aliana bunda Indah terlihat begitu bersemangat.     

Di sisi lain ada lelaki yang mendorong ke belakang kursinya, dia bangkit, berjalan cepat, meraih tangan Nabila. Menariknya menjauh dari meja berbentuk lingkaran. Nabila berlarian kecil mengikuti langkah kaki lebar Anantha yang diketahui menuju balkon resto.     

Mengamati adegan muda-mudi yang terkesan dramatis, jakpar mengangguk, "saya titip keponakan saya,"     

"tenang saja Om, kita yang akan beri makan Nabila sampai dia enggak kurus lagi," mulut Aliana kadang sulit dipahami, indikator keberhasilan bukan tentang tubuh yang menggemuk. Ya sudahlah, Jakpar mengangguk saja. Mengiyakan kalimat Aliana sambil mencuri lihat gerak-gerik percakapan yang terjadi di ujung sana. Anantha dan Nabila masih berdebat.     

.     

"Apa kamu yakin? Dengan ucapanmu barusan?" pintu kaca ditutup. Merasa lebih aman, Anantha menghunjamkan pertanyaan dengan nada geram.     

Nabila membeku.     

"kita sama-sama tahu kita belum saling kenal, apa lagi jatuh cinta. menikah? Ini bukan tentang uji coba?" tampaknya Anantha sedang mengusung ujaran bernada serius.     

"kau paham dengan apa yang kau katakan barusan?" Nabila mengangguk mendengarkan ocehan Anantha. Kalimat tanya berikut sebenarnya pengulangan yang berkali-kali ditanyakan Anantha.     

"Hais' hah! Kenapa kamu itu seolah tak punya keinginan, datar-datar saja menghadapi situasi seperti ini!" sejujurnya Anantha tengah kesulitan menghadapi gadis yang tidak menunjukkan ketegasan terhadap dirinya sendiri, tapi tiba-tiba berkata ingin menikah dengan dirinya. Nabila seolah mengikuti saja semua alur yang di tawarkan jalan hidupnya.     

"Aku, punya keinginan kok," akhirnya dia mau bicara, setelah komunikasi panjang di antara keduanya didominasi si pria.     

"Aku ingin ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.